Perkawinan Sedarah (Incest)
Dalam Pandangan Syariat Islam
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Dalam Pandangan Syariat Islam
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Sejarah Incest Pertama di Dunia
Beberapa waktu yang lalu kita dikagetkan dengan terjadinya hubungan incest (perkawinan sedarah) antara seorang ibu dengan anak kandungnya di Jambi, yang menyebabkan si ibu hamil dari hubungan cinta terlarang tersebut. Wal’iyadzubillah.
Lantas siapakah pelaku incest pertama di dunia ini? Dan siapakah pembuat sunnah keji dan tercela ini pertama kali di alam semesta ini?
Dialah KING OF NAMRUDZ. Namrudz (2275 SM-1943 SM) sering pula disebut Nimrodz, yang memiliki gelar The Mighty Hunter karena keahliannya memburu. Selain itu, Namrudz juga digelari Dewa Bacchus dan juga Dewa Matahari. Pada zamannya, Namrudz merupakan seorang raja yang cerdas, namun kecerdasannya itu membuatnya bersikap sombong dan mengaku Tuhan. Namrudz sendiri merupakan kata jama’ yang memiliki arti “Mari Memberontak.”
Namanya tercatat dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Namrudz merupakan anak dari Kushyi (Kush), cucu Nuh Alaihissalam. Ibunya bernama Semiramis, seorang wanita cantik yang di usia remaja telah dinikahkan. Namrudz dilahirkan tanpa ayah yang meninggal dunia beberapa bulan sebelum kelahirannya. Kepada Namrudz kecil, Semiramis (ibu kandungnya) bercerita bahwa dirinya adalah perawan yang belum disentuh oleh lelaki manapun. Sebab itu, kata Semiramis, Namrudz adalah putera tuhan yang suci.
Namrudz tumbuh menjadi seorang pemuda yang cakap dan ganteng. Banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Bahkan ibunya, Semiramis, pun tertarik dan terjadilah incest pertama di alam semesta ini dan dalam sejarah manusia.
Dalam mitologi Roma Kuno, Namrudz disebut sebagai Dewa Cupid (Dewa Cinta) dan Semiramis sebagai Dewi Venus (Dewi Cinta). Wallahu A’lam. (Disari dari Majalah EraMuslim Digest [Islamic Thematik Handbook], Edisi Koleksi 6: GENESIS OF ZIONISM, hal : 46-49.).
Prilaku Incest di Dunia Barat
Sejumlah negara mengkategorikan incest sebagai suatu kejahatan pidana, dan pelakunya mendapat hukuman.
Amerika misalnya, incest dinyatakan illegal dengan hukuman bervariasi di tiap negara bagian. Massachusetts adalah negara bagian paling keras hukumannya yakni bisa mencapai 20 tahun penjara, sedang di Hawai hanya 5 tahun.
Tapi yang pasti incest adalah suatu kejahatan pidana berlaku di seluruh USA, hanya lama hukumannya saja yang berbeda. Sedang di Inggris, hukumannya adalah 12 tahun penjara.
Tapi ada juga negara yang ‘bebas’ seperti Perancis misalnya. Di sana incest bukanlah suatu kejahatan. Tak heran kalau para pelaku incest lebih suka ‘lari’ ke negara itu.
Selama berabad-abad incest menjadi masalah social dan dianggap tabu oleh masyarakat umum. Namun ini tak menghentikan terjadinya incest. Bahkan hingga kini di daerah-daerah tertentu, masih berlangsung.
Contoh paling jelas mungkin bisa dilihat pada kehidupan di pulau Tristan de Cunha, pulau terisolir yang masih masuk wilayah inggris.
Di pulau ini hubungan incest antara saudara adalah biasa karena memang, selain lokasi pulau yang sangat terisolir dan sulit diakses orang di luar, juga adanya larangan keras bagi pendatang untuk tinggal di pulau itu. Maka tidak heran kalau di pulau yang berpenduduk 270 jiwa itu, banyak dijumpai kasus kelainan genetic, juga cacat pada bayi yang lahir.
Pada abad ke-19, kasus incest banyak terjadi pada masyarakat miskin di Irlandia. Sementara dimasa lalu di kalangan bangsawan Eropa, pernikahan antara saudara sepupu dekat, dianggap legal, dan menjadi alasan memperkuat dinasti.
Pandangan Islam Terhadap Hukum Incest (Perkawinan Sedarah)
Incest dalam bahasa Arab juga disebut ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah, karena kekerabatan atau sedarah. Incest ini kadang dilakukan dengan sukarela di antara mereka dan ada pula yang dilakukan dengan paksaan (pemerkosaan).
Terlepas dari, apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak dari incest ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat keji. Incest ini bukan saja terkena keharaman zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan incest ini dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai hubungan sedarah (mahram).
Pertama: fakta incest ini adalah fakta zina, karena hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Menurut para fukaha’:
“Zina adalah istilah persenggamaan seorang pria dengan wanita pada kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun syubhat pernikahan.”
Karena itu, dalil tentang keharaman incest adalah dalil yang menyatakan tentang keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan cara (pemenuhan seksual) yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).
Larangan Allah di dalam surat Al-Isra’ ayat 32 ini disertai dengan qarînah jâzimah sehingga merupakan larangan yang tegas (nahyan jâziman), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 2).
Allah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jild) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan di-rajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).
Kedua: larangan menikahi mahram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua); anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu (Jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa`: 22-23).
Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mujadilah: 2).
Jika Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini merupakan bentuk penarikan dari dalâlah iltizâm, yaitu tanbîh al-adnâ alâ al-a’lâ.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status keharamnya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan, antara orang yang melakukan incest suka sama suka, atau dengan terpaksa. Bagi yang melakukannya suka sama suka, secara qath’I jelas haram. Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut diberlakukan kepadanya hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.” (HR. Ibn Hibban).
Dengan demikian, status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini, meski tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dipaksa.
Adapun status anak hasil incest dan perwaliannya maka statusnya sama dengan status anak zina. Nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan zinanya, karena status nasab dikembalikan pada pernikahan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Anak (statusnya) mengikuti tempat tidur (pernikahan), sementara orang yang berzina berhak mendapatkan batu (dirajam sampai mati).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, baik Imam Hanafi maupun Syafi’i, sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya. Demikian juga anak tersebut tidak mewarisi harta pasangan zina ibunya, dan garis bapak biologisnya, tetapi boleh mewarisi dan diwarisi ibunya, dan ahli waris yang segaris dengannya. Adapun hak perwaliannya, karena ibu dan garis dari ibu tidak bisa menjadi wali, maka status perwaliannya disandarkan kepada hakim (wilayat al-hakim).
Sebab-sebab Terjadinya Incest
Terjadinya hubungan incest (perkawinan sedarah) disebabkan oleh banyak faktor, berikut beberapa faktor kuat yang menyebabkan terjadinya incest:
1. Kebodohan terhadap ajaran dinul Islam. Sehingga akhirnya meremehkan aturan-aturan baik perintah maupun larangan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
2. Tidak dipisahnya antara ranjang orang tua dengan anak-anak mereka, dan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada para orang tua, apabila anak-anak mereka telah mencapai umur tujuh tahun, diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan memisahkan ranjangnya. Namun, karena kasih sayang dan kecintaan yang berlebihan kepada anak-anak, tidak sedikit orang tua yang masih tidur dengan anak-anak mereka, meskipun anak-anak mereka telah besar dan berumur baligh.
3. Meremehkan penjagaan aurat. Faktor sangat dominant sekali. Tidak sedikit kita saksikan hari ini, para orang tua yang mengumbar aurat mereka di depan anak-anaknya. Terkadang seorang ibu hanya berbalut baju tidur duduk dan bersenda gurau dengan anak-anak mereka. Dan terkadang seorang ayah hanya berbalut celana pendek ketika duduk bersama anak-anaknya. Sebaliknya juga, tidak sedikit anak-anak pada hari yang berpakaian serba minim dan seksi di hadapan kedua orang tuanya. Wal’iyadzubillah.
4. Pendidikan seks yang berlebihan. Ada sebagian orang tua yang beralasan dengan pemberian pendidikan seks kepada anak-anak mereka, kemudian mereka melakukan perbuatan keji tersebut. Na’udzubillah min Dzalika. Islam tidak melarang pengajaran pendidikan seks oleh orang tua kepada anak-anaknya, tetapi Islam punya aturan dan batasannya. Tidak sebagaimana yan mereka sangkakan.
Wallahu A’lamu bish Shawab.
0 comments