Penghafal hadits terbanyak ke-2
Dia adalah shahabat mulia putra dari salah seorang sahabat utama yakni Umar bin Khattab. Saudara kandung Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Al-Khattab. Ia salah seorang di antara orang-orang yang bernama Abdullah (Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.
Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus. Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Hingga Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan basrah dan Madain.
Ia termasuk anak cerdas dan hebat yang menjadi kesayangan orang tuanya. Dalam suatu majlis Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?”
Para shahabat menerka-nerka, bahwa pepohonan yang dimasud oleh Sang Nabi adalah pepohonan di sekitar Wadhi Madinah. Tetapi. Semua shahabat terdiam. Tak seorangpun dari shahabat yang berani mengungkapkan. Dan dibenak Abdullah Ibn Umar kecil waktu itu, terbesitlah suatu pohon, yaitu, pohon kurma. Melihat ayahandanya Umar Ibn Khattab, serta shahabat-shahabat lainnya masih terus terpaku, ia juga tak menyampaikan apa yang terbesit dalam hatinya.
Para shahabat kemudian bertanya, “Pohon apakah gerangan wahai Rasulullah?”
“Pohon tersebut, adalah pohon kurma.”
Setelah majlis bubar, Abdullah kecil berkata kepada ayahandanya, “Wahai Ayah, sebenarnya telah terbetik dalam hatiku kalau Rasulullah akan menyebut pohon kurma.”
”Lalu mengapa tidak kamu katakan tadi?”, sahut sang Ayah.
Abdullah kecil kembali berkata, “Bagaimana aku akan bicara, sedangkan aku adalah kaum yang terkecil.”
“Seandainya engkau katakan tadi wahai anakku, itu lebih aku cintai daripada semegah-megahnya kekayaan sekalipun.”
Abdullah bin Umar adalah sosok shahabat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal. Bila ilmu diibaratakn sebagai air, maka Abdullah bin Umar menimbanya langsung dari sumber yang paling jernih, yaitu dari Rasulullah dan para shahabat senior yang juga langsung menimbanya dari Rasulullah. Bagi Abdullah bin Umar, tidak cukup mengetahui ilmu dan mendakwahkannya, sebelum dia sendiri mengamalkannya. Kisah berikut merupakan bukti bahwa Abdullah bin Umar adalah seorang alim yang benar-benar mengamalkan ilmunya.
Abdullah Ibnu 'Umar berkata, “Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah, maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan, 'Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.' Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya, 'Kamu akan aman.' Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.' Salim berkata, 'Setelah itu Abdullah bin Umar tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar’.” (Muslim - 4528)
Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan Rasulullah. Kecintaannya kepada Rasulullah sangat mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering turut menyertainya. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan harian dan meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian, makan, minum, bergaul, dan hal lainnya. Oleh karena itu tidak heran jika dia menjadi penghafal hadits terbanyak ke-2 setelah Abu Hurarirah. Beliau hafal 2.630 hadits. Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata, “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar.”
Keistimewaan lain yang melekat pada diri Abdullah bin Umar ialah keluasan ilmu, kerendahan hati, kebulatan tekad dan ketegasan pendirian, kedermawanan, serta keteguhannya pada contoh yang telah diberikan Rasulullah. Kepribadiannya yang sungguh mengagumkan nyaris tanpa cela sedikit pun. Orang-orang yang semasa dengan Abdullah bin Umar umumnya mengatakan, “Tak seorang pun di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadis Rasulullah sebagaimana halnya Abdullah bin Umar.”
Abdullah bin Umar termasuk orang yang hidup makmur, kaya raya dan berpenghasilan banyak. Ia pedagang dan saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar kehidupannya. Di samping itu, gajinya dari Baitul maal (kas negara) tidak sedikit pula. Tetapi, tunjangan itu tidak satu dirham pun disimpannya, melainkan dibagi-bagi sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin dan anak yatim. Ia banyak memberi kepada orang lain karena ia dikenal sangat pemurah. Bahkan, ia tidak peduli apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin atau kelaparan. Ia memang zahid, yakni orang yang tidak berminat terhadap pesona dunia.
Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia lebih memilih menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah bin Umar mendapat cobaan dari Allah SWT, yakni kehilangan pengelihatannya. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis setelah Abu Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 72 hijriyah dalam usia 84 tahun. Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di Kota Mekkah.
Oleh : Amar Syarifuddin,Lc
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Perawakannya.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Kezuhudannya.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah. Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mencela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “Maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. Dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari sulthan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh\
Sumber http://muslim.or.id
Ia bertekad untuk menaklukkan “Jurjaan” dan “Thabaristan” Di antara para pelopor sukarelawan tersebut terdapat seorang tabi’in mulia (yaitu) Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy al-Anshari yang di beri gelar Zainul Fuqaha (hiasan para fuqaha) dan dikenal dengan sebutan ‘Abid al-Bashrah (ahli ibadahnya Bashrah) serta murid seorang sahabat mulia Anas ibn Malik al-Anshari, pelayan Rasulullah.
Yazib ibn al-Muhallab singgah bersama pasukannya di “Dihistan” yang dihuni sekelompok kaum dari “Turki” yang sangat keras siksanya, sangat kuat dan sangat kokoh bentengnya.
Setiap hari mereka keluar untuk memerangi kaum muslimin. Apabila ditimpa kepayahan dan pertempuran bertambah sengit mendesak mereka, mereka berlindung di jalan-jalan perbukitan. Mereka bertahan di benteng-benteng yang kokoh dan berlindung di puncak-puncaknya yang tinggi.
Adalah Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy memiliki peran signifikan dalam pertempuran ini walaupun secara fisik kelihatan lemah dan usianya telah lanjut.
Pada suatu pertempuran dari hari-hari pertempuran yang sengit tersebut, muncullah seorang penunggang kuda dari barisan musuh yang mana mata tidak pernah melihat badan yang sekekar itu, begitu kuat, pemberani dan sangat kuat keteguhannya. Ia terus saja menerobos masuk ke tengah-tengah barisan sehingga memojokkan kaum muslimin dari tempat-tempat mereka. Ia juga menimbulkan rasa takut dan gentar di hati mereka.
Kemudian ia mulai mengajak mereka untuk berduel menantang dengan sombong. Ia terus mengulangi tantangannya.
Maka, tidaklah Muhammad ibn Waasi’ mendengar ajakannya kecuali ia bertekad untuk berduel dengannya.
Di saat itulah kegagahan (keberanian) merayap dalam jiwa pasukan muslimin. Salah seorang dari mereka mendatangi orang tua ini dan bersumpah agar ia tidak melakukannya dan memohonnya supaya membiarkannya mengantikannya. Orang tua itu lantas mengabulkan sumpahnya dan mendoakan kemenangan dan pertolongan untuknya.
Kedua prajurit tersebut saling mendatangi lawannya laksana datangnya kematian. Keduanya saling menerkam laksana dua singa yang kuat. Mata dan hati seluruh tentara memperhatikan dari setiap tempat. Keduanya terus saling menerkam dan menyerang beberapa saat hingga kelelahan.
Di saat yang bersamaan keduanya saling menebas kepala lawannya.
Adapun pedang prajurit Turki menancap di penutup kepala prajurit muslim, sedangkan pedang prajurit muslim turun mengenai pelipis prajurit Turki sehingga membelah kepalanya menjadi dua bagian. Terpecahlah kepalanya menjadi dua.
Prajurit yang menang tersebut kembali ke barisan muslimin di bawah tatapan mata yang tidak pernah menyaksikan pemandangan seperti itu.
Pedang di tangannya meneteskan darah. Dan sebuah pedang menancap di atas ‘helm’-nya berkilat di bawah sinar matahari.
Kaum muslimin menyambutnya dengan tahlil, takbir dan tahmid.
Yazid ibn al-Muhallab memandang kepada kilatan dua pedang itu, ‘helm’ dan senjata orang tersebut. Ia berkata, “Alangkah menakjubkannya prajurit ini!!,” Manusia apakah dia?”
Maka dikatakan kepadanya bahwa ia adalah orang yang telah mendapatkan berkah dari doanya Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy.
Neraca kekuatan berbalik setelah tewasnya prajurit Turki, rasa takut dan gentar menjalar di dalam diri kaum musyrikin seperti api yang menyambar daun ilalang yang kering-kerontang.
Api semangat dan izzah kemudian menyala dalam dada kaum Muslimin. Mereka mendatangi musuhnya laksana datangnya air bah. Mereka mengepungnya seperti kalung yang melingkar di leher. Mereka juga memutuskan (pintu-pintu) air dan suplai makanan. Sehingga raja mereka tidak menemukan jalan selain perdamaian. Ia kemudian mengirim utusan kepada Yazid untuk menawarkan perdamaian kepadanya, dan mengumumkan kesiapannya untuk menyerahkan negara yang ada dalam kekuasaannya dengan segenap apa dan siapa yang ada padanya, dengan jaminan ia (Yazid) memberikan keamanan kepada dirinya, harta dan keluarganya.
Thawus bin Kaisan
Tak kenal kompromi dengan penguasa
Di tengah bertaburnya lima puluh bintang hidayah yang bersinar terang (yakni para sahabat), maka terkumpullah cahaya terang pada dirinya. Cahaya di hatinya, cahaya di lidahnya, dan cahaya di depan matanya.
Di bawah bimbingan lima puluh ulama alumnus madrasah Muhammad maka Thawus seakan menjelma menjadi duplikat bagi para sahabat Rasulullah saw. dalam kemantapan iman, kejujuran kata-kata, kezuhudan dan terhadap dunia dan keberanian dalam menyerukan kalimat yang benar kendati harus ditebus dengan harga yang mahal.
Madrasah Muhammadiyah (pengikut Muhammad) mengajarkan kepadanya bahwa agama adalah nasihat. Nasihat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.
Fakta menjadi bukti baginya bahwa kebaikan secara total dapat terwujud bila dimulai dari penguasa. Bila baik pemimpinnya baik pula umatnya. Bila rusak pemimpinnya, rusak pula rakyatnya.
Begitulah sekilas tentang Dzakhwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus (burung merak) karena dia laksana thawus bagi para fuqaha dan para pemuka pada masanya. Thawus bin Kaisan adalah penduduk Yaman, gubernur negerinya saat itu adalah Muhammad bin Yusuf Ats-Tsaqafi, saudara dari Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj menempatkan saudaranya itu sebagai wali setelah kekuatannya menguat dan pamornya melejit, terutama sejak ia mampu membendung gerakan Abdullah bin Zubair.
Muhamad bin Yusuf banyak mewarisi sifat jahat saudaranya, Hajjaj bin Yusuf, namun tak sedikit juga kebaikan Hajjaj yang diambilnya.
Suatu hari di musim dingin, Thawus bin Kaisan dan Wahab bin Munabbih mendatangi Muhammad bin Yusuf. Setelah duduk di hadapan wali itu, Thawus memberikan nasihat panjang lebar, berupa anjuran dan juga ancaman. Sementara itu orang-orang duduk di depan amirnya.
Ketika itu gubernur berkata kepada pembantunya, “Ambilkan seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal lalu letakkan di bahu Abdurrahman (panggilan lain Dzakhwan bin Kaisan).” Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. Dia mengambil seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal lalu meletakkannya di atas bahu Thawus.
Akan tetapi, Thawus terus saja melanjutkan nasihatnya. Di tengah ia berbicara, sesekali diselingi dengan menggoyang bahunya secara halus hingga akhirnya jatuhlah pakaian tersebut. Setelah itu ia berdiri dan beranjak dari tempat itu.
Muhammad bin Yusuf tersinggung melihat hal tersebut. Wajah dan matanya berangsur memerah, namun dia tidak berkata apa-apa. Sementara itu, Thawus dan Wahab bin Munabbih berada di luar majelis, Wahab berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita tidak perlu membuat dia marah kepada kita. Apa salahnya bila Anda menerima pakaian tadi kemudian Anda jual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin?”
Thawus berkata, “Apa yang Anda katakan memang benar jika aku tidak mengkhawatirkan para ulama setelah kita berkata, ‘Kami akan mengambil seperti Thawus bin Kaisan,’ (yakni menerima pemberian penguasa), akan tetapi mereka tidak melakukan seperti yang Anda ucapkan.” (yakni menjual dan menyedekahkan kepada fakir miskin).
Seakan Muhammad bin Yusuf ingin membalas perlakuan Thawus bin Kaisan yang keras seperti batu itu dengan segala cara. Dia menyiapkan perbendaharaan hartanya lalu mengutus seorang kepercayaannya membawa satu pundi berisi 700 dinar emas, lalu dia berkata, “Berikan bingkisan ini kepada Thawus dan usahakan supaya dia menerimanya. Bila engkau berhasil aku sediakan untukmu hadiah yang berharga.”
Utusan itu pun berangkat dengan membawa hadiah tersebut ke tempat kediaman Thawus di sebuah desa di dekat Shan’a yang disebut dengan Al-Janad. Di rumah Thawus, setelah berbincang-bincang sejenak, utusan itu berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ini ada nafkah dari amir untuk Anda.” Thawus menjawab, “Maaf, saya tidak memerlukan itu.” Utusan itu mencoba merayu dengan segala cara namun dia menolaknya, berdalih dengan segala argumen dia pun tetap menampiknya.
Akhirnya tak ada jalan lain bagi utusan itu selain mencari kesempatan lengahnya. Secara diam-diam dia taruh pundi-pundi itu di salah satu sudut rumah Thawus. Setelah itu dia pun kembali dan melapor kepada amir, “Wahai amir, Thawus telah menerima pundi-pundi itu.” Betapa senangnya amir mendengar berita itu, namun dia tidak berkomentar sedikitpun.
Beberapa hari kemudian dia mengutus dua orang dan diikuti pula utusan yang membawakan hadiah untuk Thawus tempo hari. Amir memerintahkan agar keduanya mengtakan kepada Thawus, “Utusan Thawus dahulu keliru menyerahkan harta itu kepada Anda. Sebenarnya harta itu untuk orang lain. Sekarang kami datang untuk menariknya kembali dan menyampaikannya kepada orang-orang yang benar.” Thawus menjawab, “Aku tidak menerima apa-apa dari amir, apa yang harus aku kembalikan?” Kedua pengawal itu bersikeras, “Anda telah menerimanya.”
Thawus menoleh kepada utusan gubernur dan bertanya, “Benarkah aku telah menerima sesuatu darimu?” Utusan itu gemetar karena takut lalu menjawab, “Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda.”
Thawus berkata, “Coba lihatlah di tempat tersebut!”
Kedua pengawal itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi-pundi yang berisi uang itu masih utuh seperti semula. Keduanya harus menyibak sarang laba-laba untuk mengambilnya lalu dikembalikanlah uang itu kepada gubernur.
Abdullah bin Thawus berkisah, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak biacara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Begitu pula ketika dia mencoba dari arah kiri.
Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, ‘Mungkin ayah tidak mengenal Anda.’ Dia berkata, ‘Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi…’
Sesampainya di rumah ayah berkata, ‘Sungguh dungu kalian! Bila jauh kalian selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dinamakan kemunafikan?’.”
Sumber : http://www.alislamu.com
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 241-247.
Oleh: Amar Syarifuddin, Lc
Dia adalah Abu Syibil Alqamah bin Qais bin Abdullah bin Malik bin Alqomah bin Salaman bin Kuhl, An-Nakha’i Al-Kufi. Dia adalah paman dari Al-Aswad bin Yazid dan saudaranya, Abdurrahman. Paman dari ahli fiqh dari Irak, Ibrahim An-Nakha’i.
Dia dikenal sebagai ahli fiqh, ulama, qari’ Kufah, imam yang hafizh, dermawan, mujtahid dan terpandang.
Kelahiran Beliau
Alqamah dilahirkan pada masa kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan termasuk seorang Mukhadhram yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad dalam keadaan Islam, tetapi tidak sempat menemui Nabi dan mendengarkan hadits darinya secara langsung. Lalu dia pindah dari Kufah untuk mencari ilmu dan berjihad. Setelah itu ia menetap di Kufah, berguru kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, sehingga dia menguasai ilmu dan amal sampai para ulama belajar fiqh darinya dan ia pun menjadi tokoh terkenal.
Guru-gurunya
Dia pernah meriwayatkan dari Umar bin Al-Khatab, Utsman bin Afan, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Darda, Khalid bin Walid, Hudzaifah bin Al-Yaman, Khabab bin Al-Arts, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq, Sa’ad bin Abi Waqash, Amar bin Yasir, Abu Mas’ud Al-Badri, Abu Musa Al-Asy’ari, Ma’qil bin Sinan, Salamah bin Yazid Al-Ja’fi, Syuraih bin Arthah, Qais bin Marwan, dan dari para shahabat lainnya.
Murid-muridnya
Pujian Para Ulama
Dia belajar al-Qur’an dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Selain itu banyak para imam yang belajar darinya, di antaranya Ibrahim dan Asy-Sya’bi. Dia ditawari untuk menjadi imam dan mufti setelah Ali dan Ibnu Mas’ud. Dia juga disejajarkan dengan Ibnu Mas’ud dalam memberikan petunjuk, bimbingan, penjelasan, dan kepribadiannya. Murid-muridnya dan beberapa orang sahabat sering bertanya kepadanya dan belajar fiqh darinya.
Ibnu al-Madini berkata, “Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang mempunyai sahabat-sahabat yang hafal darinya dan melaksanakan perkataannya dalam fiqh kecuali tiga orang, yaitu Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas. Sedangkan orang yang paling tahu tentang Ibnu Mas’ud adalah Alqamah, Al-Aswad, Abidah, dan Al-Harits.”
Diriwayatkan dari Umarah bin Umair, ia berkata, “Abu Ma’mar berkata kepada kami, tunjukkan kepada kami orang yang paling serupa dengan Abdullah dalam petunjuk, penjelasan dan kepribadian!” kami lalu berjalan bersamanya hingga kami duduk di hadapan Alqamah.”
Ibrahim meriwayatkan dari Alqamah, bahwa ketika dia datang ke Syam, lalu masuk masjid Damaskus, dia berdoa, “Ya Allah, berilah kami rezki seorang teman yang shalih”. Dia lalu datang dan duduk di depan Abu Ad-Darda’ lantas berkata, “Dari mana kamu?” Alqamah menjawab “Dari Kufah”. Abu Ad-Darda’ berkata, “Bagaimana menurutmu ketika kamu mendengar Ibnu Ummu Abd, membaca firman Allah, “Walaili idzaa yaghsyaa?”
Diriwayatkan dari Muhammad, dia berkata, “Sahabat-sahabat Abdullah ada lima yang semuanya cacat, mereka adalah Abidah yang buta, Masruq yang bungkuk, Alqamah yang pincang, Syuraih yang botak, dan Al Harits yang buta.”
Diriwayatkan dari Alqamah dia berkata, “Ketika Abdullah diberi minuman, dia berkata, ‘Berikan kepada Alqamah, Masruq dan yang lain’. Mereka kemudian berkata, ‘Aku sedang puasa’, Abdullah berkata (membaca ayat yang artinya), ‘Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),’ (Qs. An-Nur : 37)”.
Ibrahim berkata, “Alqamah menghatamkan al-Qur’an setiap lima hari sekali, sedang Al-Aswad mengkhatamkannya setiap enam hari sekali, dan Abdurrahman bin Yazid mengkhatamkannya setiap tujuh hari sekali.”
Diriwayatkan dari Syaqiq, dia berkata, “Ketika Ibnu ziyad melihatku bersama Masruq, dia berkata, ‘Jika kalian pergi maka temuilah aku !’ setelah itu aku menemui Alqamah dan berkata, ‘Kamu tidaka akan mendapatkan apa-apa dari kekayaan dunia mereka kecuali mereka akanmendapatkan dari agamamu sesuatu yang lebih utama darinya’.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, bahwa kami pernah bertanya kepada Alqamah, ‘Bagaimana seandinya kamu ditanya ketika engkau selesai shalat di masjid lalu kami duduk bersamamu?’ Dia menjawab, ‘Aku sebenarnya tidak suka dipanggil, ‘Ini Alqamah’.’
Diriwayatkan dari Alqamah dia berkata, “Aku seorang yang oleh Allah diberi suara yang bagus dalam membaca al-Qur’an. Suatu ketika Ibnu Mas’ud datang kepadaku, lalu aku membacakan al-Qur’an kepadanya. Jika aku berhenti membaca, dia berkata, ‘bacalah lagi’. Karena kami mendengar Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik suara adalah suara yang digunakan untuk menghiasi Al-Qur’an.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, bahwa Abdullah berkata, “Aku tidak membaca sesuatu atau mengetahui sesuatu kecuali Alqamah telah membacanya atau mengetahuinya.”
Diriwayatkan dari Qabus bin Abu Dzabyan, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Untuk apa anda datang menemui Alqamah dan meninggalkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ?’ dia menjawab, ‘Aku melihat beberapa orang sahabat Nabi bertanya kepada Alqamah dan meminta fatwa darinya’.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata, “Ketika ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud, ‘Alqamah bukanlah orang yang paling bagus bacaannya di antara kami’. Ibnu Mas’ud pun berkata, ‘Tidak, demi Allah, dia Qari’ kalian yang terbaik’.”
Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, dia berkata, “Jika Ahlul Bait diciptakan untuk surga, maka yang termasuk Ahlul Bait adalah Alqamah dan Al Aswad.”
Diriwayatkan dari Alqamah, bahwa dia pernah berwasiat seraya berkata, “Jika ajal menjemputku maka duduklah satu orang di sisiku untuk menuntunku membaca laa ilaaha illallah dan bawalah mayatku dengan segera ke dalam lubang kuburku, serta jangan beritakan kematianku kepada orang-orang, karena aku takut hal itu akan menimbulkan tangisan seperti tangisan jahiliyah.”
Wafat Beliau
Alqamah meninggal dunia pada tahun 62 Hijriah.
Syiar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi, 4/53 – 61.
Abu Salamah adalah putera Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah yang kaya. Nasabnya secara lengkap adalah Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf bin Abdi Auf bin Abdi bin Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab al-Quraisy az-Zuhri al-Hafizh. Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’nya menempatkannya pada tingkatan kedua dalam jajaran para Tabi’in. Dia merupakan ulama Madinah. Ada yang mengatakan nama aslinya adalah Abdullah atau Ismail. Dia dilahirkan pada sekitar tahun 20-an Hijriyah. Ia hanya meriwayatkan sedikit hadis dari ayahnya. Karena sang ayah terlebih dahulu meninggal dunia. Saat itu, Abu Salamah masih kecil.
Namun demikian, ia sempat meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat Rasulullah, di antaranya Usamah bin Zaid, Abdullah bin Salam, Abu Ayyub, Aisyah, Ummu Salamah, Ummu Sulaim, Abu Hurairah, dan beberapa sahabat yang lain.
Menurut Umar bin Abdul Aziz, Abu Salamah adalah penuntut ilmu yang faqih dan mujtahid yang memiliki kemampuan berhujjah. Beberapa ulama meriwayatkan dari Abu Salamah, di anataranya adalah anaknya sendiri, Umar bin Abu Salamah, keponakannya Sa’ad bin Ibrahim, Abdul Majid bin Suhail, Asy-Sya’bi, Sa’id Al-Maqbari, Amr bin Dinar, Az-Zuhri, Salamah bin Khalil, dan lainnya.
Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya menyebutkan, Abu Salamah termasuk orang yang Tsiqah dan Faqih. Abu Zur’ah menyebutnya sebagai seorang imam yang tsiqah. Imam Malik berkata, “Di antara kami ada yang dikenal sebagai ahli ilmu. Nama atau kunyah salah seorang diantaranya adalah Abu Salamah.”
Muhammad bin Abdullah bin Abi Ya’kub adh-Dhibby berkata “Abu Salamah pernah datang ke Bashrah di kediaman Bisyr bin Marwan. Abu Salamah merupakan seorang laki-laki yang ceria. Wajahnya seperti mata uang dinar.
Az-Zuhri berkata, “Ada empat orang Quraisy yang kutemui seperti laut (kiasan banyaknya ilmu mereka). Yaitu Urwah, Ibnu al-Musayyab, Abu Salamah dan Ubaidillah bin Abdullah. Namun Abu Salamah sering berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas. Dengan demikian, ia terhalang untuk mendapatkan ilmu yang banyak dari Ibnu Abbas.
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Aku datang ke Mesir untuk bertemu Abdul Aziz, gubernur daerah itu. Aku berbicara tentang Said bin Al-Musayyab. Ibrahim bin Qarizh berkata, “Aku tidak mendengar anda berbicara kecuali tentang Said bin Al-Musayyib? Ibnu Syihab menjawab, “Ya.” Ibrahim mengatakan, “Engkau telah meninggalkan dua orang laki-laki dari kaummu yang sepengetahuanku tidak ada yang lebih tahu tentang hadits daripada keduanya: Urwah dan Abu Salamah.” Az-Zuhri kembali mengatakan, “Ketika aku kembali ke Madinah akau mendapatkan Urwah laksana laut yang tak dikotori oleh sesuatu.’”
Semasa hidupnya Abu Salamah biasa mengunjungi berbagai kota. Selain Mesir dan Bashrah, ia juga pernah ke kuffah. Dipaparkan Asy-Sya’bi, “Ketika ke kuffah, ia berjalan di antaraku dan seorang pria. Lalu ia ditanya tentang orang yang paling berilmu. Ia diam sejenak, lalu menjawab, “Seorang pria diantara kalian berdua.”
Di antara Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Salamah adalah hadis dari Abu Hurairah yang berbunyi:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي وَالمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah memperkuat (tekad) untuk melakukan perjalanan kecuali pada tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram (di Makkah) dan Masjidil Aqsha (di Yerusalem).”
Hadis lain yang bersumber dari Abu Salamah dari jalur Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنْ اللَّهِ وَالْحُلْمُ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا حَلَمَ فَلْيَتَعَوَّذْ مِنْهُ وَلْيَبْصُقْ عَنْ شِمَالِهِ فَإِنَّهَا لَا تَضُرُّهُ
“Mimpi yang baik adalah berasal dari Allah dan mimpi buruk berasal dari setan, maka jika salah seorang diantara kalian bermimpi buruk, hendaklah meminta perlindungan kepada Allah karenanya dan meludah kesamping kirinya, sehingga mimpi buruknya tidak membahayakannya.” (HR. Bukhari, 6471)
Sejarawan Khalifah bin Khayyath mengatakan, “Marwan bin Hakam meninggalkan Madinah pada 48 Hijriyah. Lalu Madinah dipimpin oleh Sa’id bin Ash. Dan Abu Salamah bin Abdurrahman diminta sebagai hakim.”
Abu Salamah tetap menjabat sebgai Qadhi Madinah hingga Sa’id tidak lagi menjabat gubernur kota itu pada tahun 54 Hijriyah.
Abu Sa’ad berkata, “Abu Salamah meninggal dunia di Madinah pada tahun 94 Hijriyah pada masa pemerintahan Al-Walid dalam usia 72 tahun.” Ada juga yang menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 104 Hijriyah
Siyar A’lam Nubala
Oleh : Amar Syarifuddin,Lc.
Ketika itu, kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.
Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menempati tempat duduknya di balik tabir. Dari situ dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang hadits-hadits Nabi. Dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah yang luhur.
Putri bangsawan ini sangat cerdas dan bersemangat untuk mencapai ketinggian martabat. Sementara kakaknya menerima orang-orang yang menghadap berdasarkan kedudukannya. Sahabat-sahabat Rasulullah Selalu didahulukan dari yang lain, baru kemudian menyusul tokoh-tokoh tabi’in, para ulama dan kalangan bangsawan.
Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertama kakanya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengarkan kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan terobati.”
Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah, wahai Muawiyah, rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju satu langkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan, maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis dari Anda atau karena gentar karena murka Anda. Kami datang kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum muslimin.” Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkapkanlah tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang betubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasa yang dimiliki manusia melainkan dia mendapat bagiannya.
Ummul Hakam menoleh kepada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di rumahnya.” Muawiyah menghela nafas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”
Marilah kita telusuri kisah Ahnaf bin Qais dari awalnya.
Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah As-Sa’di mendapatkan karunia seorang laki-laki. Dia diberi nama Adh-Dhahak, tapi orang-orang menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan itu seakan menjadi namanya sendiri.
Ayahanda Ahnaf bernama Qais bukanlah seorang pemuka dari kaumnya. Bukan pula dari golongan yang rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai Yatim karena ayahnya terbunuh ketika ia masih sangat kecil. Cahaya Islam bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.
Rasulullah pernah mengutus beberapa sahabatnya kepada kaum Ahnaf bin Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam. Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman dan menawarkan Islam.
Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika Ahnaf muda yang juga hadir angkat suara, “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik utusan. Mereka mengajak kepada akhlak yang luhur dan melarang yang cela. Demi Allah, tiada yang kita dengar dari mereka selain kebaikan, maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia dan akhirat.”
Akhirnya kaum itu memeluk Islam secara serentak bersama Ahnaf. Kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasulullah, namun Ahnaf tidak disertakan karena Ahnaf masih terlalu muda. Sehingga dia tidak mendapatkan kehormatan sebagai salah satu sahabat. Namun demikian, dia tidak terhalang untuk mendapatkan ridha dari Rasulullah dan do’a beliau kepadanya.
Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada pemerintahan Umar bin Khathab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan gabar gembira kepada Anda?” Aku berkata, “Ya, tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku diutus oleh Nabi. untuk menyeru kaum Anda kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda mengatakan sesuatu kepada mereka?” Aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdo’a, “Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”
Maka Ahnaf berkata, “Tidak ada satupun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali do’a Nabi itu.”
Sejak kecil beliau bisa duduk berkumpul bersama tokoh-tokoh kaumnya, ikut dalam majelis-majelis mereka, menghadiri pertemua-pertemuan dan tekun belajar kepada ulama dan tokoh-tokohnya.
Beliau menuturkan kisahnya, “Kami sering mendatang majelis Qais bin Asim Al-Minqari untuk belajar tentang kebaikan hidup juga kepada para ulama untuk menimba ilmu agama.”
Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada Al-Faruq Umar bin Khathab. Dia menghadiri majelis-majelis Umar, mendengarkan nasihat-nasihatnya juga mempelajari beberapa hukum dan pidana. Beliau termasuk murid Umar yang berhasil dan sangat terwarnai oleh karakter gurunya tersebut.
Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang berkata:
Barangsiapa yang banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebih dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya.
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat wara’nya.
Dan barangsiapa sedikit sifat wara’nya maka matilah hatinya.
Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” Beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu betanya, “Apakah empat hal itu?” beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya.”
Ahnaf bin Qais termasuk salah satu tokoh yang lapang dada di Arab, sehingga sifat sabarnya dibuat sebagai permisalan. Suatu ketika Amru bin Ahtam pernah memperalat seseorang untuk mencaci maki Ahnaf dengan kata-kata yang menyakitkan, tetapi yang dicaci hanya terdiam dan menundukkan kepala. Melihat yang dicaci tidak menggubrisnya, orang itu gigit jari dan bergumam, “Celakalah aku! Demi Allah dia tak mempedulikan karena aku dipandang rendah olehnya!”
Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulai gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu mulailah dia shalat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperti orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah.
Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, apa yang membuat Anda berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa bersabar dengan pedihnya?! Ya Allah, bila engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu.”
Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 376-386.
Oleh : Amar Syarifuddin, Lc
Dia adalah Muhammad bin Muslim bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah bin Al-Harits bin Zuhrah bin Kitab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Seorang Imam yang luas ilmunya, al-Hafizh di zamannya, Abu Bakar Al-Qurasy Az-Zuhri al-Madani.
Ia lahir dikota Syam. Menurut Duhaim dan Ahmad bin Shaleh dia lahir pada tahun 50 Hijriyah, sedangkan menurut Khulaifah bin Khayyat dia dilahirkan pada tahun 51 Hijriyah. Dalam lembaran sejarah, ia lebih terkenal dengan sebutan imam az-Zuhri.
Ia dikaruniai usia panjang hingga berkesampatan untuk bertemu dengan sebagian shahabat Nabi, bertemu dengan 10 shahabat dan mengambil ilmu dari mereka. Ia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Sahl bin Sa’ad, Saib bin Yazid dan beberapa sahabat lainnya.
Muhammad Az-Zuhri adalah gudang ilmu.
Tidak berlebihan jika ia dijuluki sebagai gudang ilmu. Karena imam Az-Zuhri memang menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Berikut ini pernyataan dari beberapa ulama tentang keilmuannya:
Laits bin Sa’ad berkata, “Aku tidak mengetahui ada orang alim yang mengumpulkan banyak ilmu daripada Ibnu Syihab.”
Rabiah ar-Ra’yi berkata, “Aku tidak menduga bahwa ada orang yang menguasai ilmu seperti Ibnu Syihab.” Maksudnya, Muhammad Az-Zuhri.
Amr bin Dinar, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih mendalami ilmu hadits dari Ibnu Syihab.
Umar bin Abdul Aziz bertanya, “Apakah kalian mau menemui Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri)?” Mereka menjawab, “Kami akan melakukannya.” Dia berkata, “Temuilah dia, karena sesungguhnya tidak ada yang tersisa saat ini orang yang lebih tahu tentang sunnah Rasulullah daripadanya.”
Ad-Darawardi berkata, “Sesungguhnya orang yang pertama kali menyusun dan membukukan ilmu pengetahuan adalah Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri).”
Ahmad bin Hambal, berkata, “Az-Zuhri adalah orang yang paling kompeten dalam hadits dan yang paling baik sanadnya.” Dia juga berkata, “Az-Zuhri orang yang terbaik dalam hal hadis dan terbaik dalam hal isnad.”
Kedalaman ilmu tersebut tidak didapat imam Az-Zuhri secara gratis, dan bukan semata karena ia cerdas. Tetapi semua itu berkat kesungguhan dan kesabarannya dalam meniti berbagai sarana yang dapat menunjang keberhasilannya.
Demi ilmu, dia berani melakukan perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Dan jika ia masuk ke rumah, ia langsung bergelut dengan buku sehingga melupakan hal-hal lain. Ketika istrinya masuk. Muhammad Aaz-Zuhri selalu bersama bukunya. Sang istri sampai cemburu. Sang istri pernah berdiri disampingnya seraya berkata, “Demi Allah, kecemburuanku pada buku-buku ini lebih besar daripada tiga wanita?”
Ia juga selalu mendampingi para ulama. Ia pernah berkata, ”Hewan tungganganku berjalan mengiringi Said bin Musayyib selama delapan tahun.” Dan ketika dia menyertai Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, salah seorang ahli fiqih Madinah. Muhammad Az-Zuhri melayaninya layaknya seorang pembantu melayani tuannya. Ketika pembantu sebenarnya Ubaidillah pergi, Muhammad az-Zuhri datang mengetuk pintu. “Siapa di depan pintu,” tanya Ubaidillah.
Budak Ubaidillah menjawab, “Pelayanmu!”
Ubaidillah mengira pembantunya. Padahal, dia adalah Muhammad Az-Zuhri.
Imam Az-Zuhri juga rajin mencatat semua ilmu yang didengarnya. Abdurrahman bin Abi Az-Zinad berkata, “Aku saat itu sedang melakukan Thawaf bersama dengan Ibnu Syihab. Ibn Syihab membawa selembar kertas dan papan tulis, dia berkata “Dan kami tertawa bersama karenanya.”
Imam Az-Zuhri senantiasa mengulang dan mempelajari kembali ilmu yang didapat. Ya’kub bin Abdirrahman berkata, “Sesungguhnya Az-Zuhri pernah menuntut ilmu kepada Urwah dan yang lain, kemudian dia membangunkan seorang budak perempuannya yang masih tertidur, lalu dia berkata kepadanya. “Si Fulan sedang begini, begini.” Si budak itu berkata, “Apa ini?” dia kemudian berkata, “Aku telah tahu bahwa kamu tidak dapat memanfaatkannya, akan tetapi aku sudah mendengar (perkataan ini) dan aku ingin mengingatnya (mempelajarinya)”
Dia sangat memegang prinsip ini hingga dia berkata, “Ilmu pengetahuan sirna karena penyakit lupa dan tidak mempelajarinya.”
Imam Az-Zuhri juga dikaruniai Allah daya hafal yang sangat kuat. Bagi Az-Zuhri karunia ini adalah anugerah berharga yang sangat disuyukurinya. Dia berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang diterima hatiku yang kulupakan.” Ia juga berkata, “Aku tidak pernah ragu terhadap hafalan hadisku kecuali satu hadis. Aku pun menanyakan pada salah seorang sahabatku. Ternyata persis seperti yang kuhafal.”
Muhammad Az-Zuhri tak hanya mengantungi banyak ilmu, tapi juga mengamalkannya. Suatu ketika Muhammad bin al-Munkadir melihatnya lalu berkata, “Aku melihat di antara dua mata Az-Zuhri ada tanda bekas sujud.” Ini menunjukan banyaknya ibadah sang imam.
Kedalaman ilmu fiqihnya.
Dia berbuka pada puasa Ramadhan ketika musafir. Namun saat hari Asyura’ ketika safar, dia justru berpuasa. Saat ditanya mengapa dia berbuka dan kadang berpuasa ketika musafir, ia menjawab, “Sesungguhnya puasa hari-hari Ramadhan bisa diganti dengan hari lain. Sedangkan hari Asyura’ tidak.”
Betapa indah ibadah ahli ilmu. Betapa indah ibadah para ulama. Betapa banyak orang alim ketika membaca Al-Qur’an mendapatkan kenikmatan yang tak didapat orang selain mereka. Dengan membaca Al-Qur’an, mereka mengetahui perintah-Nya dan memahami yang halal dan haram.
Ketika salah seorang saudaranya ditanya, apakah Az-Zuhri menggunakan minyak wangi, saudaranya menjawab, “Aku mencium minyak wangi dari langkah hewan kendaraan az-Zuhri.”
Bukanlah termasuk zuhud seseorang yang menolak perhiasan dunia. Zuhud adalah memakan yang halal tanpa berlebihan. Siapa yang makan yang baik dan melaksanakan Hak-Nya dan mengambil dari dunia sekadar yang ia butuhkan, itulah zuhud yang sebenarnya.
Muhammad Az-Zuhri biasa bergaul dengan para penguasa. Karenanya, para khalifah Bani Umayyah banyak yang memuliakannya. Suatu saat ia berada di suatu kaum yang mengeluh, “Kami mempunyai 18 wanita yang sudah lanjut usia. Mereka tak mempunyai pelayan.”
Imam Az-Zuhri segera memberikan 10000 dirham, dan menyiapkan 1000 dirham untuk pelayan mereka.
Raja’ bin Haywah pernah menasehatinya tentang kedekatannya dengan para penguasa Bani Umayyah, “Tidaklah engkau aman dari tangan-tangan mereka (maksudnya para penguasa Bani Umayyah).”
Imam Az-Zuhri berjanji untuk mengurangi kedekatannya. Ketika suatu saat, Raja’ menemuinya, Az-Zuhri sudah meletakan makanan dan meninggalkan manisan mereka. Raja’ berkata, “Wahai Abu Bakar, ini yang kami bedakan.” Lalu Az-Zuhri berkata,” Sesungguhnya, kedermawanan itu tidak bisa dengan coba-coba.”
Walaupun dekat dengan penguasa, hal itu tidak membuat imam Az-Zuhri mengekor. Ia tetap tegas menolak hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Suatu ketika, Sulaiman bin Yasar menemui Hisyan bin Abdul Malik.”Wahai Sulaiman!Siapa yang memanggul dosa besar dari golongan mereka?(maksudnya dari lawan Aisyah?)” tanya Hisyam. “Abdullah bin ubay bin Salul,” jawab Sulaiman.
“Engkau berbohong!Tapi Ali bin Abi Thalib.”
“Amirul Mukminin lebih mengetahui apa yang ia katakan,”jawab Sulaiman.
Ketika Imam Az-Zuhri menemui Hisyam, ia ditanya dengan pertanyaan serupa.”Abdullah bin Ubay bin Salul,” jawab Az-Zuhri.
“Engkau bohong!Tapi Ali bin Abi Thalib,”ujar Hisyam.
“Tidak. Seandainya ada seruan dari langit yang mengatakan bahwa Allah menghalalkan berbohong, aku tetap tidak mau berbohong. Dari Urqah bin Zubair, Said bin Musayyab, dan Ubaidillah bin Abdullah dari Aisyah bahwa orang yang memanggul dosa dari lawannnya adalah Abdullah bin Ubay bi Salul.”
Demikianlah. Imam Az-Zuhri tetap pada pendiriannya. Ia wafat dalam usia 72 tahun. Ia meninggal pada malam selasa, 17 Ramadhan tahun 124 Hijriyah.
Sumber:
101 Kisah Tabi'in
Hilyah Al-Auliya’ karya Abu Nua’im Al-Ashbihani
Sirah A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi
dll
Rabi’ adalah seorang tabi’in yang sangat alim. Seorang Arab Asli yang berasal dari suku Mudhar dan silsilahnya bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya. Ia termasuk salah seorang dari delapan ulama zuhud yang terakhir di zamannya. Sejak muda, ia sangat taat beribadah. Ketika mendekati masa baligh, suatu malam ibu Rabi’ terbangun. Ada apa gerangan? Ia menemukan anaknya sedang bermunajat dan terhanyut dalam shalat. Sang ibu menegur lembut, “Apakah engkau tidak tidur, Rabi’?”
“Bagaimana seseorang yang diliputi kegelapan bisa tidur dengan nyenyak sementara ia takut akan serangan musuh?” jawab Rabi’ dengan sopan. Mengalirlah air mata ibunya membasahi pipi sembari mendoakan putranya agar mendapatkan kebaikan.
Ketika Rabi’ tumbuh dewasa, sifat wara’nya bertambah, hampir sepanjang malam ia habiskan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rintihan tangisnya ketika berdoa ditengah keheningan malam makin memilukan. Sang ibu tidak bisa tidur. Ia menyangka kalau anaknya telah melakukan dosa besar.
Ketika Rabi’ ditanya ibunya, ia menjawab, “Betul Bu, aku pernah membunuh orang,” jawab Rabi’ sedih.
“Anakku, siapakah yang engkau bunuh? Aku akan menemui kerabatnya. Mungkin mereka mau memaafkanmu. Demi Allah, Aku yakin seandainya keluarga si terbunuh mendengar tangis yang engkau deritakan dan mengetahui kalau engkau tak banyak tidur malam, niscaya mereka akan mengasihimu,”ujar sang Ibu penuh kecemasan.
“Baiklah Bu, tapi mohon jangan beritahu siapapun. Sebenarnya aku telah membunuh diriku sendiri dengan tumpukan dosa,” jawab Rabi’.
Itulah sosok Rabi’, seorang murid Abdullah bin Mas’ud yang rendah hati. Ia sangat dicintai gurunya. Hubungannya dengan sang guru laksana anak dengan orangtuanya. Kekaguman sang guru terhadapnya dilatari oleh kemuliaan akhlak dan kecerdasannya, juga ibadahnya yang sempurna, Ibnu Mas’ud sempat berkata, “Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, InsyaAllah ia tergolong Sahabat yang dicintai.”
Suatu hari, Rabi’ kedatangan dua orang tamu, Hilal bin Isaf dan Mundzir Ats-Tsauri. Mereka mengucapkan salam seraya bertanya, “Bagaimana keadaan engkau wahai Syaikh?”
“Dalam keadaan lemah, penuh dosa, makan seadanya dan kini sedang menunggu ajal kematian,” jawab Rabi’.
“Seorang dokter piawai telah datang ke kota ini. Apakah syaikh berkenan kalau aku memanggilnya demi kesembuhanmu?” Hilal mengusulkan.
“Wahai Hilal, aku tak yakin dengan keampuhan obat. Aku jadi teringat akan kebinasaan kaum’Aad, Tsamud dan lainnya. Aku teringat akan kerakusan mereka terhadap dunia dan kecintaannya terhadap harta. Kekuatan dan kekuasaan mereka lebih besar dan lebih agung daripada kita. Saat itu, banyak tabib dan orang sakit. Tapi akhirnya tak seorangpun yang tetap tinggal, baik tabib maupun pasiennya,” Jawab Rabi’.
Kemudian ia menarik nafas panjang seraya berkata, “Kalau itu memang satu-satunya obat, niscaya aku mengambilnya.”
“Jadi, penyakit apakah itu wahai syaikh?” tanya Hilal.
”Obatnya adalah bertaubat,,”Jawab Rabi’ tegas.
“Lantas bagaimana menyembuhkannya?” tanya Hilal ingin tahu.
“Dengan bertaubat dan tidak mengulangi lagi,” Jawab Rabi’. Kemudian ia menatap mereka berdua seraya berkata, “Waspadalah terhadap keburukan gerakan batin yang tak tampak oleh manusia, namun jelas di sisi Allah. Carilah obatnya.”
“Apa obatnya?” tanya Mundzir ingin tahu.
“Taubat nasuha,” jawab Rabi’ seraya menangis hingga airmatanya membasahi jenggotnya.
“Mengapa syaikh menangis? Bukankah engkau termasuk orang yang shalih?” tanya Mundzir penuh keheranan.
Perbincangan itu semakin menarik, sampai waktu tak terasa berjalan cepat. Saat itu mendekati waktu Dzuhur, Hilal memohon nasehat rohani kepada Rabi’.
“Hilal, Janganlah terpesona oleh pujian. Mereka tidak mengetahui perihalmu yang sebenarnya kecuali hanya yang tampak. Ingatlah bahwa setiap perbuatan yang bukan karena Allah, hanyalah sia-sia,” kata Rabi’ memberi nasehat. Kemudian keluar air matanya bercucuran sambil berkata, “Apa yang dapat kalian lakukan ketika bumi diguncangkan berkali-kali? Ketika para malaikat berbaris dan neraka di perlihatkan?”
Ketika Adzan Dzuhur di kumandangkan, ia segera mengajak putranya memenuhi panggilan Allah. “Wahai syaikh! Allah telah memberikan keringanan bagi engkau! Alangkah baiknya kalau engkau shalat di rumah saja,” ujar Mundzir.
“Benar yang kau katakan. Tapi aku telah mendengar suara Muadzin menyerukan hayya ’alal falah (mari menuju kemenangan). Barang siapa medengar muadzin mengajak kemenangan, maka hendaklah memenuhi panggilannya, sekalipun dengan cara merangkak,” jawabnya Rabi’.
Ketakwaan Rabi’ yang begitu luar biasa menjadi buah bibir rekan-rekannya. Suatu ketika Abdurrahman bin Ajlan berkata, “Suatu malam, saya bermalam di rumah Rabi’. Setelah yakin saya tidur nyenyak, ia bangun, kemudian ia sholat. Dalam shalatnya ia membaca ayat dari surah al-Jatsiyah berulang kali hingga fajar menyingsing. Sementara itu, dikedua pelupuk matanya bercucuran air mata bening.”
Banyak juga yang menceritakan tentang rasa takut Rabi’ pada Allah. Sebuah riwayat dari Mundzir mengatakan, “Suatu hari kami keluar bersama Abdullah bin Mas’ud dan Rabi’ melalui tepi sungai Eufrat. Di tengah perjalanan kami melihat pabrik kapur yang besar tengah menyala apinya. Percikan apinya berhamburan. Bara apinya berkobar-kobar. Letupan nyalanya terdengar. Tampak beberapa batu siap dibakar menjadi kapur. Ketika Rabi’ melihat kobaran api, ia berhenti sejenak. Ia gemetar seakan disambar halilintar. Kemudian ia membaca ayat, “Apabila mereka itu melihat neraka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”(QS. Al-Furqan: 12-13)
Kemudian ia pingsan. Saya dan Abdullah bin Mas’ud merawatnya hingga sadar. Lalu mengantarkannya pulang.”
Rabi’ tinggal di Kufah. Ia adalah generasi tabi’in yang wara’ dan khusyu. Ia amat berhati-hati menghadapi dosa-dosa kecil dan nyaris tak pernah melakukannya. Ketika mencapai usia senja, ia terserang penyakit lumpuh. Sejak saat itu ia mengurung diri dirumah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Pada saat ajal mendekatinya, puterinya menangis, lalu dia berkata, “Apa yang membuatmu menangis wahai puteriku, padahal kebaikan telah menanti di depan ayahmu?” Sebentar kemudian ruhnya kembali kehariban Rabb-Nya.
Sumber:
Shuwar min Hayyah at-Tabi’in, Abdurrahman Ra’fat Basya, edisi Indonesia Jejak Para Tabi’in.
Perpanduan Ilmu dan Amal
oleh : Amar Syarifuddin, Lc
“Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga di selain shalat.” (Ashim)
Mari kita mulai kisah kehidupan imam ini. Kisah tentang hidayah seorang tokoh. Kita persilahkan Sulaiman bin Mihran memulainya. Syaqiq berkata, “Wahai Sulaiman! Bayangkan kita melarikan diri dari Khalid bin Walid, dan aku terjatuh dari hewan tungganganku yang bisa menginjak leherku. Kalau aku mati saat itu, maka nerakalah bagiku.”
Peristiwa itu terjadi pada saat kaum muslimin memerangi orang-orang murtad di masa pemerintaha Abu Bakar ash-Shiddiq.
Dialah Abu Wail Syaqiq bin Salamah al-Asadi al-Kufi, imam besar Dan syaikh kota kufah. Dia lahir dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tak sempat bertemu dengan beliau. Menurut Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, Abu Wail lahir pada tahun pertama hijriyah.
Namun demikian Abu Wail sempat meraih kemilauan para sahabat Nabi. Tercatat, ia sempat bertemu dengan Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Aisyah, Ummu Salamah, dan lainnya.
Abu wail mencapai derajat orang-orang shalih. Dialah murid Abdullah bin Mas’ud. Setiap kali melihat Abu Wail, Abdullah bin Mas’ud selalu berseru, “Wahai orang yang bertaubat!”
Beginilah murid Ibnu Mas’ud menjadi pemimpin ahli ilmu dan amal. Kenapa tidak? Dia mengambil langsung ilmu dan amal dari orang yang yang lulus dari madrasah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang selalu menyertai Ibni Mas’ud, baik di malam hari, siang hari, di rumah, dalam perjalanan, di masjid dan di mana saja.
Perhatikanlah bagaimana Ibnu Mas’ud mendidik murid-muridnya. Suatu ketika, ia berpesan dengan Abu Wail yang sedang membawa mushaf berhias emas. Ibnu Mas’ud berkata “Sungguh yang paling baik untuk menghias Al-Qur’an adalah membacanya dengan benar.”
Dalam tempaan inilah Abu Wail Tumbuh. Ibrahim An-Nakha’i pernah menasehati Al-A’masy untuk selalu menyertai orang-orang shalih. “Sertailah Syaqiq. Sungguh aku mendapat murid Ibnu Mas’ud sebagai orang yang kaya ilmu. Mereka tergolong orang-orang pilihan,” ujar Ibrahim An-Nakha’i.
Betapa indahnya mendapatkan kesaksian dari seorang ahli fiqh Kufah seperti Ibrahim an-Nakha’i. Perhatikanlah kesaksian Ibrahim an-Nakha’i pada kesempatan lain. “Tidak ada sebuah desa kecuali di dalamnya ada orang yang membela penduduknya. Aku berharap Abu Wail termasuk di antara mereka.”
Posisi ini tidak didapat kecuali dengan usaha maksimum yang panjang melawan godaan hawa nafsu dan syetan serta berusaha untuk taat. Ashim menggambarkan shalat dan keshalihan Abu Wail dalam ungkapannya, “Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga diselain shalat.”
Ashim pernah mendengar Abu Wail berdoa saat sujud. Diantara doanya adalah, “Tuhan, ampunilah aku! Tuhan maafkanlah aku! Jika engkau memaafkanku, maka panjangkanlah keutamaanmu. Jika engkau mengazabku, bukan oleh orang yang zalim padaku.”
Ashim berkata, “Kemudian ia menangis sampai kedengaran dari luar masjid.”
Abu Wail termasuk orang yang menyucikan hati dan jiwanya. Ashim ketika Berkata, “Aku tidak pernah mendengar Abu wail mencaci manusia atau binatang sama sekali.”
Az-Zabarqand menceritakan, “Suatu ketika aku bersama Abu wail. Lalu aki mencaci Al-Hajjaj dan menyebut-nyebut keburukannya. Abu Wail berkata, “Jangan mencaci, Siapa tahu dia berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku.’ Maka, Allah mengampuninya.”
Ini keutamaan yang diberikan Allah untuk menjaga lisan seseorang dari kalimat sia-sia. Barang siapa yang menjaga lisannya dari kata-kata yang sia-sia, maka ia akan bisa menjaga jiwanya.
Abu Wail juga dikenal sangat wara’ dan berhati-hati menerima pemberian. Hal ini tercermin dari ungkapannya pada seorang budaknya, “Kalau Yahya –anaknya- datang membawa sesuatu, janganlah diterima. Kalau para sahabatku datang, maka terimalah.”
Abu Wail juga sangat menjaga dirinya untuk tidak terlibat pada pekerjaan pemerintah. Ini nampak ketika seorang pria datang dan berkata, “Anakmu dipekerjakan di pasar.” Abu Wail berkata, “Demi Allah! Seandainya engkau datang membewa berita kematiannya itu lebih kusukai. Sungguh aku sangat membenci masuknya hasil pekerjaan mereka ke rumahku.”
Namun demikian, tetap saja ia mendapat ujian sebagaimana ulama dan ahli ilmu yang lainnya. Suatu ketika dia diminta datang untuk menemui al-Hajjaj bin Yusuf. Ketika bertemu, al-Hajjaj segera bertanya, “Siapa namamu?”
“Tidak mungkin seorang amir memenggilku kala dia tidak tahu namaku,” jawab Abu Wail.
“Kapan engkau tinggal di negeri ini?
“Pada malam-malam penduduknya menetap.”
“Apa yang engkau baca dari al-Qur’an?”
“Aku membaca dari al-Qur’an yang kalau kuikuti, akan mecukupiku.”
“Kami ingin menugaskanmu pada sebagian pekerjaan kami.”
“Pekerjaan apa?”
“Silsilah!”
“Silsilah tidak pantas kecuali bagi mereka yang melakukannya. Kalau engku minta bantuanku, maka engkau minta tolong pada syaikh yang lemah. Kalau amir memaafkanku, itu yang lebih aku cintai.” Abu Wail berhasil menghindar dari tawaran pemerintah.
Ia meninggal pada tahun 82 hijriyah.
Sumber:dari Buku 101 Kisah Tabi’in
http://www.fajrifm.com/qudwah/abu-wail-syaqiq-bin-salamah.html
Oleh : Abu Hanim
Muadzah binti Abdullah al-Adawiyyah al-Bashriyyah Ummu ash-Shahba’ termasuk wanita tabi’in yang tumbuh dekat dengan sumber-sumber ilmu para shahabat. Dengan mudah dia mereguk ilmu mereka yang diambil dari Rasulullah Ia belajar dari madrasah Ummul Mukminin Aisyah, Ali bin Abi Thalib dan Hisyam bin Amir. Ia sempat bertemu dan meriwayatkan hadis dari mereka.
Ia dinyatakan Tsiqah (terpercaya) oleh para ahli hadis, seperti Yahya bin Ma’in. Muadzah telah mendapatkan cakupan besar dalam upaya pembelajaran ilmu agama, spiritual, dan ibadah yang ia hasilkan dari para pembela al-Qur’an dan hadis Nabi.
Ia sangat gemar membaca Al-Qur’an di shubuh hari dengan disaksikan oleh para malaikat. Ia selalu membaca Al-Qur’an dipagi dan sore hari. Hatinya selalu mengalunkan zikir pada Allah. Tak ada sesuatu pun yang menyibukkannya dari rutinitas ini hingga hari pernikahannya.
Suami Muadzah Al-Adawiyyah adalah Shilah bin Asyyam Abu ash-Shahba al-Adawi al-Bashri yang juga merupakan salah seorang tabi’in terhormat, pemimpin teladan, pemilik kemuliaan, zuhud dan rajin beribadah. Kedua suami istri ini adalah lautan ilmu dan fiqh, sikap wara’ dan zuhud.
Pernikahannya menyisakan cerita yang menyentuh hati karena didalamnya ada kebaikan tutur kata yang terpatri dalam kenangan masyarakat saat itu. Dari situ mereka menularkannya kepada orang lain agar senantiasa abadi hingga waktu yang Allah kehendaki.
Saat hari pernikahan Muadzah al-Adawiyyah, saat ia diserahkan pada suaminya Shilah bin Asyyam, keponakan Shilah datang dan mengajaknya masuk ke kamar kemudian mendandaninya dengan pakaian terbaik lalu mengantarkannya di rumah yang penuh dengan aroma wangi, memancarkan sebaik-baik minyak wangi.
Setelah suami istri itu bersama-sama dalam satu rumah, Shilah mengucapkan salam kepada Muadzah. Kemudian berdiri untuk shalat, lalu Muadzah pun berdiri mengikutinya shalat. Keduanya larut dalam shalat. Kaeduanya masih shalat hingga tiang-tiang fajar menyongsong keduanya. Shubuh datang mengendus, keduanya lupa bahwa mereka berada dalam malam pengantin.
Keesokan harinya, ia didatangi lagi oleh keponakannya untuk memeriksa keadannya. Akhirnya ia tahu bahwa ia habiskan waktu untuk shalat sampai shubuh menampakan dirinya. Ia pun berkata pada pamannya itu, “Wahai pamanku, putri pamanmu telah diserahkan padamu tadi malam. Lalu engkau melaksanakan shalat dan membiarkannya?”
Shilah menjawab,”Wahai keponakanku! Sesungguhnya engkau telah memasukan diriku kemarin disebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada neraka. Kemudian engkau masukkan aku ke sebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada surga. Dan pikiranku itu terus menerus ada pada keduanya hingga keesokan hari.”
Dalam suasana seperti ini, Muadzah dan suaminya meneruskan kehidupannya dalam rangka mencari keridhaan Allah. Muadzah telah melukiskan gambaran hidup tentang ibadah suaminya. Ia berkata,”Abu ash-Shahba’ selalu shalat hingga tak mampu datang ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak.”
Ibnu Syaudzab menceritakan, Muadzah Al-Adawiyyah berkata, Shilah tidak pulang dari masjid rumahnya menuju ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Ia berdiri hingga tak tegak lagi dalam shalat.
Ia mengambil teladan dari suaminya dalam hal ibadah hingga ia menjadi salah satu wanita yang menjadi simbol dalam ibadah. Ia menjadi seorang mukmin yang ikhlas karena Allah. Muadzah adalah seoarng wanita yang beriman yang wara’, rajin beribadah dan bersikap zuhud. Ia menghidupkan semua malamnya untuk beribadah, sehingga sifat bijaksananya mengalir dari lisannya seperti aliran telaga yang bening.
Kata-katanya yang menunjukan kefasihannya, seni bahasa dan kemapanannya berbicara telah diabadikan. Di antara kata-katanya adalah, “Saya heran kepada mata yang tidur, padahal ia tahu betapa lamanya terpuruk dalam kegelapan kubur.”
Perkataannya tak pernah lepas dari nasihat dan peringatan tentang dunia. Ia pernah berkata kepada wanita yang disusuinya,”Wahai anakku, jadikanlah pertemuan dengan Allah dengan diiringi sikap waspada dan pengharapan. Sebab, saya melihat orang yang berharap mendapatkan hak dengan kebaikan tempat kembali di hari ia menghadapNya. Saya melihat orang yang takut mendapatkan angannya akan keselamatan di hari di mana orang-orang berdiri menghadap Tuhan semesta Alam.”
Ia pernah memperingatkan untuk tidak tertipu dan terfokus pada dunia. “Saya temani dunia selama 70 tahun. Saya tak melihat ketenangan mata sama sekali didalamnya.”
Muadzah telah menyerahkan dirinya untuk beribadah dan shalat. Hampir tak tersisa waktu kecuali ia dalam kesiagaan dengan shalatnya. Ia menghidupkan semua malamnya untuk shalat, berzikir dan bertasbih. Ia melaksanakan shalat pada setiap siang dan malam sebanyak 700 rakaat. Ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Allah menggambarkan wanita-wanita shalihah dalam firmanNya, “ Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”(QS. An-Nisa:ma) . Wanita yang memelihara diri dan harta saat suaminya tidak ada adalah nilai terbesar yang diidamkan dalam diri wanita. Muadzah al-Adawiyyah termasuk dalam golongan ini.
Ketika datang malam, ia berkata, “Ini adalah malam kematianku.” Maka ia tidak tidur hingga pagi. Lalu ketika dia tertidur, ia bangkit dan berlari dalam rumahnya dan mencela dirinya sendiri. Kemudian ia terus-menerus berkeliling hingga pagi karena takut kematian saat ia lengah dan tertidur.
Saat musim dingin datang menyerang, Muadzah sengaja mengenakan pakaian dengan bahan yang lebih tipis hingga udara dingin itu menghalanginya tertidur dan ia tidak bermalas-malasan dari beribadah dan berdoa. Dengan ditemani suaminya, ia bekerja keras untuk ibadah hingga keduanya menjadi perumpamaan. Abu As-Siwar Al-Adawi mengatakan, “Bani Adiy adalah komunitas yang paling keras berusaha. Inilah Abu ash-Shahba yang tak tidur malam hari dan tidak berbuka di siang hari. Inilah istrinya Muadzah binti Abdullah yang tak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
Di samping dikenal sebagai ahli ibadah, Muadzah juga dikenal sebagai seorang wanita ahli fiqh dan alim. Yahya bin Ma’in mengomentari tentang dirinya, “ Muadzah seorang yang tsiqah dan menjadi hujjah.” Ibnu Hibban juga memasukannya dalam jajaran perawi tsiqah juga memberikan pujian kepadanya.
Pada tahun 62 H, suami dan anaknya menemui syahid di sajistan. Saat berita sampai padanya, ia tak menampar muka atau merobek pakaian, tetapi sabar dan mengembalikannya kepada Allah. Banyak wanita berkumpul dirumahnya untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, Muadzah berkata kepada mereka,”Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah.”
Para wanita itu terkagum dengan kesabaran Muadzah. Mereka keluar dengan membicarakan kesabaran yang telah Allah berikan padanya. Peristiwa ini semakin menambah kedudukannya dan posisinya di mata mereka.
Ummu Al-Aswad binti Zaid Al-Adawiyyah yang pernah disusui olehnya berkata, “Muadzah berkata kepadaku saat Abu Ash-Shahba dan anaknya terbunuh, “Demi Allah, wahai putriku! Tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh saya tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu Ash-Shahba beserta anaknya disurga.
Muadzah mewujudkan perkataan ini dalam perbuatan. Tak ada malam yang ia lewati kecuali senantiasa berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap bertemu denganNya serta berangan-angan mendapatkan rahmat-Nya. Sejak suaminya syahid, ia tak lagi bersandar dikasur tidurnya hingga meninggal, karena khawatir merasakan kelembutan kasur hingga lupa dengan apa yang ia janjikan kepada Allah untuk senantiasa berdoa.
Dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu hajar menuturkan kehormatan tertinggi bagi Muadzah yang menunjukan kedudukannya dalam ibadah. Ada seorang warga Bashrah mengatakan,”Saya mendatangi Muadzah, lalu Muadzah berkata,’Saya mengeluhkan perutku.’ Ia telah memberikan resepnya dengan tuak guci. Maka, saya berikan kepadanya secangkir tuak itu dan saya letakkan, maka Muadzah berkata, ’Ya Allah, seandainya Engkau mengetahui bahwa Aisyah memberikan hadis padaku, sesungguhnya Nabi, melarang tuak guci maka cukupkanlah diriku dengan apa yang Engkau kehendaki.’ Ia menceritakan, “Maka cangkir itu dibalik dan menumpahkan tuak yang ada didalamnya. Lalu Allah menghilangkan rasa sakit diperutnya.”
Sepeninggal suaminya, Muadzah masih hidup lebih 20 tahun. Setiap hari yang ia lewati, senantiasa ia siapkan untuk bertemu dengan Allah SWT. Ia berharap dapat berkumpul kembali dengan suami dan anaknya dalam naungan kasih sayang-Nya.
Dikisahkan saat menjelang ajalnya, Muadzah menangis kemudian tertawa. Lalu ia ditanya, “Apa alasan untuk menangis dan apa alasan untuk tertawa?”
Ia menjawab, “Adapun tangisanku yang kalian lihat karena saya mengingat perpisahan dengan aktivitas puasa, shalat dan zikir. Itulah tangisan tadi. Adapun senyuman dan tawa, karena saya melihat Abu Ash-Shahba telah menyambutku diberanda rumah dengan dua kalung berwarna hijau. Dan ia bersama dalam rombongan. Sungguh saya tidak melihat mereka mempunyai kalung yang menyamainya. Maka saya tertawa.”
Itulah firasatnya. Ia wafat sebelum masuk waktu shalat, pada tahun 83 H.
Usai sudah lembaran hidup wanita yang shalihah dan rajin beribadah ini. Namun sejarah terus menebar keutamaannya agar menjadi teladan bagi para wanita. Semoga Allah merahmati dan melindunginya dari api neraka dan membalasnya dengan balasan terbaik dan menggabungkan dengan orang-orang yang shalih. Maha benar Allah SWT yang telah berfirman: ”Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.”(QS. Ar-Rahman:46)
Ibnu Jauzi berkata, “Mu’adzah meninggal dunia pada tahun 83 H.
Sumber:
Tahdzibu Tahdzib, Ibnu Hajar Al-Atsqalani
A’lamun Nisa, ‘Umar Ridha Kahalah
Siyar A’lam an-Nubala’:Adz-Dzahabi
Kisah 101 Tabi’in
http://canggile.blogspot.com/2010/04/kisah-al-aswad-bin-yazid-raha-tabiin.html