YDSUI BERBAGI

Posted by newydsui Monday, September 6, 2010 3 comments












YDSUI BERBAGI

Persiapan jasmani yang sehat dan mental yang kuat menjadi modal utama untuk melaksanakan ibadah dibulan Ramadhan. Untuk itu Yayasan Dana Sosial Umat Islam bekerjasama dengan Takmir Masjid Nurul Huda Koplak Demangan Sambi Boyolali, satu hari menjelang Ramadhan 1431 H mengadakan Pengobatan gratis dan pembagian sembako bagi dhuafa. Tepatnya hari Selasa 10 Agustus 2010 masyarakat muslim disekitar Komplek Perguruan Muhammadiyah Cab. Sambi menyambut dengan antusias. Hal ini dapat dilihat dari antrian panjang calon pasien di kursi MTS Muhammadiyah 06 Sambi sejak jam 09.30 Wib. Usia BALITA sampai MANULA rela antri menunggu giliran pengobatan dari para dokter team Hilal Ahmar. Setelah istirahat untuk melaksanakan sholat dhuhur berjama’ah, pengobatan dilanjutkan kembali sampai jam 13.00 Wib.
Disaat pengobatan berlangsung, petugas YDSUI yang didampingi Ta’mir Masjid berkeliling door to door untuk membagikan 47 paket sembako yang terdiri dari; 4 Kg Beras, 2 Kg Gula pasir, 2 Lt Minyak goreng dan 3 Bks Teh.
Subhanallah, La haula wala quwwata illa billah. Inilah gambaran potret kehidupan dipedesaan; rumah bambu reot yang sudah termakan usia, tidur beralaskan tikar pandan, dapur yang menyatu dengan kandang ternak, toilet bernama jumbleng (lobang untuk membuang kotoran) dan harus berpayah untuk mendapatkan air dimusim kemarau.
Melihat kondisi ini, serasa hati teriris dengan ketidak adilan di negeri ini, yang kaya berpesta pora sementara yang miskin hidup prihatin.
Namun demikian, ada kalimat yang mencengangkan dari seorang tua yang sudah udzur yang diuji dengan kebutaan kedua matanya “
“ Matur suwun mas, mugi Allah paring piwales kabecikan lan barakah. Nggih ngeteniki kahanan tiyang dusun, sarwo cupet. Ananging kulo taksih saget bingah, awit hanggadahi Iman” (Terimakasih Mas, semoga Allah memberikan balasan kebaikan dan barakah. Ya beginilah orang kampung, serba kekurangan, Tetapi kami masih bisa bahagia karena memiliki keimanan)

Kamis, 12 Agustus 2010 (02 Ramadhan 1431 H) petugas YDSUI dengan mengendarai mobil tua milik Ma’had Aly Annur menuju Jl. Jend. Sudirman no 242. Disinilah ibu Na’imah selaku ketua Ummahat Sukoharjo mengundang ibu-ibu disekitar Sukoharjo untuk menjalin silaturahmi pengajian dan pembagian sembako bagi dhuafa’. Setelah menyampaikan sambutan, ketua YDSUI secara simbolis meyerahkan 45 paket sembako kepada salahsatu hadirin, dengan do’a “Jazakumullahu khoiron semoga YDSUI dan donatur mandapat barakah dari Allah Ta’ala.

Sabtu, 14 Agustus 2010 (04 Ramadhan 1431 H) Pembagian sembako di Karanganyar mengalami kendala dalam transportasi. Karena mobil tua milik Ma’had Aly Annur yang biasa dipinjam YDSUI, kemungkinan besar tidak cukup kuat untuk mengantarkan 30 paket sembako di daerah pegunungan Kemuning Ngargoyoso Karanganyar. Dengan menggunakan 2 sepeda motor yang dilengkapi bronjong, petugas YDSUI membawa muatan sembako + 2 Kwintal. Innalillah ditengah perjalanan, tepatnya ditanjakan Karangpandan salahsatu motor kami mogok karena overload dan harus turun mesin, namun demikian tidak mengendurkan semangat berbagi.
Kisah pilu dari seorang ibu berjilbab yang menggunakan kruk (alat bantu berjalan) yang diuji dengan penyakit STROKE, Ia bertutur “Alhamdulillah masih diberi kekuatan oleh Allah dalam menghadapi ujian hidup. Karena anak laki-laki yang dicintainya meninggal dunia dan belum selesai upaca penguburannya, suami yang tercinta juga dipanggil menghadap Allah Ta’ala. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Fatwa-Fatwa Tentang Zakat Fitri Dengan Uang

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya : Hukum mengeluarkan zakat fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban:
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.

Konsekwensi syahadat La Ilaha Ilallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah saja, sedangkan konsekwensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari’atkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” [An-Najm : 3 -4]
Beliau bersabda.
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak termasuk agama ini maka hal itu tertolak”.
Rasulullah telah mensyari’atkan zakat fithri dengan hadits yang shahih, Satu sha’ makanan atau anggur kering atau keju. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dia berkata :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha’ kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar”
Dan Rasulullah memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri.

Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, dia berkata.
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi dengan satu sha makanan, atau satu sha’ kurma atau gandum atau anggur kering” dalam satu riwayat “satu sha’ keju”
Inilah sunnah Rasulullah dalam zakat fithri. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari’atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fithri. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fithri tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu ‘anhum.

Kami belum pernah mengetahui ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan uang dalam zakat fithri padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka orang-orang yang paling keras keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar’i juga telah dinukil periwayatannya. Allah berfirman
“Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasulullah” [Al-Ahzab : 21]

Dan firman-Nya.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]
Dari penjelasan kami ini akan menjadi jelas bagi pencari kebenaran, bahwa menyerahkan uang dalam zakat fithri tidak boleh dan tidak sah bagi si pengeluar zakat karena hal tersebut menyelisihi dalil-dalil syar’i yang telah disebutkan.
Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kami dan semua kaum muslimin untuk faham terhadap agama dan istiqamah berada di atasnya serta menjauhi semua yang menyelisihi syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Dermawan dan Mulia.

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah ditanya; Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang ..?

Jawaban:
Mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang adalah hal yang diperselisihkan. Menurut pendapat saya, zakat fitrah itu tidak sah kecuali dengan bahan makanan, karena Ibnu Umar Raddhiallahu ‘anhu pernah berkata :
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha gandum”
Abu Said Al-Khudri juga berkata :
“Kami dahulu mengeluarkan zakat fitrah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sha’ makanan dan makanan kami ketika itu adalah kurma. gandum. kismis (anggur kering) dan keju”.

Dari dua hadits ini maka jelaslah bahwa zakat fitrah itu tidak sah kecuali dari makanan. Mengeluarkannya dalam bentuk makanan telah dijelaskan, diterangkan dan dikenal oleh ahlul bait dan di sini terdapat pengangkatan kedudukan gandum. Sedangkan mengeluarkannya dalam bentuk uang akan membuatnya menjadi samar dan terkadang manusia condong kepada hawa nafsunya jika ia mengeluarkannya dalam bentuk uang sehingga nilainya berkurang. Mengikuti syari’ah adalah kebaikan dan keberkahan. Kadang ada orang yang mengatakan memberikan makanan tidak bermanfaat bagi orang fakir. padahal kalau orang fakir itu fakir yang sebenarnya maka makanan itu akan bermanfaat baginya.

Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah

Pertanyaan:
Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman bin Jibrin Hafizhahullah ditanya, “Bolehkah menyerahkan uang dalam zakat fithri, karena terkadang uang tersebut lebih bermanfaat bagi orang-orang yang miskin?”

Jawaban:
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya boleh mengeluarkan uang. Dan yang benar adalah tidak boleh, yang dikeluarkan harus makanan. Uang pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada, namun belum ada yang meriwayatkan bahwa beliau menyuruh para sahabat untuk mengerluarkan uang

[Demikian beberapa nukilan fatwa Ulama yang kami ketengahkan dengan terjemahan bebas. fatwa-fatwa ini kami nukilkan dari Fatawa Ramadhan halaman 918 - 927]

ADAB-ADAB MASUK KE RUMAH ORANG LAIN

Posted by newydsui Sunday, September 5, 2010 1 comments

ADAB-ADAB MASUK KE RUMAH ORANG LAIN
Tafsir QS. An-Nuur: 27-29
Oleh: Tengku Azhar

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ . فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ . لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembali (saja)lah’, maka hendaklah kamu kembali, itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (QS. An-Nuur: 27-29)

Tafsir Ayat dan Asbabunnuzul
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat ini berkata,
“Ini merupakan tuntunan adab-adab syar’i yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing dan mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman. Yaitu janganlah mereka memasuki rumah-rumah yang bukan milik mereka hingga mereka meminta izin dan mengucapkan salam kepada pemilik rumah tersebut. Dan hendaknya seseorang meminta izi sebanyak tiga kali. Kalau diizinkan hendaklah ia masuk, dan jika tidak hendaknya ia pulang dan meninggalkan rumah tersebut. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih:
“Bahwasanya shahabat Abu Musa Al-Asy’ary –radhiyallahu ‘anhu- meminta izin untuk masuk ke rumah Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah, maka Abu Musa Al-Asy’ary pulang meninggalkan rumah tersebut.”
Adapun imam Ath-Thabari –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat di atas berkat, “Para mufassirin berbeda pendapat tentang ayat di atas dalam kalimat, ‘tasta`nisuu’, bahwa yang benar adalah ‘hatta tasta`dzinuu’ dan bukan ‘hatta tasta`nisuu’.
Beliau –rahimahullah- juga menyebutkan satu riwayat tentang asbabunnuzul ayat di atas, “Bahwa seorang wanita pernah mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah aku berada dalam rumahku dengan memakai pakaian (keadaan) yang aku tidak suka seorangpun dari kalangan keluargaku melihatnya, baik itu bapakku maupun anakku. Dan ada seorang dari anggota keluargaku yang suka nyelonong masuk ke rumahku sedangkan aku dalam keadaan berpakaian seadanya (tidak menutup aurat)’. Kemudian turunlah ayat di atas sebagai jawaban dari permasalahan wanita tersebut.”

Adab-adab Meminta Izin

1. Disunnahkan untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.
Dari Rib’i, dia berkata: “Telah bercerita kepada kami seorang dari bani ‘Amir, sesungguhnya dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau berada di rumahnya, maka dia berkata, “Apakah saya boleh masuk?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya, “Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah Assalaamu ’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR.Ahmad dan Abu Daud)

2. Hendaklah orang yang meminta izin untuk berdiri di sebelah kanan atau sebelah kiri pintu.
Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mengarahkan pandangannya kepada tempat-tempat yang tidak halal baginya untuk dilihat pada rumah orang tersebut, atau sesutau yang dibenci oleh si pemilik rumah kalau dia mengarahkan penglihatannya kepada sesuatu itu. Karena sesungguhnya meminta izin itu disyariatkan untuk menjaga pandangan.
Dari Abdullah bin Busr, beliau berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kediaman suatu kaum, beliau tidak menghadap ke arah pintu rumah dengan wajahnya, akan tetapi beliau memalingkan wajahnya ke arah kanan atau kiri, dan berkata: “Assalamu ’alaikum, assalaamu ’alaikum”. Hal itu dikarenakan rumah kediaman di saat itu belum memiliki penghalang seperti daun pintu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

3. Haram hukumnya bagi seseorang memandang ke dalam rumah yang bukan rumahnya tanpa izin.
Meminta izin tidak disyariatkan kalau bukan karena pandangan, barangsiapa yang telah berlebihan untuk memandang kepada apa-apa yang tidak dihalalkan baginya dengan tanpa izin, lalu kedua matanya dicungkil maka tidak ada qishash dan denda padanya. Sandaran hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang dengan sengaja menengok atau memandang ke dalam rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka halal bagi mereka untuk mencukil matanya”. (HR. Muslim)
Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang menengok atau melihat ke dalam rumahmu tanpa izin darimu, lalu anda melemparnya dengan batu kerikil hingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa bagi kamu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Meminta izin itu hanya tiga kali
Apabila seseorang meminta izin lalu diizinkan -maka dia boleh masuk-, akan tetapi jika tidak hendaknya dia kembali. Dari Abu Musa Al-Asy’ary secara marfu’, “Jika salah seorang dari kalian minta izin sampai tiga kali dan tidak dijawab baginya, maka hendaklah ia pulang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim )

5. Jangan hanya mengatakan “ saya “, ketika ditanya oleh pemilik rumah, “Siapa ini?”
Hukum makruh ini dapat diperoleh dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya mendatangi Rasulullah untuk membayar hutang ayahku, kemudian aku mengetuk pintu rumah beliau. Beliau bertanya, “Siapa itu?” Aku menjawab, “Saya,” maka beliau bersabda: “Saya, saya” sepertinya beliau tidak menyukai jawaban tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka sepantasnya seseorang yang bertamu lalu ditanya oleh pemilik rumah, untuk menyebutkan namanya dengan jelas agar diketahui oleh pemilik rumah.

6. Sepantasnya bagi orang yang meminta izin untuk tidak mengetuk pintu terlalu keras.
Karena hal ini termasuk adab yang buruk. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR. Bukhari Al-Adab Al-Mufrad)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ”Adab ini dilakukan oleh para sahabat sebagai gambaran adab yang tinggi. Ini adalah adab terpuji bagi seseorang yang berada di dekat pintu. Adapun yang jauh dari pintu, sehingga suara ketukan pintu dengan kuku tidak terdengar, maka sebaiknya mengetuk pintu lebih keras lagi sesuai yang dibutuhkan.” (Fathul Bari: 11/38)

7. Jika pemilik rumah menyuruh untuk kembali, maka orang yang meminta izin harus kembali.
Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan apabila dikatakan kepada kalian, kembalilah. Maka kalian kembalilah. Yang demikian itu lebih menyucikan bagi kalian.“ (QS. An-Nur: 28).

8. Tidak diperbolehkan untuk memasuki rumah yang di dalamnya tidak ada seorangpun.
Dikarenakan hal itu merupakan sikap sewenang-wenang terhadap hak orang lain. Ibnu Katsir mengatakan, “Hal itu dikarenakan perbuatan tersebut adalah perbuatan mengganggu milik orang lain tanpa izinnya. Apabila dia menghendaki niscaya dia mengizinkanya dan jika tidak maka dia tidak akan mengizinkannya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3 / 281)

9. Apabila seseorang diundang atau diutus kepada seseorang, maka dia tidak perlu minta izin untuk masuk.
Hal itu dikarenakan bahwa undangan dan diutusnya seseorang untuk menjemputnya sudah terkandung padanya permintaan izin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengundang kalian untuk makan, kemudian dia mengutus seseorang sebagai utusannya, maka itu merupakan izin baginya”. (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan pada masalah ini, jika seseorang terlambat menghadiri undangan pada waktunya, atau pada waktu itu ia berada pada tempat yang terkondisikan baginya untuk meminta izin, maka dia mesti meminta izin.

10. Meminta izin ketika ingin berdiri dan meninggalkan dari majlis.
Yang demikian itu merupakan adab nabawiyah yang mulia. Pengunjung diarahkan untuk memiliki adab ketika hendak meninggalkan majlis. Maka, sebagaimana anda meminta izin ketika hendak masuk, begitu pula hendaknya engkau meminta izin ketika hendak meninggalkan majlis.
Kemungkinan alasan diharuskannya hal itu, karena ditakutkannya mata akan melihat hal-hal yang tidak halal untuk dilihat, atau minimal hal-hal yang tidak disukai. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang di antara kalian mengunjungi saudaranya kemudian duduk di dekatnya, maka janganlah dia berdiri sampai dia memberikan izin kepadanya.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.182)

11. Meminta izin kepada ibu atau saudara perempuan.
Yaitu agar penglihatan tidak melihat hal-hal yang dilarang, misalnya aurat, atau hal-hal lainnya yang tidak disenangi kaum wanita jika diketahui oleh selain mereka.
Diriwayatkan dari Muslim bin Nadzir mengatakan: Seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Hudzaifah menjawab, ”Jika engkau tidak meminta izin kepada ibumu, engkau akan melihat hal-hal yang engkau benci.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)

12.Disunnahkan memberikan kabar kepada istri ketika akan masuk rumah.
Yaitu agar suami tidak melihat istrinya dalam keadaan yang dapat membuatnya marah, atau istri sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh suaminya, sementara dia dalam keadaan tersebut.
Dari Zainab istri Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Abdullah datang dari menyelesaikan suatu keperluan, maka dia berdehem karena khawatir kami dalam keadaan yang ia tidak sukai”. (Sanadnya dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: 3/280)

13. Para pembantu dari kalangan budak dan anak-anak yang belum baligh, diharuskan bagi mereka untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga keadaan:
Pertama : Sebelum shalat fajar
Kedua : Waktu tidur siang sebelum dzuhur
Ketiga : Setelah shalat isya
Dan selain dari ketiga waktu tersebut maka tidak ada dosa bagi mereka. Ibnu Katsir berkata pada tafsirsurah An-Nur ayat 58 di atas, “Maksudnya apabila mereka masuk pada selain dari tiga waktu di atas, maka tidak ada dosa bagi kalian jikalau kalian membolehkan mereka, dan juga mereka tidak berdosa apabila melihat sesuatu di selain dari tiga waktu tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/303)
Wallahu A’lamu bish Shawab

Reference:
1. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ath-Thabari.
2. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir.
3. Adab-adab Meminta Izin, disari dari kitab Al-Adab karya Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub, pada pembahasan Adab-Adab Meminta izin. (www.muslim.or.id)

Makna Panjang Umur

Posted by newydsui 0 comments

Makna Panjang Umur
By: Ryan Arief Rahman
Prolog
Allah swt memuliakan ummat terdahulu sebelum ummat ini dengan memberikan umur yang panjang dan kekuatan untuk beribadah, ada di antara mereka yang mencapai usia 1000 tahun bahkan ada yang lebih, ada yang belum mencapai usia baligh (cukup umur) hingga usia 80 tahun, ada seorang yang meninggal di usia sekitar 200-an tahun, maka serentak banyak makhluk yang merasa simpati terhadapnya, karena ia telah meninggal dalam usia yang muda. Juga diriwayatkan bahwa nabi Ibrahim berkhitan ketika usia beliau mencapai 80 tahun, nabi Nuh ‘alaihissalam yang berusia lebih dari 1000 tahun, Luqman bin Ka’ab 400 tahun, ‘Abdul masih bin Baqlah Al-Ghasani lebih dari 350 tahun, dan Ash-habul Kahfi yang hidup di dalam gua selama 309 tahun.
Sedangkan usia ummat ini relative singkat jika dibandingkan dengan usia ummat terdahulu di atas, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “umur ummatku berkisar antara 60 hingga 70 tahun, dan sangat sedikit di antara mereka yang mencapai usia itu.” ( H.R. Turmudzi, Al Bani menshahihkannya dalam shahih al jami’ no: 1073)

Namun demikian, sebagai ganti dari karunia yang luput dari ummat ini -yaitu umur yang panjang- Allah memberikan karunia lain yaitu berupa pahala yang berlipat ganda dan amalan yang dapat memperpanjang umur, sehingga dengan karunia ini Allah menjadikan ummat Muhammad saw sebagai penghuni jannah. Di antara amalan yang dapat memperpanjang umur dan mengandung pahala yang berlipat adalah silaturrahim, akhlak yang terpuji, berbuat baik kepada tetangga, sholat di masjid al haram dan masjid nabawi, sholat berjama’ah di masjid, sholat sunnah di rumah, sholat dhuhā, jihād fī sabīlillah dan yang lainnya.
Setelah kita merasa lega dengan karunia yang Allah limpahkan untuk ummat ini sebagaimana dijelaskan diatas, namun hati kita sepontan tersentak ketika kita memikirkan firman Allah “dan sekali kali tidak dipanjangkan umur seseorang..” (Q.S. Fathir:11) Lantas, akhirnya kita bertanya tanya dalam benak kita; bagaimana memadukan antara dua hal yang kontradiktif di atas? Dan Bagaimanakah makna panjang umur menurut para ulama? Insya Allah makalah ini akan menjelaskan dan menguraikannya…

Makna Panjang Umur Menurut Ulama

Disebutkan dalam hadits riwayat Anas Bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda, “barang siapa yang menyukai dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna potongan kalimat ‘dipanjangkan umurnya’ yang disebutkan dalam hadits di atas. Dalam hal ini akan penulis ketengahkan pendapat Imam An Nawawī, Syaikhul Islām Ibn Taimiyah, dan Al Hāfidz Ibn Hajar.

Menurut Imam An Nawawī
Dalam buku shahīh muslim bi syarh an nawawī beliau berkata, “maksud umur adalah ajal, karena ajal ialah suatu yang mengiringi kehidupan. Sedangkan maksud dilapangkan rezekinya bermakna dilapangkan dan diperbanyak rezekinya.” Lebih lanjut beliau menjelaskan pendapat ulama tentang maksud dipanjangkan umurnya, bahwa yang dimaksud adalah pertama; bertambahnya keberkahan umur yakni dengan dimudahkan dalam mengerjakan ketaatan, menjadikan waktunya termanfaatkan dengan baik dan tidak terbuang sia sia. Kedua; penundaan ajal yang dimaksud adalah penundaan yang dinisbatkan kepada pengetahun malaikat dan apa yang tercatat dalam lauh al mahfūdz. Ketiga; maksud ditunda ajalnya dalam hadits di atas adalah seseorang akan selalu dikenang oleh orang-orang seolah-olah dia tidak mengalami kematian. Ini adalah pendapat yang lemah.

Menurut Ibn Taimiyah
Dalam majmù fatāwā beliau berkata, maksud pemanjangan dan pengurangan umur mengandung dua makna, pertama; bahwa seorang akan berumur panjang, sedangkan seorang yang lain akan berumur pendek. Sehingga pengurangan umur itu bermakna umurnya pendek jika dibandingkan dengan umur orang yang lebih panjang. Kedua; berkurangnya umur juga bermakna berkurangnya umur dari yang telah ditentukan Allah, sebagaimana umur juga bisa bertambah dari umur yang telah ditentukan, pendapati ini berdasarkan tekstual hadits di atas. Ada juga pendapat lain, bahwa maksud dipanjangkan umur dalam hadist tersebut adalah bertambah dalam arti keberkahan, yaitu bertambahnya amal serta manfaat. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menentukan ajal setiap manusia dalam lembaran catatan malaikat, jika seseorang menyambung silaturrahim maka umur yang telah tercatat itu akan bertambah. Sebaliknya, jika ia beramal amalan yang dapat mengurangi umurnya, maka berkurang pula umur yang telah ditentukan.
Ibn Taimiyah mengukuhkan pendapatnya dengan hadits riwayat turmudzi bahwa Nabi saw bersabda, “ ketika adam meminta kepada Allah untuk menampakkan seorang nabi dari keturunannya, kemudian Allah tampakkan untuknya sosok laki-laki yang bercahaya, Adam berkata, “ya Rabb, siapa ini?” Allah menjawab, “dia anakmu, Dawud.” Adam bertanya,” berapa umurnya?” Allah menjawab,”40 tahun.” Adam bertanya lagi, “berapa umurku?” Allah menjawab,”1.000 tahun.” selanjutnya adampun berkata, “aku berikan 60 tahun dari jatah umurku padanya.” Kemudian dicatatlah ketentuan tersebut dan disaksikan oleh para malaikat. Ketika kematian akan menjemput adam, ia pun berkata,”aku masih punya jatah umur 60 tahun.” Para malaikat berkata,”sisa umur itu telah engkau berikan kepada anakmu, dawud.” Kemudian adam mengingkarinya sehingga malaikat mengeluarkan catatan tersebut. Nabi saw bersabda, “adam lupa, maka lupa pula anak keturunannya, dan adam membangkang, maka membangkang pula anak keturunannya.” (H.R. Turmudzi dan Al Bani menshahihkannya dalam shahīh al jāmì, no: 5209)

Menurut Ibn Hajar
Beliau berkata, “Ibn At Tīn mengutarakan bahwa secara tekstual, hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.)” (al a’raf: 34) adapun jawaban untuk menggabungkan antara hadits dan ayat tersebut ditinjau dari dua segi berikut ini: pertama; penambahan umur ini sebagai arti kiasan dari keberkahan umur. Sebagai contoh, umur umat Muhammad saw jika dibandingkan dengan umur ummat ummat sebelumnya sangat pendek, sehingga Allah memberikan keutamaan malam lailatul qadar yang setara dengan 83 tahun 4bulan melakukan ibadah dan ketaatan. Kedua; penambahan umur secara hakiki (bertambahnya bilangan umur). Bertambahnya umur yang dimaksud adalah dinisbatkan kepada pengetahuan dan catatan malaikat. Adapun maksud surat al áraf: 34 adalah bahwa ajal tidak dapat diundur dan dimajukan itu dinisbatkan pada pengetahuan Allah swt. Misalnya, Allah menetapkan umur arief adalah 100 tahun jika menjalin silaturrahim, dan 70 tahun jika tidak menjalin silaturrahim. Ketetapan umur arief yang telah Allah tentukan ini tidak akan bisa dimajukan atau dimundurkan. Sedangkan pengetahuan umur yang diketahui malaikat itulah yang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah swt, ” Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfūzh).” (QS. Ar Rád:39)
Jadi menurut Ibn Hajar, penghapusan dan penetapan hanya terjadi pada pengetahuan malaikat. Sedangkan umur yang dalam pengetahuan Allah swt tidak ada perubahan sedikitpun. Hal ini dalam terminologi aqīdah disebut Al Qadhā Al Mubrām ( ketentuan Allah yang diputuskan), sedangkan pengetahuan malaikat disebut dengan Al Qadhā Al Muállaq ( ketentuan yang bersifat sementara).

Di antara ulama kontemporer yang pernah menulis pembahasan ini adalah Syaikh Nashīruddin Al Bāni dan Syaikh Muhammad Al Utsaimin. Berikut ini akan penulis paparkan pandangan dan argumentasi mereka secara ringkas guna melengkapi kajian syarĭ dalam pembahasan ini.

Menurut Syaikh Nashiruddin Al Bānī
Dalam menjelaskan hadist tentang perpanjangan umur, beliau berkata,” maksud hadits tersebut berdasarkan dzahirnya, Allah menentukan dalam kebijaksanaanNya bahwa menjalin silaturrahim menjadi sebab syarì untuk dapat memperpanjang umur. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan ajal yang telah ditentukan Allah. Karena silaturrahim yang menjadi sebab bertambahnya umur itu serupa dengan ketaatan yang dapat menambah kualitas iman. Perubahan tersebut tidak menyelesihi apa yang telah tercatat dalam lauh al mahfūzh, umur bisa bertambah dan berkurang sebagaimana iman tergantung pada sebab yang melatarbelakanginya.

Menurut Syaikh Muhammad Al Utsaimin
Dalam menjelaskan hadist tersebut, beliau berkata, hadits itu tidak menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua umur; umur jika menyambung silaturrahim dan umur jika memutus silaturahim. Tetapi umur manusia hanya satu, yaitu umur yang telah Allah tentukan. Manusia yang telah Allah tentukan dapat menjalin silaturrahim niscaya manusia itu mampu melakukannya, sedangkan orang yang telah Allah tentukan memutus silaturrahim niscaya ia akan memutuskannya. Rasulullah ingin menganjurkan ummatnya mengerjakan amal baik, sebagaimana kita mengatakan kepada seseorang ‘siapa yang ingin mempunyai anak hendaklah ia menikah.’ Pernikahan itu sendiri telah ditentukan Allah, begitu pula anak. Jika Allah menghendaki kita mempunyai anak, maka Allah menghendaki agar kita menikah, meskipun sebenarnya pernikahan dan mempunyai anak adalah dua hal yang telah ditentukan Allah. Hanya Allah sajalah yang telah menentukan kita mampu menjalin silaturrahim dan hanya Dia-lah yang mengetahui batas usia kita.

Closing Speech
Dari pendapat dan argumentasi para ulama di atas, maka kita bisa memahami bahwa makna perpanjangan umur dalam hadist tersebut berkisar antara tiga makna yaitu: Pertama; keberkahan umur, Kedua; perpanjangan umur secara hakiki, Ketiga; kepemilikan reputasi baik yang dikenang oleh manusia setelah kematiannya.
Penulis tidak menemukan seorang ulama pun yang menerangkan makna ketiga, atau membahasnya dalam pembahasan yang spesifik, kecuali Imam An Nawawi yang menukil makna tersebut dari Al Qadhī Iyādh, namun beliau sendiri melemahkannya, dan Imam Ibn Hajar menukilnya dari Ibn At Tīn, kemudian At Tibi membenarkannya.
Sedangkan makna pertama dan kedua adalah benar sesuai dengan maksud hadits. Karena banyak hadits yang menerangkan perihal berlipatnya pahala amal dan amalan yang dapat memperpanjang usia.

Kesimpulan yang harus kita ambil dari makna pertama yang bersifat kiasan dan makna kedua bersifat hakiki itu adalah hendaklah tujuan memperpanjang umur untuk menginvestasikan setiap waktu dalam rangka ketaatan dan ketaqwaan. Karena Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya pada hakekatnya adalah sejelek jelek manusia, sebagaimana sabda nabi saw yang diriwayatkan Abu Bakrah bahwa seorang laki laki bertanya kepada nabi saw, “wahai Rasul, manusia yang bagaimanakah yang paling baik? Rasulullah saw bersabda, “orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Kemudian orang itu bertanya lagi,’ wahai Rasul, manusia yang bagaimanakah yang paling jelek? Rasulullah saw bersabda,” orang yang panjang umurnya namun buruk amalnya.” (H.R. Ahmad dan Al Bānī menshahihkannya dalam shahīh al jāmì, no: 3297)
Sebagai penutup, Dr. Yusuf Al Qardhawī mengatakan, “sebenarnya umur manusia yang hakiki bukanlah jumlah tahun yang dilalui dari kelahiran hingga wafat, akan tetapi umur yang sebenarnya ialah apa yang tercatat dalam timbangan amal di sisi Allah berupa amal shalih dan kebajikan. Seorang ahli hikmah berkata, ‘berapa banyak umur yang panjang masanya namun sedikit muatan amalnya, dan berapa banyak umur yang pendek masanya namun banyak muatan amalnya. Orang yang diberikan keberkahan umur, ia akan mendapatkan karunia Allah dalam waktu yang relative singkat, yaitu suatu karunia yang tidak bisa diungkapkan dengan untaian kata dan sya’ir.’ Semoga kita diberikan limpahan karunia itu. Amin..

Reference:

1. Dr. Muhamad Bin Ibrahim An Nu’aim, Kaifa Tuthil Umraka Al Intaji (Diman: Maktabah Al Malik Fahad Al Wathaniyah, 1422) Cet 3.
2. Imam An Nawawi, Shohih Muslim Bi Syarh An Nawawi (Bairut: Dar Al Qalam, 1407) Cet 1
3. Muhammad Nashirudin Al Bani, Shohih Al Jami’ As Shogir (T.Tp: Al Maktab Al Islami,1406) Cet 2
4. Fahad As Sulaiman, Al Majmu Ats Tsamin Min Fatawa Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin ( Riyadh: Dar Al Wathan, 1411) Cet 1
5. Jalaludin Al Syuyuthi, Ifadah Al Khobar Bi Nashihi Fi Ziyadah Al Umr Wa Naqsihi (Jeddah: Maktabah Dar Al Wafa,1407) Cet 1
6. Muhammad Nashiruddin Al Bani, Shohih Al Adabal Mufrad Li Al Imam Al Bukhori (Urdun: Dar Ashshidiq,1414)
7. Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al Asqalani, Shahih Al Bukhari Bi Syarhi Fathu Al Bary (Qahirah: Dar Ar Rayyan Li At Turats, 1407) Cet 1
8. Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Al Waqtu Fi Hayah Al Muslim (Bairut: Mu’assasah Ar Risalah, 1405) Cet3

BUKAN SEBARANG SILATURAHIM
Oleh: Imtihan asy Syafi'i, M.IF

Banyak hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw terkait dengan keutamaan silaturrahim. Panjang umur dan rezki yang lapang adalah dua di antara sekian keutamaan silaturrahim yang diterangkan dalam hadits shahih. Seorang mukmin yang percaya dan mengharapkan banyak kebaikan, pastilah ingin beroleh keutamaan itu. Dengan umur yang panjang dan rezki yang lapang, ada banyak amal shalih yang dapat dikerjakan. Jalan ke surga pun semakin lempang.
Selepas Ramadhan, pada hari raya Idul Fithri, umumnya kaum muslimin Indonesia mengisi hari itu dan beberapa hari sesudahnya dengan salling bertamu, bermaafan, bertukar hadiah/parcel, dan sebagainya dengan sanak-saudara, kerabat, dan tetangga. Jika salah seorang dari mereka ditanya mengenai apa yang mereka lakukan itu; “Silaturrahim,” jawabnya. Benarkah jawaban ini? Tentunya yang paling berhak untuk menjawab adalah para pewaris Nabi saw.

Definisi Silaturrahim
Frase silaturrahim tersusun dari dua kata: shilah yang berarti menyambung, dan rahim yang dalam bahasa Indonesia juga berarti rahim.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan, “Secara umum kata ‘ar-rahim’ (dalam frase silaturrahim) dimaksudkan untuk para kerabat dekat, mereka yang terhubung oleh garis nasab, baik mereka saling mewarisi maupun tidak, baik mereka saling bermahram maupun tidak.” Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar ini, anak-anak paman, anak-anak bibi, saudara-saudara kakek, dan saudara-saudara nenek dan keluarga besar mereka termasuk mereka yang bersilaturrahim dengan mereka adalah disyariatkan.
Sedangkan Syaikh Mulla Ali al-Qari memperluas silaturrahim untuk mereka yang terhubung oleh garis pernikahan, selain yang terhubung oleh garis nasab. Dengan demikian, mertua, ipar, besan (mertua anak) juga termasuk yang bersilaturrahim dengan mereka juga disyariatkan.
Dari kedua definisi di atas jelaslah bahwa ungkapan yang mungkin sering kita sampaikan kepada kawan atau tetangga yang tidak ada kait-hubungnya dengan kita oleh nasab atau pernikahan, bersilaturrahim dengan mereka bukanlah silaturrahim. Meskipun demikian, berbuat baik kepada tetangga dan saudara seislam, juga merupakan salah satu kewajiban kita sebagai seorang muslim. Tentu saja keutamaannya berbeda dengan keutamaan silaturrahim.

Sarana Silaturrahim
Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.
Ibnu Abi Jamrah berkata, “Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do’a.”
Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaikan, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya .

Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat
Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu majlis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta sikap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.

Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bahkan hingga kepada orang-orang kafir.
Asma’ binti Abi Bakar ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai silaturrahim terhadap ibunya yang musyrik. Dalam hadits itu disebutkan,
“Aku bertanya, ‘Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap, apakah aku boleh berhubungan dengan ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya, berhubunganlah dengan ibumu.’.” (HR. Al-Bukhari)
Berhubungan dengan orang tua yang masih kafir/musyrik bukan berarti harus saling mencintai dan menyayangi, duduk-duduk satu majlis dengan mereka, bersama-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut dengan mereka. Allah berfirman,
“Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun rang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.” (Al-Mujadalah: 22)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Mereka tidak saling mencintai dengan orang yang suka menentang , bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat.”
Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada neraka dan menjauh dari surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut -dalam kondisi demikian- dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.

Dalam hal ini, Ibnu Abi Jamrah berkata, “Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih membandel. Kemudian, hal itu dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih tetap berkewajiban mendo’akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.”

Fatwa Lajnah Ad-Da’imah tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Idul Fithri

Berikut ini kami tampilkan fatwa-fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Riset ‘Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi ‘Arabia, terkait masalah ru’yah dan hisab untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fithri.


Soal: Bolehkah seorang muslim memulai waktu berpuasa (Ramadhan) dan mengakhirinya (’Idul Fithri) berdasarkan hisab falaki, atau haruskah dengan cara ru`yatul hilal?

Jawab :
Syari’at Islam adalah syari’at yang mudah, hukum-hukumnya bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia dan jin dengan berbagai status sosial mereka, baik dari kalangan orang-orang yang berilmu maupun dari kalangan yang tidak bisa baca tulis, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok desa. Dengan keragaman itulah Allah telah memberi kemudahan bagi mereka dalam cara mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allah telah menjadikan berbagai tanda yang bisa dikenali oleh siapapun terkait dengan masuk dan keluarnya waktu-waktu ibadah mereka. Misalnya, Allah menjadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib dan juga sebagai tanda telah keluarnya waktu ashar. Allah menjadikan hilangnya mega (cahaya merah setelah matahari tenggelam) sebagai tanda masuknya waktu isya. Allah juga telah menjadikan ru`yatul hilal -setelah hilangnya bulan pada akhir bulan (yakni bulan mati)- sebagai tanda awal bulan (qomariyah) dan berakhirnya bulan sebelumnya. Allah tidak membebani kita untuk mengetahui awal masuknya bulan qomariyah itu dengan suatu cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir manusia, yakni dengan ilmu astronomi atau ilmu hisab falaki.

Karena itulah telah ada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mensyari’atkan ru`yatul hilal dan menyaksikannya sebagai tanda dimulainya waktu bershaum Ramadhan bagi kaum muslimin dan untuk mengakhiri shaumnya (’Idul Fithri) juga dengan cara melihat hilal (ru`yatul hilal) Syawwal. Demikian pula cara yang sama dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan hari ‘Arafah. Allah Ta’ala berfirman, “Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilal Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakanlah bahwa hilal-hilal itu untuk menentukan waktu-waktu bagi manusia dan juga menentukan waktu haji.” (Al-Baqarah : 189)
Nabi Muhammad bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه‎ ‎فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة‎ ‎ثلاثين

“Jika kalian telah berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka laksanakanlah shaum Ramadhan, dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari.”

Maka beliau mensyariatkan dalam memulai waktu puasa berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Ramadhan, dan ber’Idul Fithri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan hisab astronomi dan peredaran bintang-bintang.
Di atas cara inilah penerapan yang berlangsung pada masa Nabi dan masa para Khulafa`ur Rasyidin, demikian pula pada masa para imam yang empat, dan pada tiga generasi pertama dari kalangan umat ini yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikannya oleh Rasulullah.

Maka menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan merujuk kepada ilmu astronomi dalam memulai ibadah dan juga ketika mengakhirinya, meninggalkan cara ru`yatul hilal, merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya, dan tidak ada landasannya dari syari’at. Kerajaan Arab Saudi berpegang dengan tuntunan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan generasi salafus shalih berada di atasnya, baik dalam penentuan waktu bershaum dan ‘Idul Fithri, dalam berhari raya, dalam penentuan waktu haji, dan dalam menentukan waktu untuk ibadah-ibadah lainnya, yaitu dengan cara ru`yatul hilal.
Hakikat kebaikan puncak segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti jejak para salaf dalam urusan agama, dan hakikat kejelekan puncak segala bentuk kejelekan terdapat dalam bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Semoga Allah menjaga kami dan anda serta kaum muslimin semuanya dari berbagai fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Hanya kepada Allah-lah kita memohon petunjuk. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.
Fatwa no. 386 (Juz XII/Hal. 133-134)

Soal : Bahwa terjadi perbedaan pendapat yang menyolok di antara sesama ulama kaum muslimin dalam penetapan awal masuknya puasa Ramadhan dan Iedul Fitri yang penuh barakah. Di antara mereka ada yang mengamalkan hadits:
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber ’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal.“
Dan di antara mereka ada yang bersandar dengan pendapat para pakar ilmu falak (ahli hisab), dengan dalih bahwa sesungguhnya ahli ilmu falak telah mencapai puncak dalam ilmu falak sehingga sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui awal masuknya bulan-bulan qomariyah, sehingga atas dasar itulah mereka bisa mengikuti kalender (yang telah disusun oleh ahli falak/hisab).

Jawab :

Pertama: Pendapat yang shahih (benar) yang wajib diamalkan adalah perintah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi :
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal, jika terhalangi atas kalian melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulannya.”
Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilal. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -selaku utusan Allah- bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.

Kedua : Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya. Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilal bulan (Ramadhan) maka berpuasalah.”

Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal.“ (Al-Hadits)
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilal, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan hisab astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran
bintang-bintang.

Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilal, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran hisab astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.
Hanya kepada Allahlah kita memohon taufiq, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya.
Fatwa no. 2036 (Juz XII/Hal. 136)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Kepribadian yang sempurna
Oleh : Abu Hanim Az-Zahra

Dia adalah Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah al-Quraisy, seorang tabi’in besar dan salah seorang dari Khalifah yang Rasyidin, satu-satunya orang yang paling mulia di masyarakatnya. Ia dilahirkan di Mesir di negeri Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu pada tahun 61 H.

Semasa kecil ia telah hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia belajar al-Qur’an dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud. Setelah ayahnya meninggal, paman Abdul Malik bin Marwan memintanya datang ke Damaskus, lalu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Fatimah. Kemudian beliau diangkat menjadi gubernur di Madinah dimasa pemerintahan Khalifah al-Walid. Pada tahun 93 H lalu beliau kembali ke Syam dan kemudian pada tahun 99 H beliau diangkat menjadi Khalifah.
Pergaulannya yang adil sungguh mengagumkan. Dalam dirinya terkumpul sifat zuhud, iffah (menjaga kesucian diri), wara’ (menjaga diri dari hal yang haram), kaffaf (mengambli rezeki sekedarnya). Kehidupan akherat telah menyibukannya dari kehidupan dunia. Dia adalah orang yang sangat amanah dalam menjaga rakyatnya. Orang yang alim, ahli ibadah dan bijaksana.

Suatu hari dia berkata, “Sesungguhnya jiwa ini selalu memiliki keinginan. Tidaklah dia diberi dunia, pasti dia akan berhasrat untuk memiliki yang lebih utama lagi. Maka ketika aku diberi kekhilafahan, kenikmatan yang tidak ada yang menyamai keutamaannya di dunia, jiwa ini berhasrat untuk memiliki sesuatu yang lebih utama darinya.” Maksudnya, surga lebih utama di banding dengan khilafah.

Kesungguhannya dalam beribadah
Mansur Abu Umayah, pelayan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz menuturkan, “Aku melihat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memiliki sebuah keranjang di dalam tendanya yang kuncinya berada di kancing bajunya. Jika aku lengah atau telah tertidur, dia membuka keranjang tersebut. Mengeluarkan baju dan mantel yang terbuat dari bulu. Kemudian dia shalat malam dengan keduanya. Hal ini dia kerjakan setiap malam. Dan jika adzan shubuh telah berkumandang dia melepasnya kembali.”

Sifat amanhnya
Fatimah, istri ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Dia masuk ke rumah dan mendapati 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sedang berada di mushalanya dengan meletakan tangannya di pipi, sementara air matanya mengalir deras. Fatimah berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin apa yang telah terjadi?’ Dia menjawab, ‘Wahai Fatimah, aku telah dibebani permasalahan umat Muhammad, dan aku berfikir tentang orang-orang fakir yang sedang kelaparan, orang-orang sakit yang terbuang, mereka yang miskin dan bertelanjang dada, orang-orang yang terdzalimi dan terkalahkan, mereka yang jauh berada di tahanan musuh, orang-orang yang telah jompo, orang-orang yang memiliki kerabat jauh di seberang sana. Aku tahu bahwa nanti Allah akan bertanya kepadaku tentang mereka semua itu. Dan selain dari pada mereka, Nabi Muhammad juga akan menuntutku. Saya takut jika saya tidak memiliki alasan yang kuat ketika aku di tuntut nanti. Maka aku merasa kasihan terhadap diriku sendiri, dan akhirnya aku menangis.”

Zuhud dan wira’inya
Dia adalah orang suci jiwanya, senantiasa menundukkan hawa nafsunya dan mempersempit ruang geraknya. Hingga kondisinya persis sebagaimana kondisi kaum muslimin pada umumnya.
Suatu ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz shalat jum’at bersama manusia, kemudian beliau duduk. Waktu itu beliau mengenakan gamis yang bertambal-tambal baik di depan maupun dibelakangnya. Salah seorang laki-laki menegurnya, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah memberimu kekuasaan, alangkah baiknya jika engkau memakai pakaian yang baik!” ‘Umar menjawab, “Sebaik-baik kesederhanaan adalah di saat dia mampu, dan sebaik-baik maaf adalah bagi orang yang memiliki kekuatan.”

Dari ‘Amru bin Muhajir, dia berkata, “Suatu ketika ‘Umar menginginkan buah apel, dia berkata, ‘Seandainya kita memiliki buah apel, sesungguhnya dia buah yang baik.” Maka berdirilah seorang laki-laki dari keluarganya dan dia menghadiahkan kepadanya buah apel. Ketika utusan laki-laki tersebut datang membawa apel. Dia berkata, ‘Alangkah baiknya apel ini, alangkah wangi dan baik baunya. Wahai pelayanku ambil dan bawalah apel ini, sampaikan salamku kepada si fulan.” Katakan kepadanya, “Hadiahmu telah kami terima dengan senang hati.” Umar bin Muhajir berkata, “Aku berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya putra dari pamanmu –maksudnya orang yang memberi apel- adalah laki-laki dari keluargamu. Dan bukankah telah sampai kepadamu bahwa Nabi memakan hadiah dan tidak mau memakan shadaqah.’ ‘Umar menjawab, ‘Hadiyah yang diberikan kepad Nabi adalah murni hadiah, sedangkan hadiyah yang diberikan kepada kami tadi adalah risywah (sogokan).”

Ketawahu’annya
Dia adalah orang yang sangat tawadhu’ (rendah diri), jabatan khalifah yang disandangnya tidak merubah karater yang dimilikinya. Bahkan akhlak dan agamanya semakin baik dan semakin tawadhu’.
Dari Raja bin Hauyah, dia berkata, “Aku pernah mengobrol dengan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada suatu malam. Tiba-tiba lampunya mati. Aku berdiri hendak memperbaikinya, tapi ‘Umar menyuruhku untuk tetap duduk dan dia sendiri berdiri untuk memperbaikinya kemudian kembali duduk bersamaku. Dia berkata, “Jika kamu berdiri status saya tetap ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, pun jika kamu duduk saya tetap ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sungguh tercela seseorang yang menggunakan tamunya.”

Rasa takutnya kepada Allah
Suatu Hari ‘Umar menangis, dan Fatimah pun ikut menangis. Dan seluruh penghuni rumah ikut menangis sementara mereka sendiri tidak tahu kenapa mereka menangis. Setelah tangis mereka reda, Fatimah berkata kepda ‘Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkanmu menangis?” ‘Umar menjawab, “Wahai Fatimah, aku teringat hari berkumpulnya manusia di depan Allah, sebagian masuk surga dan sebagian masuk neraka.” ‘Umar melanjutkan, “Kemudian dia dipanggil dan dia pingsan.”
Fatimah istri ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Jarang sekali didapatkan manusia yang lebih banyak mengerjakan shalat dan puasa dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Dan saya tidak pernah menemukan orang yang lebih takut kepada Rabbnya dari ‘Umar. Jika dia mengerjakan shalat isya dia tetap duduk di tempatnya, kemudian dia mengangkat tangannya dan dia terus menangis hingga dia tertidur karena kelelahan. Kamudian dia terbangun dan berdo’a lagi dengan mengangkat kedua tangannya dan menangis hingga dia tertidur lagi. Di melakukan hal itu setiap malamnya.

Akhir hayatnya
Imam Adz-Dzahabi berakata, “Laki-laki ini sangat baik perangai dan akhlaknya, memiliki akal yang sempurna, baik sepak terjangnya, dan cakap dalam berpolitik. Dia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat seadil mungkin. Berilmu, jenius dan faham. Lembut hatinya, ahli taubat, taat kepada Allah, lurus dalam beribadah, tetap zuhud walaupun memegang jabatan khilafah. Tetap menyampaikan kebenaran walaupun sedikit sekali orang yang menolongnya. Banyak para pejabat dzalim yang merasa bosan atas sikapnya. Mereka tidak suka dengan kritikan yang sering disampaikan oleh ‘Umar dan sedikitnya pendapatan mereka. Sementara ‘Umar banyak mengambil harta yang mereka miliki, harta yang mereka dapatkan dengan cara yang tidak benar. Mereka terus membencinya hingga mereka membikin makar untuk meracuninya. Maka tercapailah derajat syahadah dan kebahagaiaan olehnya. Para Ahli ilmu memasukannya sebagai khulafaaurrasyidin, dan ‘ulama ‘amilin.

Disarikan dari buku Ladzatut Ta’abudis Salaf, karya Syaikh Shalahuddin ‘Ali Abdul Maujud

MEMBURU KEMULIAAN MALAM AL-QADAR
Oleh : Imtihan asy Syafi'i, M.IF

Di antara malam-malam Ramadhan ada satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Dengan hitungan sederhana, jika seseorang mengerjakan shalat sunnah dua rekaat pada malam itu, maka untuk menyamainya ia harus mengerjakan shalat dua rekaat selama seribu bulan. Demikian pula jika ia membaca al-Qur`an dan berdzikir, ia baru bisa menyamainya apabila ia membaca al-Qur`an dan berdzikir selama seribu bulan. Oleh karena itulah dari sekarang kita mesti mempersiapkan amalan yang hendak kita kerjakan pada malam itu. Bukankah teramat sayang jika ada sedetik waktu dari malam itu yang terbuang percuma atau kita mengisinya dengan lelap tidur sampai terbit fajar?

Seseorang yang hendak mendaki gunung pastilah mempersiapkan fisiknya dengan sebaik-baiknya. Apalagi jika ia sadar bahwa pendakian yang akan dilakukannya adalah pendakian malam hari. Beberapa hari atau bahkan beberapa pekan sebelumnya ia pasti rajin melatih otot kaki dan nafasnya. Dia pasti tidak ingin gagal dalam pendakiannya itu. Demikian pula halnya dengan mengisi malam al-Qadar. Seluruh malam, sedari ‘Isya` sampai saat shalat Shubuh tiba. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) hadir kepada kalian. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang darinya, sungguh dia terhalang dari segala kebaikan. Tidaklah terhalang dari kebaikannya kecuali orang yang benar-benar terhalang.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Amal yang Perlu Disiapkan
Ada banyak amal yang dapat dikerjakan oleh seorang muslim agar ia memperoleh kebaikan malam al-Qadar. Agar pada malam al-Qadar kualitas amal-amal itu benar-benar mencapai puncaknya, seyogianya kita mempersiapkan diri dari sekarang. Di antara amal-amal itu adalah:

1. Shalat ‘Isya` dan Shubuh berjamaah di masjid. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat ‘Isya` secara berjamaah, seakan-akan ia mengerjakan shalat separuh malam; dan barangsiapa yang mengerjakan shalat Shubuh secara berjamaah, seakan-akan ia mengerjakan shalat malam sepenuh malam.”

2. Shalat malam/tahajjud. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bangun malam pada malam al-Qadar dengan dasar iman dan hanya mengharap (ridha Allah) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Orang yang tidak terbiasa mengerjakan shalat malam tidak akan kuat mengerjakannya sepanjang malam. Dengan membiasakannya dari sekarang, mengerjakannya pada malam-malam perburuan pun tidak akan terasa berat.

3. Dzikir dan doa. Seberapa kuat kita duduk dalam dzikir dan doa? Satu jam? Dua jam? Apabila kaki dan badan kita terasa lelah mengerjakan shalat malam, kita bisa beristirahat dengan duduk seraya membaca dzikir dan doa. Setelah rasa lelah hilang, kita bisa melanjutkan shalat malam.
Ada bacaan yang disunnahkan dan untuk dibaca pada malam-malam perburuan malam al-Qadar. Menghapal dan banyak-banyak membacanya sejak sekarang, bukanlah sikap yang melanggar syariat. Dzikir dan doa itu adalah:
اللَّهُمَّ إْنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, mencintai ampunan, maka ampunilah aku.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
الَلّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, saya memohon petunjuk, takwa, kesucian, dan kecukupan kepada-Mu.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
اَللّهُمَّ أَصْلِحْ لِيْ دِيْنِي الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّذِيْ فِيْهَا مَعَاشِيْ ، وَأَصْلِحْ لِيْ آخِرَتِيْ الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادِيْ ، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِيْ فِيْ كُلِّ خَيْرٍ ، وَاجْعَل الْمَوْتَ رَاحَةً لِيْ مِنْ كُلِّ شَرٍّ .
“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penjaga urusannku, perbaikilah duniaku yang aku hidup di dalamnya, perbaikilah akhiratku yang ke sanalah tempat kembaliku, jadikan kehidupan ini sebagai tambahan bagiku dalam meraih setiap kebaikan, dan jadikan kematian sebagai istirahat bagiku dari setiap keburukan " (Diriwayatkan oleh Muslim)
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُوْ فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَ أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang aku harap, maka janganlah Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata, perbaikilah keadaanku seluruhnya, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

4. Membaca al-Qur`an.
Meskipun sebagian ulama memakruhkannya, membaca al-Qur`an tetap bisa menjadi alternatif amalan untuk mengisi malam al-Qadar. Apalagi ada hadits yang menerangkan bahwa al-Qur`an adalah sebaik-baik dzikir.

Menyeimbangkan Kualitas dan Kuantitas
Persiapan mengisi seluruh malam al-Qadar dengan berbagai amal ini mesti disertai dengan upaya menyeimbangkan kualitas dan kuantitas amal yang kita kerjakan. Oleh karena itulah diperlukan persiapan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga saat memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan kita sudah benar-benar “panas” dan tinggal “tancap gas” memburu kemuliaan malam al-Qadar yang menurut sabda Nabi ada di antara malam-malam ganjil.
Sebenarnya itu semua tidak perlu, jika hari ini kita sudah menjadi hamba Allah yang kualitas dan kuantitas amalnya sudah maksimal. Semoga setelah kita mampu meningkatkannya nanti, kualitas dan kuantitas amal kita yang sudah baik itu tidak turun lagi. Apalagi terjun bebas. Wallahu al-Muwaffiq.

Keutamaan Membaca Al-Qur'an
Oleh : Ryan Arif Abdurrohman, Lc

Al Qur’an Di Hati Para Sahabat

Para sahabat memandang bahwa al qur’an adalah kalam Allah yang mulia, kesempurnaan lafadz dan maknanya menunjukan kemukjizatannya. Mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Maha Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, dan Maha Kasih Sayang, hal itu sebagaimana ditekankan oleh Allah dalam berbagai permulaan surat, seperti permulaan surat az zumar, al jatsiyah, al ahqaf, al mukmin dan yang lainnya.
Mereka memahami bahwa orang yang membaca Al Qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah, sekaligus seperti seorang prajurit yang menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui. Perasaan inilah yang digambarkan oleh Allah dalam Firmannya: "Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS. Maryam: 58)

Perasaan diatas menyebabkan Umu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasulullah. Suatu saat Abu Bakar dan Umar berkunjung kepada ibu asuh Rasulallah, Ummu Aiman. ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman karena teringat wafatnya Rasulallah, maka Abu Bakar dan Umar berkata, “Kenapa anda menangis sementara Rasulullah mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab, "Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena terputusnya wahyu Allah yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari", mendengar jawaban itu sahabat abu bakar dan umar ikut menangis.
Sikap sahabat diatas adalah secuil dari gambaran dan sikap mereka terhadap al qur’an. para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa protes sedikitpun, walau-pun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tetapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan kecintaan kepada Allah swt.

Keutamaan Membaca Al-Qur'an

Mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan membaca, akan tetapi mentadabburinya sehingga diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat dalam shalatnya sampai terbit fajar. Hal itu mereka lakukan karena mereka mengetahui keutamaan al qur’an dan membacanya. Diantara keutamaan membaca al qur’an adalah sebagai berikut;

1. Memperoleh kesempurnaan pahala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.: (QS. Fathir : 29-30) Qatadah Berkata: " apabila membaca ayat ini Mutharrif berkata : "ini adalah ayat para qari.'”

2. Syafa'at bagi pembaca Al Qur'an
Dari Abu Umamah, ia berkata : "Saya mendengar Rasulullah Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Bacalah Al Qur'an karena sesungguhnya Al qur'an itu akan datang di hari kiamat untuk memberi syafa'at bagi yang membacanya" (HR. Muslim)
Dan dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Puasa dan Al Qur'an akan memberi syafa'at kepada hamba kelak di hari kiamat, puasa berkata : "Ya Rabbku saya telah mencegahnya dari memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa'at kepadanya. Dan berkata Al Qur'an :"Saya telah mencegahnya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa'at kepadanya, Nabu bersabda :"Maka keduanya memberikan syafa'at" (HR. Ahmad)
Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak membaca Al Qur'an Al Karim terutama di bulan Ramadhan, karena bulan ini merupakan bulan Al Qur'an. Para ulama As salaf Ash Shalih bila menghadapi bulan Ramadhan mereka menyambutnya dengan membaca Al Qur'an lebih banyak dari bulan lainnya. Mereka menyibukkan diri dengan tadarrus Al Qur'an, mempelajarinya, mengajarkannya dan qiyamul lail dengan membaca ayat-ayatnya agar mereka beruntung mendapat syafa'at dari puasa dan Al Qur'an yang mereka baca serta agar mendapatkan ridha dan syurga Ar Rahman.

3. Pahala yang berlipat ganda bagi pembaca Al Qur'an
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Al Qur'an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengatakan " الم "Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf" (HR. Tirmidzi)

4. Mengangkat derajat di Syurga
Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Radhiyallahu 'anhu bersabda : "Dikatakan kepada Ahli Al Qur'an : "Bacalah dan keraskanlah dan bacalah (dengan tartil) sebagaimana engkau membacanya di dunia, sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang kau baca" (HHR. Tirmidzi)

5. Belajar dan mengajarkan Al Qur'an adalah amalan yang terbaik
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya" (HR. Bukhari)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Tidak diragukan lagi bahwa orang yang menggabungkan dalam dirinya dua perkara yaitu mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya, dia menyempurnakan dirinya dan orang lain, berati dia telah mengumpulkan dua manfa'at yaitu manfa'at yang pendek (kecil) dan manfa'at yang banyak, oleh karena inilah dia lebih utama." (Lihat Fathul Bari 4:76)

6. Empat Keutamaan bagi kaum yang bekumpul untuk membaca Al Qur'an
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata Rasulullah Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah Allah (masjid) mereka membaca kitabullah dan saling belajar diantara mereka, kecuali Allah menurunkan ketenangan kepada mereka, mereka diliputi rahmat, dinaungi malaikat dan Allah menye butnyebut mereka pada (malaikat) yang didekatNya" (HR. Muslim)
Maka berbahagilah ahlul Qur'an dengan karunia yang agung dan kedudukan yang tinggi ini, namun sungguh sangat mengherankan hari ini masih ada orang yang masih bermalas-malasan bahkan berpaling dari majelis Al Qur'an.

7. Membaca Al Qur'an adalah perhiasan Ahlul Iman
Dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Qur'an itu bagaikan jeruk limau; harum baunya dan enak rasanya dan perumpamaan orang mu'min yang tidak membaca Al Qur'an itu bagaikan buah kurma; tidak ada baunya namun enak rasanya. Dan perumpamaan orang munafik yang membaca Al Qur'an itu bagaikan buah raihanah; harum baunya tapi pahit rasanya dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur'an itu bagaikan buah hanzhalah; tidak ada baunya dan pahit rasanya" (HR. Bukhari dan Muslim)

8. Membaca Al Qur'an lebih berharga dibanding Harta benda dunia.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Radhiyallahu 'anhu bersabda :
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْـنَا : نَعَمْ ، قَالَ : فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
"Apakah salah seorang diantara kalian senang bila pulang kepada keluarganya dengan mendapatkan tiga ekor unta khalifat yang gemuk-gemuk ?" Kamipun berkata : "Ya" Beliau bersabda : "Maka tiga ayat yang dibaca oleh seseorang diantara kalian dalam shalatnya itu lebih baik dari tiga ekor unta khalifat yang gemuk-gemuk" (HR. Muslim)
Harta yang paling dicintai orang Arab pada waktu itu adalah unta khalifat, apabila unta khalifat yang besar lagi gemuk memiliki nilai kekayaan yang besar yang diperebutkan manusia, maka sesungguhnya belajar atau membaca satu ayat dari kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik disisi Allah dari pada unta tersebut. Bersegera membaca Al Qur'an lebih banyak manfa'atnya dari pada berdesak-desakan memperebutkan harta kekayaan dunia yang akan sirna tidak meninggalkan bekas.

9. Keutamaan orang yang mahir membaca Al Qur'an
Dari Aisyah ia berkata, Rasululah Radhiyallahu 'anhu bersabda: "Orang yang mahir Al Qur'an bersama para malaikat yang mulia dan baik-baik dan orang yang membaca Al Qur'an dan terbata-bata membacanya dengan mengalami kesulitan melakukan hal itu maka baginya dua pahala." (HR. Muslim)
Para sahabat memahami Sembilan keutamaan diatas, pemahaman itu terpatri dalam lubuk hati dan sanubari mereka, dan pemahaman itu sebagai motifator mereka untuk berinteraksi dengan al qur’an demi meraih ridha dan rahmat Allah swt.
Setelah kita mengetahui keutamaan membaca Al Qur'an, maka sudah sepantasnya kita berupaya sebagaimana apa yang dilakukan para sahabat, karena dengannya mereka menjadi baik dan mulia di sisi Allah. Sehingga, sudah semustinya kita menyingsingkan lengan baju kita untuk bersungguh-sungguh membaca Al Qur'an dan mentadabburinya, kemudian langkah berikutnya kita berupaya untuk menjaga kontinuitas amal itu. Siapkah kita untuk mewujudkannya di bulan ramadhan tahun ini dan bulan bulan berikutnya…? Semoga Allah menuntun kita untuk dapat mewujudkannya. Amin..

Maraji':
1. Abu Ubaid Al Qasim Bin Salam Al Harawi, Kitab Fadhail Al Qur’an, (Bairut: Dar Ibn Katsir, t.tt)
2. Ibn Al Katsir, Kitab Fadhail Al Qur’an, (Qahirah: Maktabah Ibn Taimiyah,1416)
3. Salman Bin Umar Al Sanidi,Tadabbur Al Qur’an, (Riyadh: Maktabah Al Malik Fahad Wathaniyah,1423)
4. Abu Al A’laal Maududi, Mabda’ Asasiyah Li Fahmi Alqur’an, (t.tp: Minbar At Tauhid Wa Aljihad, t.tt)
5. Muhamad Al Ghazali, Kaifa Nataammal Ma’a Al Qur’an, (Mesir: Nahdhoh Misra, 2005)
6. Yusuf Al Qardhawi, Kaifa Nata’ammal Ma’a Al Qur’an Al Adzim, (Al Qahirah: Dar Asy Syuruq, 1421)
(By: Ryan Arief Rahman)

RAMADHAN TELAH TIBA

Posted by newydsui 0 comments

RAMADHAN TELAH TIBA
Persiapkan Diri Kita Untuk Menyambut Tamu yang Mulia
Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Menyegarkan kembali makna shiyam

Arti Shiyam Secara Bahasa
Shiyam, atau dalam bahasa lainnya shaum, atau dikenal dalam masyarakat kita dengan sebutan puasa, adalah infinitif dari ( صَامَ يَصُوْمُ ) shooma – yashuumu, artinya imsak (menahan), yaitu menahan dari perbuatan atau ucapan apapun.
Dan apabila seseorang enggan bicara, atau mogok makan hingga tidak mau bicara dan tidak mau makan, maka secara bahasa orang itu dikatakan sedang shiyam. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam kisah Maryam bunda Nabi Isa ‘alaihis-salam :
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْماً فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيّاً
“Sesungguhnya aku telah bernadzar kepada Ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pengasih) untuk melaksanakan shiyam, (yaitu) maka aku tidak akan berbicara dengan seorangpun pada hari ini.” (Maryam ayat 26)

Arti Shiyam Dalam Syariat Islam
Shiyam adalah menahan dari makan, minum, melakukan hubungan seksual, dan perkara lainnya yang membatalkan shiyam selama satu hari penuh disertai niat, mulai terbit fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Dan menjadi sempurna bila dibarengi dengan menjauhi hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengerjakan yang haram.

Bagaimana Menyambut Bulan Ramadhan

1. Hendaknya setiap orang mengoreksi lembaran-lembaran kehidupannya sebelum Ramadhan tiba.
2. Membersihkan diri sebelum bertemu Ramadhan, yaitu dengan banyak beristighfar, bertaubat kepada Allah dari segala dosa dan meninggalkan maksiat yang pernah dilakukannya. Siapa yang durhaka kepada orang tuanya, hendaknya meminta ridha keduanya untuk dimaafkan lalu berbakti kepada keduanya. Siapa yang memutus silaturrahmi atau hubungan sesama muslim, hendaklah dia menyambungnya kembali dengan menyapanya dan mengunjunginya. Siapa yang biasa mendengar musik dan lagu-lagu, harus dia hentikan dan menggantinya dengan bacaan Al-Qur`an untuk seterusnya. Siapa yang melakukan riba atau pekerjaan haram lainnya, hendaklah dia tinggalkan dan menggantinya dengan nafkah yang halal. Siapa yang selama ini tidak pernah atau jarang mengerjakan shalat lima waktu, hendaklah dia memulainya dari bulan Ramadhan dan tidak meninggalkannya sampai akhir hayat. Dan demikian seterusnya untuk meninggalkan setiap perbuatan dosa dan menekuni segala kewajiban, baik pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan-bulan lainnya selama hayat masih di kandung badan.
3. Menyusun agenda yang mengantarkannya kepada amal-amal shalih yang akan dilakukannya secara disiplin selama bulan Ramadhan.
4. Banyak berdo’a suapaya ringan menjalankan ibadah bulan Ramadhan.
5. Mempelajari dan membaca hukum-hukum yang berkenaan dengan bulan Ramadhan.

Cara Menetapkan Awal Bulan Ramadhan

Awal dan akhir bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit), yaitu minimal dengan kesaksian satu orang muslim untuk awal Ramadhan, dan dua orang muslim untuk awal Syawal. ( Zaadul-Ma’ad, 2/36-37)
1. Apabila cuaca mendung dan hilal bulan Ramadhan tidak dapat dilihat pada malam 30 Sya’ban, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban sebanyak 30 hari, kemudian dipastikan pada hari berikutnya adalah untuk shaum, yaitu awal bulan Ramadhan.
2. Begitu pula halnya ketika hilal bulan Syawal tidak terlihat, maka hukum yang harus diambil ialah dengan menyempurnakan bilangan Ramadhan sebanyak 30 hari, kemudian kita pastikan hari berikutnya sebagai hari raya, yaitu sebagai awal bulan Syawal. (Dua cara inilah yang menjadi petunjuk Nabi dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Dan begitulah pendapat jumhur fuqaha’. Lihat Zaadul-Ma’ad,2/47; Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/158-160)
Rasulullah bersabda :
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُ الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْلَهُ.
“Janganlah kamu melakukan shaum sampai kamu melihat hilal, dan jangan pula berbuka ( mengakhiri shaum Ramadhan ) sampai kamu melihatnya. Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan olehmu, sempurnakanlah bilangannya”. (HR. Bukhori Muslim)
الشَّهْرُ تِسْعَ وَ عِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.
“Satu bulan itu jumlahnya 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shaum sampai kamu melihatnya ( hilal ). Dan jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan olehmu, sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Adapun menetapkan awal Ramadhan dengan ilmu hisab di saat langit mendung, maka pendapat ini banyak dibantah oleh para ulama’. Para fuqaha’ telah menegaskan tidak bolehnya bersandar pada perhitungan-perhitungan ilmu falak dalam menetapkan hilal, karena sesungguhnya syari’at Islam ini mengaitkan shaum dengan ru’yah dan bukan dengan hisab. (Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, 2/180)
3. Jumhur fuqaha’ mengatakan : “Dan tidak betul jika yang dimaksud adalah hisab ahli perbintangan, sebab jika manusia dibebani dengan hal tersebut, tentulah akan memberatkan mereka, sebab masalah hisab perbintangan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang saja, sedang syari’at dapat dipahami orang apabila kebanyakan mereka mengetahuinya. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 7/190)
Madzhab Maliki mengatakan : ‘Hisab tidak boleh ditetapkan dengan pendapat ahli perbintangan, ahli perhitungan masa yang mengetahui perjalanan bulan, baik ketetapan itu untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, karena sesungguhnya syari’at Islam mengaitkan shaum, idul fithri dan haji dengan ru’yah hilal dan bukan dengan keberadaan ahli perbintangan walaupun pendapatnya diasumsikan benar”. (Asy-Syarh Ash-Shagir, 1/241)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Dan berdasarkan As-Sunnah Ash-Shohihah serta kesepakatan para shahabat, tidak diragukan bahwasannya tidak boleh bersandar kepada hisab perbintangan”. (Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464)
Rasulullah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسَبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا : يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ.
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak melakukan hisab. Bulan itu begini dan begini, yang terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
لاَتَقَدَّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ قَبْلَهُ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ, ثُمَّ صُوْمُوا حَتَّى تَرَوُ الْهِلاَلَ أَوْتُكْمِلُوا الْعِدَّةُ قَبْلَهٌ.
“Janganlah kalian mendahului bulan sebelum kalian melihat hilal, atau sampai menyempurnakan bilangannya. Kemudian laksanakanlah shaum sampai kalian lihat hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i)
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga mengatakan : “Dan orang yang bersandar kepada hisab dalam masalah hilal, sebagaimana bahwasannya ia sesat di dalam syari’at, berlaku bid’ah di dalam dien, maka dia juga keliru terhadap akal dan ilmu hisab.” (Al-Fatawa Al-Kubro, 2/464)

Hal-hal yang Boleh Dilakukan dan Dimaafkan Bagi Orang yang Shaum

1. Bersiwak ( menggosok gigi ) di sepanjang waktu siang, kecuali menurut Imam Ahmad , bahwasannya makruh bersiwak setelah condongnya matahari.
2. Mendinginkan tubuh dengan air karena sangat panasnya cuaca, baik dengan disiram atau berendam di dalam air.
3. Makan, minum dan melakukan hubungan suami isteri di malam hari sampai nyata baginya terbit fajar.
4. Melakukan safar ( perjalanan ) karena keperluan yang diperbolehkan ( bukan maksiyat ), meskipun dia tahu kalau safarnya itu dapat mengakibatkan dirinya berbuka.
5. Berobat dengan obat apapun selama halal, yang tidak menyebabkannya masuk ke dalam kerongkongan walau pun sedikit, diantara ( yang dibolehkan ) adalah dengan jarum selama itu bukan infus.
6. Mengunyah makanan untuk anak kecil karena tidak ada orang lain yang mengunyahkannya, dengan syarat tidak sedikit pun masuk ke dalam kerongkongan.
7. Menggunakan parfum, atau harum-haruman yang sifatnya dibakar dahulu.
8. Memakai minyak wangi, baik yang dioleskan ke badan, ataupun minyak rambut.
9. Berbekam, apabila tidak khawatir menjadikan badannya lemah.
10. Menelan ludah sendiri, walaupun banyak.
11. Lalat yang tertelan tanpa ia kehendaki.
12. Asap jalanan dan pabrik, asap kayu dan seluruh asap yang tidak mungkin dihindari.
13. Dalam keadaan junub di subuh hari ( setelah melakukan jima’ sebelum terbit fajar namun belum mandi ).
14. Mimpi junub di siang hari.
15. Makan dan minum karena lupa atau tidak sengaja, lalu melanjutkan shaumnya.
Rasulullah bersabda :
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang lupa lalu makan dan minum, hendaklah ia sempurnakan shaumnya, tidak lain karena Allah memberinya makan”. (HR. Muslim)
مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَكَفَارَةَ
“Barangsiapa yang berbuka ( makan atau minum ) pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada qadha’ dan kafarah atas dirinya”. (HR. HR..Al-Hakim dan Al-Baihaqi, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalm Shahih Al-Jami’ ash-Shaghir, hadits no 6070)

Akibat Orang Yang Meninggalkan/Membatalkan Shiyam Ramadhan Tanpa Alasan Syar'i

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ  قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أَتَانِي رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعِي فَأَتَيَا بِي جَبَلاً وَعْراً فَقَالاَ : اصْعَدْ ، فَقُلْتُ : إِنِّي لاَ أُطِيْقُهُ ، فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ ، فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ ، قُلْتُ : مَا هَذِهِ اْلأَصْوَاتُ ؟ قَالُوا : هَذَا عُوَى أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشِدَّاقُهُمْ تَسِيْلُ أَشِدَّاقُهُمْ دَماً، قَالَ : قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Sahabat Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika aku tidur , datang dua orang kepadaku kemudian memegang lengan atasku dan mengajakku ke bukit yang terjal. Dua orang itu berkata : “Naiklah”. Aku katakan : “Aku tidak sanggup.” Mereka katakan : “Akan kami permudah.” Kemudian aku naik sampai ke puncak bukit, ternyata aku mendengar jeritan yang sangat keras. Aku pun bertanya : “Suara apa ini?” Mereka berkata : “Inilah jeritan penghuni neraka.” Kemudian kami pergi sampai tiba di sekumpulan orang yang tergantung di urat ketingnya ( urat di atas tumit) dan robek mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya : “Siapa mereka?” Jawab dua orang itu : “Mereka orang-orang yang membatalkan shiyam (tanpa alasan syar'i) sebelum tiba waktu berbuka.” (Hadits shahih riwayat Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, juz 1 hal. 430; dan juga lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, hadits no. 3951)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata : “Adapun hukum orang yang meninggalkan shiyam Ramadhan sedang ia mukallaf (berakal dan dewasa), baik laki-laki ataupun perempuan adalah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan telah berbuat dosa besar. Wajib baginya bertaubat kepada Allah dan mengqadha’ shiyam yang ia tinggalkan itu dengan mengerjakannya di luar Ramadhan serta memberi makan orang miskin tiap harinya (dari shiyam yang ia tinggalkan) jika ia mampu. Dan apabila yang melakukannya itu orang fakir tidak mampu memberikan makan, cukup baginya qadha’ dan bertaubat kepada Allah. Karena shiyam Ramadhan adalah kewajiban besar yang Allah wajibkan atas umat Islam yang mukallaf. Dan juga telah dijelaskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa shiyam Ramadhan termasuk rukun Islam yang lima.” (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baaz, juz 15 hal. 332)
Wallahu A’lamu bish Shawab

Referensi:
1. Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baaz
2. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh al Albani
3. Al-Fatawa Al-Kubro
4. Asy-Syarh Ash-Shagir
5. Syarh Shahih Muslim
6. Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga
7. Zaadul-Ma’ad

Liga Ramadhan Piala ar Royyan,
Siapa Yang Dapat?

Apa yang dirasakan oleh juara Dunia 2010M, Tim Spanyol, ketika ia dipastikan menjadi juara dalam event besar itu? Tentu luapan kegembiraan dan suka cita menyatu dalam diri mereka. Tidak hanya pemain, pelatih, dan tim saja, bahkan semua warga negara Spanyol menyatu dalam kegembiraan itu. Dunia memujinya, publik menyanjungnya. Spanyol jadi buah bibir.
Keberhasilan itu hasil jerih perjuangan panjang dan melelahkan. Penantian selama bertahun-tahun untuk merebut kembali predikat sang juara. Penuh kesungguhan dan kedisiplinan.

Bagaimana jika piala itu datangnya dari Robb-nya manusia?. Bagaimana jika predikat juara itu disematkan oleh Pemilik alam raya ini?. Bagaimana jika yang menyanjung itu adalah Penentu kehidupan semua makhluk?.

Secara fitriyah dan imaniyah, pasti orang akan berebut piala dan predikat juara dari Robb-nya. Tentu jauh lebih mulia, istimewa dibandingkan dengan sanjungan manusia.
Ya, itulah peraih sukses Ramadhan. Orang yang mampu melewati event besar ini sampai finish dengan kesungguhan. Ia meraih predikat taqwa, sebagai identitas tertinggi manusia. Ia meraih piala Ar Royyan, surga spesial bagi shaaimin dan shaaimat.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
“Sesungguhnya didalam surga ada pintu bernama Royyan, tidak ada yang memasukinya kecuali mereka yang shaum Ramadhan.” (Muttafaq alaih)

Bahkan tidak hanya itu, orang yang sukses Ramadhan, mengisinya dengan kesungguhan, akan meraih berbagai keistimewaan dan kemuliaan.
Karena Ramadhan menjanjikan: Kelipatan pahala, pengkabulan do’a, pemudahan amal shaleh, penghapusan dosa, surga dibuka lebar-lebar, neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu. Dan di dalamnya ada malam lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan senilai usia rata-rata manusia, bagi yang meraihnya. Subhanallah!

Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah swt. berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).
“Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih).
Yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah, persiapan dan pengkondisian sebelum Ramadhan datang.

Persiapan fikriyah atau pemahaman tentang Ramadhan. Persiapan ruhiyah atau ibadah ritual. Persiapan maddiyah atau fisik dan material.
Dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah shaum hingga kita mengatakan tidak pernah tidak shaum, dan beliau berbuka (tidak shaum) hingga kita mengatakan tidak shaum, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan shaum satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak shaum selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya’ban.” Imam Bukhari.

Subhanallah, kondisi ruhiyah, fikriyah dan maddiyah sudah dipersiapkan sebulan, bahkan dua bulan sebelum Ramadhan menjelang. Sehingga ketika Ramadhan datang, kita sudah terbiasa, terkondisikan dengan kesungguhan dan ketaatan. Dan karena itu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan Ramadhan akan dapat diraih. Keluar Ramadhan meraih predikat muttaqin dan piala Jannatur Rayyan, insya Allah. Allahu a’lam

DIHALALKANNYA JIMA’ DI MALAM HARI
BULAN RAMADHAN

Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Tafsir Ayat dan Asbabun Nuzul

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Ini adalah rukhshah (keringanan) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum muslimin. Dan juga mengangkat beban yang ada pada diri kaum muslimin pada awal-awal Islam, yaitu mereka hanya dibolehkan minum, makan, dan melakukan hubungan suami istri hingga datang waktu Isya` saja. Apabila mereka telah melaksanakan shalat Isya` maka tidak dibolehkan lagi mereka untuk minum, makan, dan melakukan hubungan suami-istri hingga pagi hari. Tentunya hal demikian sangat memberatkan kaum muslimin.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Ishaq ia berkata, “Aku telah mendengar Al-Barra` -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Ketika turun ayat perintah shaum Ramadhan mereka para shahabat sama sekali tidak mendekati istri mereka selama satu bulan penuh. Padahal kaum pria tidak mampu menahan hawa nafsu mereka, maka turunlah ayat tersebut diatas.
Ali bin Abi Thalhah –rahimahullah- berkata, “Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata, ‘Pada (awal Islam) kaum muslimin apabila telah melaksanakan shalat Isya` di bulan Ramadhan, maka diharamkan bagi mereka makan dan mendatangi istri mereka hingga malam berikutnya. Kemudian ada sebagian kaum muslimin yang makan dan mendatangi istrinya setelah shalat Isya`, diantara mereka adalah Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu-, kemudian mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu turunlah ayat diatas’.”

Larangan Mendatangi Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah dia berkata : Ketika kami duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba datang laki-laki kepada Nabi seraya berkata : “Celaka saya ya Rasulullah”. “Kenapa kamu celaka ?”, Tanya Rasulullah. Laki-laki itu menjawab : “Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari Ramadhan.” Rasulullah bertanya : “Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak ?”. “Tidak “,jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, Tanya Rasulullah pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin ?”, Tanya Rasul. Dan laki–laki itu pun tetap menjawab : “Tidak”. Kemudian ia duduk, maka datanglah Nabi dengan membawa sebakul kurma seraya berkata : “Sedekahkanlah kurma ini”, kata Nabi. “Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami ya Rasulullah, padahal tidak ada satu warga pun di kampung kami yang lebih miskin selain kami”, kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau katakan : “Pulanglah, berikan kurma ini kepada keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Fiqhul Hadits di Atas

1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
2. Lafadz “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’.
3. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.
4. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.
5. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
6. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red). Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
7. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
8. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
9. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
10. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
11. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
12. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
13. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
14. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
15. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
16. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya. Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
Wallahu A’lamu bish Shawab.

Reference:
1. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir.
3. Risalah Ramadhan, Ma’had Aly An-Nuur.
4. www.salafy.or.id
5. Dan lain-lain.

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers