Risywah Perbuatan Yang Terlaknat

Posted by newydsui Tuesday, February 22, 2011
Risywah
Perbuatan Yang Terlaknat

Risywah (suap-menyuap) secara terminologis berarti harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kemudharatan) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Menjelaskan makna risywah, Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah berkata, ‘Risywah adalah sesuatu yang diberikan oleh seorang kepada hakim atau yang semisalnya untuk mendukung dan memihak kepentingannya.’

Pengertian di atas menjelaskan bahwa risywah bersifat umum bukan hanya sekedar uang/harta, atau hal yang bermanfaat semata, tetapi segala hal yang diperuntukkan untuk mendukung atau memihak. Sedangkan makna hakim di atas adalah seorang qadi dan setiap orang yang memiliki wewenang dalam memutuskan perkara, seperti jajaran dan staf kepemerintahan ataupun pembantu pembantu kepemerintahan.

Meskipun terdapat kemiripan, ada perbedaan mendasar antara suap dengan upah atau gaji (ujrah). Upah atau gaji diperoleh sebagai imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki mobil, dia tidak berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu. Ketika dia diminta oleh orang lain untuk mengantarkan ke suatu tempat, maka imbalan yang diterima bisa disebut sebagai upah. Demikian juga seorang guru. Dia tidak berkewajiban mengajarkan ilmunya kepada orang tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Namun ketika ada orang atau institusi meminta dirinya untuk mengajarkan ilmunya di tempat dan waktu terntu, maka imbalan yang dia dapatkan bisa disebut sebagai upah atau ujrah.

Berbeda halnya dengan suap. Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap.

Risywah Dalam Tinjauan Syar’i

Risywah adalah salah satu dosa besar yang diharamkan Allah swt dan termasuk perbuatan yang terlaknat. Syare’at islam melarang dan mengecam perbuatan itu karena mengandung kerusakan, dosa besar, dan berdampak terjadinya permusuhan. Padahal permusushan dalam islam sangat dilarang sebagaimana firman Allah swt,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2)
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka“. (QS al-Maidah: 42).
Kalimat `akkâlûna li al-suhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.(QS al-Baqarah: 188).
Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dan mengecam pelakunya dengan ungkapan yang sharih. Diantaranya yaitu:
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ibn Umar ra bahwa Nabi saw bersabda,
"كل لحم أنبته السحت فالنار أولى به " قيل : وما السحت؟ قال : " الرشوة في الحكم"
“ setiap daging yang tumbuh dari hasil as-suhtu maka neraka adalah lebih berhak ke atasnya (daging itu).” Lalu Rasul saw ditanya, ‘apa yang dimaksud dengan as-suhtu?’ beliau saw bersabda, “ risywah (suap-menyuap) dalam hukum.”

At Tabrani meriwayatkan dari Ibn Mas’ud ra bahwa beliau berkata, as-suhtu adalah risywah (suap-menyuap) dalam agama. Ibn Qudamah dalam al-Mugny berkata, Al Hasan dan Sa’id Bin Jubair dalam menafsirkan ayat `akkâlûna li al-suhti` dengan makna risywah. Dan beliau berkata, jika seorang qadhi menerima risywah maka dengannya ia menjadi kafir; karena secara tidak langsung seorang qadhi itu membantu dan menjalankan hukum selain yang diturunkan Allah padahal Allah swt berfirman, “ barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah, maka mereka adalah kafir.”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw juga bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap“. (HR Khamsah kecuali al-Nasa`i dan di shahihkan oleh al-Tirmidzi).
Dari Tsauban ra, Rasulullah saw juga bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَ
“Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya“. (HR Ahmad: 21893).

Pembaca budiman

Paparan di atas menjelaskan bahwa Risywah adalah salah satu dosa besar yang diharamkan Allah dan termasuk perbuatan yang terlaknat. Maka tidak pantas bagi seorang mukmin melakukan perbuatan haram dan terlaknat tersebut, justru dalam islam seorang mukmin diperintahkan untuk memakan harta yang halal dan baik, sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan: bahwa Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik." Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman, seperti Dia perintahkan kepada para rasulNya dengan firmanNya, yang artinya: "Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dan firmanNya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah." Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo'a: "Ya Tuhanku..Ya Tuhanku.." Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin do'anya akan dikabulkan?" (HR. Muslim)
Marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan cara memakan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Karena makanan yang baik itu mempunyai pengaruh yang besar bagi manusia, terhadap akhlaqnya, kehidupan hatinya dan jernihnya pandangan serta diterimanya amalan. Sedangkan makanan yang haram menimbulkan dampak buruk bagi manusia, yang kalaulah dampak itu hanyalah tidak dikabulkannya do'apun niscaya hal itu merupakan kerugian yang besar. Karena seorang hamba tidak lepas dari kebutuhan berdo'a kepada Allah.

Di samping itu masih ada dampak lain dari memakan yang haram, yaitu tidak diterimanya amalan. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa memperoleh harta dengan cara yang haram, kemudian ia shadaqahkan, maka tidak akan mendatangkan pahala, dan dosanya ditimpakan kepadanya." (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya dengan sanad hasan).
Ibnu Umar ra berkata: "Barangsiapa membeli baju dengan sepuluh ribu dirham, namun dari sepuluh ribu dirham tersebut ada satu dirham yang haram, maka Allah tidak menerima amalnya selama baju itu masih menempel di tubuhnya."
Ibnu Abbas ra berkata: "Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada sedikit makanan haram."

Para salafus shalih sangat berhati-hati sekali terhadap apa-apa yang akan masuk ke dalam mulut dan perut mereka. Mereka amat bersikap wara' di dalam menjauhi hal-hal yang syubhat apalagi yang haram. Dalam kitab shahih Al-Bukhari disebutkan, 'Aisyah ra menceritakan bahwa Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu kali pembantu tersebut membawa makanan maka iapun memakannya. Setelah tahu bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, maka dengan serta merta ia masukkan jari tangannya ke kerongkongan, kemudian ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya.
Imam An-Nawawi ketika hidup di negeri Syam, ia tidak mau memakan buah-buahan di negeri tersebut. Tatkala orang menanyakan tentang sebabnya, maka ia menjawab: Di sana ada kebun-kebun wakaf yang telah hilang, maka saya khawatir memakan buah-buahan dari kebun tersebut.
Maka saatnya kita bermuhasabah, dan introspeksi diri. Berapa banyak do'a yang telah kita panjatkan kepada Allah dalam rangka mengatasi berbagai krisis yang mendera bangsa ini, dan berbagai bencana yang menimpa negeri ini. Namun pada kenyataannya bencana demi bencana tetap melanda, berbagai krisis tidak teratasi dan berbagai kesulitan tak kunjung usai. Mungkinkah ini karena bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan praktek risywah (suap)? Terbiasa dengan karupsi? Sudah terbiasa mengkon-sumsi barang-barang haram, sehingga Allah tidak mengabulkan do'a-do'a? Wallahu A'lam.
Reference:
1. Ibn Qudamah, Al-Mughny (Qahirah: Hajru Li Ittiba’ah Wa An-Nasyr Wa At-Tauji’, 1406)
2. Al-Hafidh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim (Bairut: Al-Maktabah Al-Isriyah, 1420)
3. Al-Imam As Suyuthi, Ad Dur Al-Mantsur Fi At-Tafsir Bi Al-Ma'tsur (Bairut: Dar Al-Fikr, 1414)
4. Ibn Jarir Ath Thabary, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi Al-Qur’an (Bairut: Dar Al-Fikr, 1420)
5. Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami'ul Ulum Wal Hikam.
6. Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Muhtashor Minhajul Qashidin ( Bairut: Dar Al-Fikr, 1408)
7. Ibn Taimiyah, Majmu Fatawa
8. Abdul Aziz Bin Baz, Maqalat Wa Rasail Syaikh Abdul Aziz Bin Baz.
9. Kholid Al Juraisy, Al Fatawa Al Syar’iyyah Fi Al Masail Al Asriyah Min Fatawa Ulama Al Bilad Al Haram, (Riyad: Mu’assasah Al Juraisy, 1420) By: Ryan Arief Rahman.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers