ZAKAT FITRI

Posted by newydsui Friday, August 12, 2011 0 comments

ZAKAT FITRI
Oleh : Hammad

Difinisi Zakat Fithri

Zakat fitri yaitu shadaqoh yang dikeluarkan pada akhir ramadhan,pada malam hari raya dan pagi harinya. Disebut zakat fitri karena ia disyariatkan ketika bulan ramadhan telah sempurna dan pada saat ummat islam telah mengakhiri siyam ramadhan mereka. (Fiqih Ramadhan, Tim Ulin Nuha: 125)

Hukum Zakat Fithri

Huku mengeluarkan zakat fithri adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin yang mampu membayarnya saat itu, hal ini telah di sepakati oleh jumhur ulama’ berdasarkan dalil-dalil yang shohih. Diantaranya hadits dari Ibnu Umar RA, Rosulullah SAW bersabda:

فرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَ الْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَ أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ (رواه البخاري ومسلم)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, Dan beliaujuga memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang pergi mengerjakan sholat.” (HR.Bukhori Muslim)

Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri

Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh:

1. Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya.

2. Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasannya adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ

“Barangsiapa meminta dan padanya terdapat sesuatu yang mencukupinya, maka seseungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Dawud, Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, VII/59). Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya.
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasa Ramadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.
Apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan

Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri

waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231 serta Zadul Ma’ad, 2/20)
Ibnu Abbas berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fithri setelah shalat ‘ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada umumnya dan bukan termasuk zakat fithri (At Ta’liqot Ar Rodhiyah, I/553, ed)
Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendpat tentang diperbolehkannya mendahulukan pelaksanaan zakat fithri 1 atau 2 hari seelum sholat idul fithri.
Sementara madzhab Syafi’I berpendapat tentang bolehnya pelaksanaan zakat fithri sejak hari pertama bulan ramadhan.
Sedangkan madzhab Maliki berpendapat bahwa secara mutlaq hokum mendahulukan pengeluaran zakat fithri tidak boleh sama sekali sebagaimana sholat sebelum waktunya. (lihat Fiqh Ramadhan, Tim Ulin Nuha: 141)
Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84).

Jenis dan Ukuran Zakat Fithri

Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa

Adapun ukurannya, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits bahwa zakat fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini sebanding 4 mud.
Menurut Hanafiyah, satu mud sama dengan 1,032 liter atau 815,39 gram. Jadi satu sho’ samadengan 3261,5 gram. (lihat Kamus Kontemporer, 1161). Adapun menurut Imam Syafi’I, Ahmad dan Malik, satu mud sama dengan 0,687 liter atau 543 gram. Jadi satu sho’ sama dengan 2176 gram. (Fiqih Zakat, Yusuf Qordowi: 2/946). Di dalam Kifayatul Ahyar disebutkan ukurannya kurang lebih 2400 gram. Dibolehkan membayar lebih pada ukuran diatas.

Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ?

Yang wajib dikeluarkan adalah makanan pokok.adapun selain makanan pokok seperti uang atau dikiyaskan dengan yang lain ini tidak diperkenankan. Kecuali kalau memang terpaksa sekali.karena yang demikian tidak pernah di tetapkan oleh Rosulullah bahkan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. (minhajul Muslim :298)

Terakhir, menurut mayoritas ulama fiqh tidak boleh menggunakan uang yang senilai makanan untuk membayar zakat fithri, namun yang membolehkannya adalah Abu Hanifah juga Umar bin Abdul Aziz. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa perkataan Abu Hanifah ini tertolak. (Lihat Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231). Bahkan Imam Syafi’I berpendapat “Tidak sah membayar zakat fithri dengan nilai nominal (uang), dan para ulama’ tidak berbeda pendapat tetang persoalan ini”.(kifayatul Ahyar :158)

Penerima Zakat Fithri

Para ulama’ berbeda pendapat tentang mustahiq zakat fithri, ada yang mengkususkan orang miskin, ada pula yang berpendapat bahwa mustahiq zakat fithri adalah fakir kecuali amil, ibnu sabil, pejuang fi sabilillah termasuk tholibul ilmi.
Fakir miskin adalah orang yang paling tepat menerima zakat fithri bukan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah:60). Inilah pendapat Malikiyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pendapat ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “… untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85)

Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, II/17 mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri itu hanya dikhususkan kepada orang miskin. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikannya kepada 8 ashnaf (sebagaiman dalam Surat At Taubah: 60) dan beliau juga tidak pernah memerintahkan demikian dan tidak ada seorang sahabat pun dan tabi’in yang melakukannya.
Allahu A’lam bish Showab.

PEMBATAL-PEMBATAL SHAUM

Posted by newydsui 0 comments

PEMBATAL-PEMBATAL SHAUM
Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Dalam permasalahan pembatal shaum para ulama membaginya kepada dua jenis, pertama; pembatal shaum yang mewajibkan qadha` saja, kedua; pembatal shaum yang mewajibkan qadha` dan kafarat.

A. Pembatal Shaum yang Mewajibkan Qadha`

1. Makan selain makanan biasa seperti makan batu kecil, makan potongan kulit, adonan terigu, garam yang cukup banyak, memakan daun, kerupuk, tanah, atau memasukkan air -cairan atau obat ke dalam sesuatu yang berlubang dengan cara menyuntikkannya-, atau melalui selang, misalnya melalui farji wanita atau melalui dubur.

2. Makan, minum, atau bersetubuh (berjima') tanpa sadar bahwa siang belum lagi habis atau malam telah berlalu. Maksudnya, bila seseorang menyangka matahari telah terbenam atau fajar belum terbit, kemudian ia makan atau minum atau bersetubuh, maka menu¬rut jumhur ulama' shaumnya rusak dan wajib baginya qadha'.

3. Sengaja mengeluarkan mani baik dikarenakan mencium atau ber¬pelukan atau lainnya. Adapun kalau keluarnya mani itu karena memikirkan atau memandang wajah seseorang,maka yang demikian itu tidak membatalkan shaumnya dan tidak berkewajiban apa-apa.

4. Muntah dengan disengaja.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءُ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
"Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka baginya tidak wajib mengqadha'. Dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka berqad¬ha'lah."(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

5. Haidh dan nifas.
Wanita yang haid dan nifas dapat membatalkan shaumnya dan wajib qadha' sekalipun terjadi beberapa saat menjelang terbenamnya matahari.
6. Menurut Imam Ahmad dan Imam Syaf'i, yang termasuk membatalkan shaum dan wajib baginya qadha' adalah mengeluarkan mani dengan tangannya (onani), atau dengan tangan isterinya.

7. Apabila seorang perempuan memasukkan jarinya yang basah dengan air atau minyak ke dalam farji bagian dalam, atau memasukkan kayu atau semisalnya ke dalam farji sampai masuk seluruhnya, maka shaumnya batal dan wajib mengqadha'nya.

8. Murtad (keluar dari Islam).
Orang yang murtad, menurut jumhur ulama' dengan sendirinya memba¬talkan shaumnya dan apabila ia taubat kembali kepada Islam, maka wajib baginya untuk mengqadha' shaumnya.

B. Pembatal Shaum yang Mewajibkan Qadha` dan Kafarat

1. Makan, minum dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa udzur yang diakui syara', yaitu apabila yang dimakan atau yang diminum dapat memenuhi syahwat perut, seperti:
a. Makanan dan buah-buahan apa saja yang masak, roti, kue, dan sayur-sayuran.
b. Sedikit garam dan semisalnya bila sengaja dinikmati kelezatan¬nya.
c. Menelan biji gandum, wijen dari luar mulut kecuali bila seke¬dar mengunyah saja lalu menyusup ke sela-sela gigi dan tidak ada yang sampai ke perut.
d. Merokok, terlebih lagi menelan asapnya.
e. Menelan ludah suami atau istri demi mendapatkan kenikmatan.

2. Bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : هَلَكْتُ يَارَسُوْلُ اللهِ، قَالَ : وَمَا أَهْلَكَكَ، قَالَ : وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ : هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً، قَالَ : لاَ، قَالَ : فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَ : لاَ، قَالَ : فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، قَالَ : لاَ، قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ، فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهَذَا، قَالَ : أَعَلَى أَفْقَرَمِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لاَ بَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ : اذْهَبْ فَاطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam seraya berkata: "Celaka saya wahai Rasulullah". "Kenapa kamu celaka?", tanya Rasulullah. Laki-laki itu menjawab: "Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari Ramad¬han." Rasul bertanya: "Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak?". "Tidak", jawab laki-laki itu."Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?", tanya Rasulullah pula. "Tidak", jawabnya. "Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin?", tanya Rasul. Dan laki-laki itu pun tetap menjawab: "Tidak". Kemudian ia pun duduk, maka datanglah Nabi dengan membawa sebakul kurma seraya bersabda: "Sedekahkanlah kurma ini", kata Nabi. "Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami wahai Rasulullah, padahal di kampung kami ini tidak ada satu warga pun yang lebih miskin selain kami", kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau bersabda: "Pulanglah, berikanlah kurma ini kepada keluargamu." (HR. Al-Jama'ah)

HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN BAGI ORANG YANG SHAUM

1. Berlebih-lebihan ketika berkumur dan menghirup air ke hidung saat berwudhu`.
2. Mencium (istri/suami), sebab terkadang dapat membangkitkan syahwat, sehingga shaumnya rusak, baik karena keluar mani (sperma), atau kemudian ia meneruskannya dengan berjima’ (melakukan persenggamaan).
3. Terus menerus memandang istri dengan syahwat.
4. Berfikir urusan jima’.
5. Bercumbu rayu dengan istri.
6. Mencicipi masakan, makanan, atau minuman.
7. Berkumur-kumur bukan karena wudhu`, atau kepentingan lainnya yang dianggap perlu.
8. Bercelak di awal siang.
9. Berbekam, apabila khawatir menjadikan dirinya lemah dan membuat ia berbuka.

HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN BAGI ORANG YANG SHAUM

Banyak hal yang boleh dilakukan oleh orang yang shaum selama bulan Ramadhan. Berikut adalah perkara-perkara yang boleh untuk dilakukan:

1. Bersiwak (gosok gigi) di sepanjang waktu siang, kecuali menurut imam Ahmad, bahwasanya makruh bersiwak setelah matahari tergelincir.

2. Mendinginkan badan (tubuh) dengan air karena cuaca sangat panas, baik dengan diguyur air atau berendam di dalamnya.

3. Makan, minum, dan melakukan hubungan suami isteri di malam hari Ramadhan sebelum terbitnya fajar.

4. Melakukan safar (perjalanan) karena keperluan yang diperbolehkan (bukan maksiat), meskipun dia tahu kalau safarnya itu dapat mengakibatkan dirinya berbuka.

5. Berobat dengan obat apapun selama halal, yang tidak menyebabkannya masuk ke dalam kerongkongan walaupun sedikit, di antara (yang dibolehkan) adalah dengan jarum suntik selama itu bukan infuse.

6. Mengunyah makanan untuk anak kecil karena tidak ada orang lain yang mengunyahkannya, dengan syarat tidak sedikitpun yang masuk ke dalam kerongkongan.

7. Menggunakan parfum, atau harum-haruman.

8. Memakai minyak wangi, baik yang dioleskan ke badan, ataupun minyak rambut.

9. Berbekam, apabila tidak khawatir menjadikan badannya lemah.

HAL-HAL YANG DIMAAFKAN BAGI ORANG YANG SHAUM

Berikut adalah perkara-perkara yang dimaafkan apabila dilakukan orang orang yang shaum di bulan Ramadhan:

1. Menelan ludak sendiri, walaupun itu banyak.
2. Lalat yang tertelan tanpa ia kehendaki.
3. Asap jalanan dan pabrik, asap kayu dan seluruh asap yang tidak mungkin untuk dihindari.
4. Dalam keadaan junub di waktu Shubuh (setelah melakukan jima’ sebelum terbit fajar namun belum mandi hingga datangnya waktu Shubuh).
5. Mimpi junub di siang hari Ramadhan.
6. Makan dan minum karena lupa atau tidak sengaja, lalu melanjutkan shaumnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila seseorang lupa lalu makan dan minum, hendaklah ia sempurnakan shaumnya, tidak lain karena Allah yang memberinya makan.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang berbuka (makan atau minum) pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada qadha` dan kafarah baginya.” (Hadits shahih riwayat imam Al-Baihaqi)

Khutbah Idul Fitri 1432 H
Tiga Sifat Orang Bertakwa
Oleh: Ali Shodiqin

إنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ ونَستَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُورِ أنفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنا مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ ومن يُضْلِلْ فَلا هَادِي لَهُ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ } [آل عمران: 102] .
{ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا } [النساء: 1] .
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا } [الأحزاب: 70- 71].
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا أَلَا وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Bulan yang penuh berkah dan kemulian, bulan ramadhan, telah melewati kita. Bulan penuh ampunan dan maghfirah telah memotong umur kita pada tahun ini untuk kembali pada tahun berikutnya. Bisa jadi, kita masih bertemu dengan bulan ini pada tahun berikutnya, namun tidak menutup kemungkinan, ramadhan lalu adalah ramadhan terakhir yang kita lakukan di dunia ini.

Di hari yang mulia ini, Idul Fitri, marilah kita muhasabah dan introspeksi sejenak. Kita tanyakan kepada diri kita masing-masing. Sebuah pertanyaan, “Ramadhan ke berapakah ramadhan kemarin sejak kita menginjak dewasa?” Jawabannya memang sangat bervariasi, bisa satu, dua, tiga…….lima, sepuluh, belasan, bahkan yang ke sekian puluhan kali. Dan pertanyaan selanjutnya, pertanyaan yang terpenting, “Apakah kita sudah mampu menjadi produk ramadhan ? Sudahkah amalan yang kita kerjakan pada bulan ramadhan berbekas dalam diri kita pada bulan-bulan setelahnya? Untuk menjadi insan-insan yang bertakwa.
Karena itulah sangat penting bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat orang yang bertakwa. Penting sebagai muhasabah kita. Apakah ramadhan kita yang lalu betul-betul mencetak karakter dan sifat takwa dalam diri kita ataupun tidak. Diantara sifat-sifat Muttaqin yang disebutkan Allah terdapat dalam surat adz-Dzaariyaat :15-19. Allah swt berfirman,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {15} ءَاخِذِينَ مَآءَاتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ {16} كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَايَهْجَعُونَ {17} وَبِاْلأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ {18} وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقُّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ {19}

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. Sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sungguh, sebelum itu, mereka ketika di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta.”
Di dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah menyebutkan tiga ciri orang bertakwa; yaitu (1) gemar shalat malam, (2) beristighfar di waktu sahur dan (3) memberikan sedekah kepada orang-orang yang miskin papa.

Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd

Jama’ah shalat iedul fitri rahimakumullah….,

Sifat orang bertakwa yang pertama adalah (كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَايَهْجَعُونَ) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Artinya, orang yang bertakwa adalah orang yang gemar shalat malam.
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga pernah bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ
“Hendaklah kalian mengerjakan shalat malam, karena ia merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, mendekatkan diri kalian kepada Allah, menjaga diri dari dosa, menghapus kesalahan dan menghilangkan penyakit dari tubuh.” (HR. at Tirmidzi, Ahmad, al Baihaqi dan al Hakim).
Teladan paling agung dalam masalah ini adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri. Suatu hari… Atha’, ‘Ubaid bin Umair dan Abdullah bin Umar bertamu ke rumah Ummul Mukminin -Aisyah, salah satu istri Rasululloh tercinta. Abdullah bin Umar pun bertanya kepada ibunda Aisyah, “Wahai ibunda, dalam kehidupan Rasululloh, kejadian apakah yang paling menakjubkan ?.”

Ketika diingatkan dengan orang yang paling dicinta, Ummul Mukminin –Aisyah- tidak bisa menutupi kerinduannya kepada Rasululloh, suaminya tercinta. Ia menangis.., air mata berlinang membasahi pipinya. Teringat kepada Rasul mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan dengan sesenggukan isak tangisnya, ia menjawab, “Duhai saudaraku, semua kehidupan Rasululloh adalah menakjubkan.” “Baiklah. Akan aku ceritakan kisah yang paling menakjubkan dari beliau.” Lanjut ummul mukminin, Aisyah.

“Pernah, suatu malam…., yaitu ketika malam giliranku, kami sudah berada di tempat pembaringan. Kulitku dan kulit beliau sudah bersentuhan. Namun.., beliau meminta izin kepadaku, “Duhai Aisyah, izinkanlah aku untuk beribadah kepada Rabb-ku.” Aku menjawab, “Wahai Rasululloh, aku ingin dekat denganmu, dan siap melayanimu.” Namun Rasululloh tetap ingin beribadah pada malam itu.

Beliau mengambil air wudhu, dan shalat. Bermunajat dan bersimpuh di hadapan Allah dengan penuh kekhusyukan. Ketika berdiri dalam shalatnya, beliau menangis dengan mata berlinang airmata. Ketika duduk beliau memuji Allah, kemudian menangis, dan air mata beliau yang suci membasahi hijrnya (tempat shalatnya). Dan ketika selesai shalat, beliau berbaring dengan posisi miring ke kanan dan meletakkan tangannya di bawah pipinya, beliau pun juga menangis, dan aku melihat airmata beliau membasahi bumi. Beliau melakukan shalat dan menangis seperti itu hingga Bilal bin Rabbah datang untuk mengumandangkan adzan yang pertama.
Kemudian Bilal berkata, “Shalat wahai Rasululloh.” Tetapi ketika melihat orang yang paling dicintainya menangis sedemikian rupa, Bilal bin Rabbah, shahabat yang menjadi mu’adzin beliau, juga menangis sesenggukan…, dan berkata dengan nada sedu-sedan,

يَا رَسُوْلَ اللهِ لِمَ تَبْكِي وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ وَمَا تَأَخَّرَ

Wahai Rasululloh, kenapa anda menangis…..padahal bukankah Allah sudah mengampuni dosa anda, baik yang telah lalu maupun yang terkemudian ?”
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab,

أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا

Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur ?.” (Ibnu Hibban, no 620)
Subhanallah. Manusia mulia, yang ma’shum; terhindar dari dosa, dan manusia yang paling baik kualitas imannya dan paling tinggi takwanya saja masih senantiasa melaksanakan shalat malam dengan berlinang air mata. Maka kita, sebagai umat beliau, yang tidak memiliki jaminan sejengkal tempat pun di jannah nanti lebih pantas untuk memperbanyak ibadah kita kepada Allah Ta’ala.

Allahu Akbar 3x wa Lillahil Hamd
Jama’ah shalat iedul fitri yahdikumullah….,
Sifat orang bertakwa yang kedua adalah (وَبِاْلأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ) “mereka beristighfar di waktu sahur.”
Waktu sahur adalah waktu yang penuh keutamaan, kemuliaan dan kebaikan karena ia termasuk sepertiga malam terakhir, padahal Nabi kita tercinta pernah bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia ketika sepertiga malam yang terakhir. Kemudian Dia berfirman, “Siapa yang berdoa akan aku kabulkan. Siapa yang meminta akan Aku beri. Dan siapa yang memohon ampun akan Aku ampuni.”

Adakah yang kita harapkan selain ampunan dari Allah atas segala kesalahan dan dosa kita?
Para ulama’ menyebutkan bahwa taubat dan beristighfar dari dosa adalah wajib. Oleh karenanya Allah berfirman, “….dan siapa yang tidak bertaubat maka dia adalah orang yang zhalim.” (al-Hujuraat: 1). Orang yang tidak bertobat, tidak beristigfar dan tidak mau mengakui kesalahan dengan memohon ampunan Allah adalah orang zhalim. Pikirannya picik, karena tidak mau mengakui dosanya padahal Rasululloh pernah bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak adam adalah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang-orang yang mau bertaubat.” (Ibnu Majah, no 4251)

Allahu Akbar 3x wa Lillahil Hamd

Jama’ah shalat Iedul Fitri Rahimakumullah….
Adapun sifat yang ketiga adalah, (وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقُّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ) “ dan dalam hartanya ada hak bagi peminta-minta, dan orang miskin yang menahan diri dari meminta. Maksudnya, ia gemar bersedekah dan memberikan sebagian rizki yang diberikan Allah kepadanya untuk orang lain yang membutuhkan.

Sering kali kita bertanya, “Sedemikian pentingkah bersedekah sehingga Allah selalu mengulang perintah bersedekah ini dalam banyak ayat-Nya?”
Jawabannya adalah Ya. Allah memerintahkan kita untuk bersedekah karena kebaikannya akan kembali kepada diri kita. Allah berfirman, “Dan harta apa saja yang baik, yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.” (al Baqarah : 272).
Jama’ah shalat Iedul Fitri Rahimakumullah….
Pada suatu hari, ada seseorang yang meninggal dunia. Dan ketika dipekuburan, ada seorang shalih bertanya kepada orang yang di sampingnya,
“Kamu tahu, apa yang diinginkan oleh si fulan yang sedang dikuburkan ini?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Ia pasti ingin dikembalikan ke dunia, agar bisa menambah pundi-pundi amal kebajikannya.”
“Kamu benar, tetapi itu tidak mungkin. Oleh karenanya, mumpung kita masih hidup dan diberi kesempatan oleh Allah mari kita memperbanyak amal shaleh kita.”
Tidak ada orang yang meninggal kecuali ia ingin kembali ke dunia; kalau ia orang baik, ia ingin kembali ke dunia untuk menambah amal shalihnya agar bisa meninggikan derajatnya di sisi Allah, sedang kalau ia orang fajir, ia juga ingin kembali ke dunia untuk beramal shaleh sebanyak-banyaknya agar bisa memperingan siksanya.
Sufyan bin Uyainah Rahimahullohv berkata,

أَّشَدُّ النَّاسِ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ
رَجُلٌ كَانَ لَهُ عَبْدٌ فَجَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَفْضَلُ عَمَلًا مِنْهُ
وَرَجُلٌ لُهُ مَالٌ فَلَمْ يَتَصَدَّقْ مِنْهُ فَمَاتَ فَوَرَّثَهُ فَتَصَدَّقَ مِنْهُ
وَرَجُلٌ عَالِمٌ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِلْمِهِ فَعَلَّمَ غَيْرَهُ فَانْتَفَعَ بِهِ

“Orang yang paling besar penyesalannya pada hari kiamat nanti ada tiga; yaitu,
1. Seorang tuan yang memiliki budak, namun ternyata pada hari kiamat nanti amal budaknya lebih baik daripada amalnya;
2. Orang yang memiki harta namun ia tidak menyedekahkannya, lalu ia meninggal dunia sehingga hartanya diwariskan kepada ahli warisnya dan mereka menyedekahkannya; dan
3. Seorang alim (berilmu) yang tidak mengamalkan ilmunya, lalu ia mengajarkan kepada orang lain sedang ia mengamalkannya.” ( Shifatush Shafwah : 2/235).
Dan terkhusus kepada segenap ibu-ibu dan semua kaum wanita…, kami berwasiat sebagaimana apa yang dinasehatkan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Setelah beliau menyampaikan khotbah Idul fitri, beliau mendatangi kaum wanita dan bersabda,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai segenap kaum wanita…, bersedekahlah, dan perbanyaklah istighfar karena aku melihat kalian adalah mayoritas penghuni neraka.”

وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ

Karena sebab apa wahai Rasululloh ?” tanya mereka.

تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri pemberian suami.” Jawab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (HR. Bukhari-Muslim).

Itulah tiga sifat orang bertakwa yang dijanjikan jannah oleh Allah Ta’ala. Jannah, Ma la ainun raat wa la udzunun sami’at wa la khathara ala qalbil basyar…., kenikmatan jannah, itu tidak terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh sanubari manusia. Semoga kita dimudahkan, dan diberi taufik oleh Allah untuk mengamalkan amalan-amalan ahli jannah ini. Amin.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَّللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وْالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِنَا وَدُنْيَانَا وَأَهْلِنَا وَمَالِنَا اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وَآمِنْ رَوْعَاتِنَا اللَّهُمَّ احْفَظْنِا مِنْ بَيْنِ أيَدينَا وَمِنْ خَلْفِنَا وَعَنْ يَمِينِنَا وَعَنْ شِمَالِنَا وَمِنْ فَوْقِنَا وَنعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ نُغْتَالَ مِنْ تَحْتِنَا
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ



IMSAK DI BULAN RAMADHAN

Posted by newydsui 0 comments


IMSAK DI BULAN RAMADHAN
Oleh: Qodri Fathurrohman

Pada bulan ramadhan ada kebiasaan yang sudah begitu membudaya di masyarakat kita yaitu mengumandangkan imsak menjelang shalat subuh sebagai pertanda berakhirnya waktu sahur. Pada zaman Ibnu Hajar al-Atsqalani, ada bentuk lain dari imsak, yaitu memadamkan lampu sebagai pertanda haramnya meneruskan makan dan minum bagi siapa yang ingin berpuasa pada keesokan harinya. Benarkah kebiasaan ini jika ditinjau dari sisi syar’i?

Makna Imsak

Imsak secara bahasa berarti menahan. Inti dari puasa adalah imsak ini, yaitu menahan dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Jadi batasan bagi seorang yang mau melaksanakan shaum harus imsak (menahan diri) dari makan dan minum dan hal-hal lain yang bisa membatalkannya adalah terbitnya fajar bukan adzan. Sebagaimana jumhur ulama dari 4 imam madzhab dan ulama yang lainnya telah sepakat bahwa waktu imsak bagi orang yang mau melaksanakan shaum adalah jika telah terbit fajar shadiq.

Shaum adalah ibadah mahdhah, artinya ibadah khusus yang berdimensi vertikal, sehingga aturannya harus diambil dari aturan syara’. Tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat aturan sendiri keluar dari aturan syara’. Aturan yang tidak berasal dari syara’ secara otomatis tertolak.

Yang termasuk ke dalam ketentuan ini adalah batas kapan mulai menahan dari makan dan minum serta kapan berakhirnya. Allah swt berfirman:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“ Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqarah : 187)
Ketika ayat diatas turun, para sahabat Nabi saw sengaja mengambil tali hitam dan tali putih dan meletakkannya dibawah bantal mereka, atau salah seorang mereka mengikatkan tali itu di kakinya, dan dia masih tetap makan dan minum sehingga terlihat jelas olehnya perbedaan warna kedua tali tersebut.

Dari Adi bin Hatim ra. berkata, “Ketika turun ayat, “Hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. “ Aku mengambil tali hitam dan tali putih lalu meletakkannya di bawah bantalku, kemudian aku melihatnya pada malam hari dan keduanya tidak tampak olehku. Selanjutnya aku berangkat menemui Rasulullah saw dan menceritakan kejadian itu. Maka beliau saw bersabda, “Yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang. “ (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan ayat di atas maka difahami bahwa batas akhir waktu sahur adalah terbit fajar. Yang dimaksud fajar disini adalah fajar shadiq yaitu warna merah yang naik dan muncul di puncak gunung, gang-gang dan rumah-rumah. Inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat. Bukan fajar kadzib yaitu warna putih panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala, pada waktu itu shalat subuh tidak sah dilakukan dan masih diperbolehkan makan dan minum bagi yang ingin mengerjakan shiyam. Sebagaimana hal ini dijelaskan di dalam hadits nabi saw berikut ini:
“Makan dan minumlah, janganlah kalian tertipu oleh pancaran sinar putih yang naik. Makan dan minumlah sehingga nampak oleh kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Huzaimah)

Juga berdasarkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka Nabi saw bersabda:

إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
"Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum." Perawi berkata, "Ibnu Ummui Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, 'Sudah shubuh, sudah shubuh'." (HR Bukhari)

Adapun pengumandangan Imsak saat ini yang dilakukan kira-kira 10 menit sebelum terbitnya fajar, maka kebiasaan itu telah melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan dikumandangkan Imsak maka telah membatasi kaum muslimin dari melanjutkan sahurnya, padahal secara syara’ masih ada waktu untuk sahur. Karena itulah tradisi itu tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak sesuai dengan dalil-dalil syara’ sehingga bisa dikategorikan ke dalam bid’ah yang dilarang oleh Rasulullah saw.

Adapun alasan imsak itu untuk kehati-hatian, maka alasan itu tidak bisa diterima mengingat Rasulullah memberikan ketentuan demikian. Apakah bisa difahami Rasululah mengajarkan tindakan tidak hati-hati? Allahu a’lam bish-shawab

SHALAT TARAWIH

Posted by newydsui 0 comments

SHALAT TARAWIH
Oleh : Abdurrohman

SEBAB PENAMAAN

Kata tarawih adalah bentuk jamak dari dari kata “tarwihah” yang artinya istirahat pada tiap-tiap empat roka’at dengan dua kali salam. Kemudian tiap empat roka’at dengan dua kali salam dari shalat malam tersebut lebih dikenal dengan istilah tarawih. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam al-Baihaqi dari Aisyah Radliyallahu’anha:

كانَ رسولُ الله يُصَلِّي أرْبَعَ رَكَعَاتٍ في الليلِ، ثم يَتَرَوَّحُ فأطَالَ حتَّى رَحِمْتُهُ،
Artinya: “Rasulullah shalat malam empat raka’at lalu istirahat lama sekali sehingga saya merasa iba kepada beliau ”.

Shalat Sunnah yang dikerjakan pada malam hari disebut Qiyamullail atau shalat lail, shalat lail juga sering disebut dengan nama shalat tahajjud. Bila shalat lail/ qiyamullail/tahajud dikerjakan di bulan Ramadhan, maka disebut shalat tarawih.
Penamaan Qiyamul lail dibulan Ramadhan denganb Tarawih sudah dikenal lama dikalangan ulama tanpa ada yang mengingkarinya. Seperti Imam Al Bukhary ( wafat 256 H) dalam shohihnya menulis kitab khusus dengan judul Kitabut Tarawih, demikian juga kitab Mukhtashor Qiyamul lail yang di tulis oleh Muhammad bin Nashr Al Marwazy ( wafat 294 H ). Fakta ini menjawab keraguan sebagian orang yang mengingkari penamaan Qiyamul Lail di bulan Ramadhan dengan Tarawih ataupun yang menganggap sholat Tarawih adalah bid’ah.

DALIL DAN KEUTAMAANNYA

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi DALA Al Minhaj. Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” ( HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi)
Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.

Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih

BILANGAN RAKA’AT TARAWIH

Jumah raka’at yang bisa dilaksanakan oleh Rasulullah adalah 11 atau 13 raka’at, dihitung 11 raka’at jika tanpa shalat iftitah sebanyak dua roka’at. Berdasarkan riwayat dari Aisyah Radliyaalhu’anha beliau berkata:

ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشر ركعة

Artinya: “Tidaklah Rasulullah Shallahualaihi wasallam shalat malam di bulan ramadlan maupun di luar ramadlan lebih dari 11 raka’at”. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i Turmudzi)
Dari Aisyah beliau berkata:

كان النبي صلى الله عليه و سلم الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة منها ركعتا الفجر

Artinya: “Nabi Salallahu’alaihi wasalllam shalat malam di bulan ramadlan sebanyak 13 raka’at sudah termasuk witir dan dua raka’at shalat sunnah fajar”. (Bukhari, Muslim)
Namun boleh juga shalat tarawih lebih dari sebelas raka’at. Demikianlah pendapat para Ulama’. Mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi.

Secara ringkas pendapat para ulama’ dalam masalah ini sebagai berikut:
1. 20 raka’at tarawih belum termasuk witir, dengan lima kali tarwihat (istirahat sejenak setiap empat raka’at ), tiap dua raka’at salam. ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, dan Daud adh-Dhohiri. Al-Qodli Iyadl meriwayatkan ini dari jumhur Ulama’.
2. 40 raka’at tarawih, ditambah 7 raka’at witir. Ini adalah pendapat Imam Aswad Bin Yazid.
3. 36 raka’at tarawih belum termasuk wiitir, dikerjakan dalam sembilan kali tarwihat, ini adalah pendapat Imam Malik. Dasarnya adalah shalat penduduk Madinah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ maula Ibnu Umar “Saya mendapati kaum muslimin di Madinah shalat tarawih 39 raka’at, yang tiga raka’at adalah witir. ( Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab IV/ 38, Al Mughni II/ 604)

Bolehnya shalat tarawih lebih dari 11 raka’at menjadi pendapat jumhur Ulama’, sebagaimana yang tegaskan oleh para ulama’:

Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman menyatakan
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa shalat tarawih adalah 20 raka’at secara berjama’ah. Ini juga menjadi pendapat Imam Malik. Imam Ibnu Abdil Barr memilih pendapat ini, namun beliau mengatakan riwayat dari imam Malik adalah 11 raka’at”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan “… boleh shalat 20 raka’at dengan berjama’ah sebagaimana pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad. Boleh juga shalat 36 raka’at sebagaimana pendapat Imam Malik dan ia juga oleh shalat 11 dan 13 raka’at, semuanya baik, banyak dan sedikitnya raka’at tergantung panjang dan pendeknya berdiri ( lama tidaknya shalat ).

Beliau juga mengatakan, “Yang lebih utama adalah berbeda dengan keadaan makmum, kalau mereka sanggup berdiri lama, maka yang lebih utama adalah 10 raka’at, tarawih dan 3 witir, sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saat shalat sendirian di bulan Ramadlan dan bulan-bulan lainnya. Kalau makmum tidak kuat, maka yang lebih utama adalah 20 raka’at dan ini merupakan pendapat sebagian besar (ulama’) kaum Muslimin, sebagi pertengahan antara 10 dan 40 (11 da 36), shalat 40 raka’at atau lebih juga boleh dan tidak dibenci. Barangsiapa yang mengira bahwa jumlah raka’atnya sudah ditentukan sehingga tidak boleh lebih atau kurang, berarti dia telah salah. Karena seseorang kadang-kadang rajin sehingga yang lebih utama adalah memanjangkan ibadah, namun kadang-kadang juga malas sehingga yang lebih utama adalah meringankannya”. (Al-Asilah wal Ajwibah Al-Fiqhiyah II/186, Mawardlu Adz-Dham’an I/406-412)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
“Nabi Salallahu’alaihiwasallam shalat malam di bulan Ramadlan dan bulan-bulan yang lainnya sebanyak 11 atau 13 raka’at, tetapi shalat beliau sangat panjang (lama). Ketika kaum muslimin merasa berat, pada masa Umar Ibnu Khathab, Ubay bin Ka’ab mengimami mereka sebanyak 20 raka’at, kemudian shalat witir. Beliau meringankan berdirinya sehingga jumlah raka’at yang lebih banyak ini menjadi pengganti dari lamanya berdiri. Sebagaimana Salaf ash-Shalih shalat tarawih 40 raka’at dengan meringankan berdirinya, lalu witir 3 raka’at, sebagian Ulama’ salaf lainnya shalat 36 raka’at, kemudian shalat witir”. (Al-Fatawa Al-Kubra I/255)

Setelah menerangkan pendapat Ulama’ Salaf dalam masalah jumlah raka’at tarawih Imam asy-Syaukani menyimpulakan: “Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits dalam masalah ini dan hadit-hadits yang semisal adalah disyari’atkannya shalat malam pada bulan Ramadlan yang dikenal dengan nama tarawih, baik secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Membatasi jumlah raka’at atau bacaan tertentu tidak ada dasarnya dari as-Sunnah”. (Nailul Authar III/64)

WAKTU SHALAT TARAWIH
Para Ulama telah sepakat bahwa waktu shalat tarawih dan wiitir adalah setelah selasainya shalat isya’ sampai sebelum subuh. Dalilnya adalah:

عن عائشة قالت: من كل ليل قد أوتر النبي صلى الله عليه و سلم من أول ليل و أوسطه وأخر فانتهى وتره إلى االسحر

Artinya: “Aisyah berkata: Tiap malam Rasulullah melakukan shalat witir di awal malam, di pertengahan malam atau akhir malam, dan witir beliau berakhir di waktu Sahur”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)

عن أبي سعيد الخدري عن البي صلى الله عليه و سلم قال: أوتروا قبل أن نصبحوا

Artinya: “Dari Abu Sa’id al-Khudri dari Rasulullah Salallahu’alaihi wasalam bersabda: Witirlah kalian sebelum shalat subuh”. ( HR. Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majjah ).
Sedangkan mengenai waktu mana yang lebih utama (afdhal), sebagian Ulama’ menyatakan setelah shalat isya’ adalah lebih utama berdasarkan shalatnya Ubay bin Ka’ab di masa Umar, yang selanjutnya dilaksanakan oleh umat islam sampai hari ini, namun pendapat yang lebih kuat –Wallahu’a’lam- adalah yang menyatakan bahwa yang afdhal adalah melaksanakannya di akhir malam. Berdasarkan dalil:

Firman Allah Ta’la: “Adalah mereka sedikit tidur malam. Dan diwaktu-waktu sahur mereka beristigfar”. (QS. Adz Dzariyat: 17-18)

Dan sabda Rasulullah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

“Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud dan sholat yang paling disukai Allah adalah sholatnya Daud alaihissalam. Beliau tidur separuh malam dan bangun sepertiga malam dan tidur seperenam malam. Beliau sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Bukhari No 3420 dan Muslim No 2796)

عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ، كَيْفَ كَانَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ قَالَتْ: كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ، وَيَقُومُ آخِرَهُ، فَيُصَلِّي ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ، وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ

Abu Ishak al-Aswad berkata: Saya bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana sifat shalat malam Rasulullah? Beliau menjawab: “Beliau tidur di awal malam dan bangun di akhir malam lalu shalat. Kemudian beliau kembali ketempat tidur. Bila Muadzin mengumandangkan adzan beliau melompat bangun, bila ada hajat belaiu mandi, bila tidak ada hajat beliau segera berwudlu dan keluar kemasjid”. (HR. Bukhari)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat pada akhir malam.

BERJAMA’AH ATAU SENDIRIAN?

Dalam hal ini para Ulama’ berbeda pendapat:

Yang lebih utama adalah berjama’ah
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, al-Muzani, Ibnu Abdil Hakam, dan sebagian shahabat Abu Hanifah. Imam Ahmad berkata: “Shalat tarawih berjama’ah adalah lebih baik. Jika seseorang menjadi panutan lantas shalat tarawih sendirian di rumah, saya khawatir orang-orang akan ikut-ikutan shalat di rumah”. Beliau juga mengatakan “Sahabat Jabir, Ali dan Abu Hurairah juga shalat tarawih berjama’ah”.

Imam ath-Thahawi dan al-Laits menyatakan, “Setiap orang yang mengutamakan shalat tarawih sendirian di rumah harus memastikan bahwa ketidakhadirannya di masjid tidak menyebabkan shalat tarawih berjama’ah di masjid tidak terlaksana. Jika ketidakhadirannya menyebabakan shalat tarawih berjama’ah tidak terlaksana maka ia tidak boleh shalat sendirian”. (Al-Mugni I/605, al-Asilah Wal Ajwibah Al-Fiqhiyah II/174 )

Dalilnya adalah
1. Perbuatan para shabat sejak masa Umar bin Khatab yang melaksanakan shalat tarawih berjama’ah.
2. Rasulullah pernah shalat tarawih 3 atau 4 malam. Beliau tidak meneruskannya karena takut kalau shalat tarawih dianggap wajib.
3. Hadits Abu Dzar. Tentang hadits ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar “Dalam hadits ini ada anjuran untuk qiyam Ramadlan di belakang imam (secara berjama’ah), hal ini lebih dianjurkan dari shalat sunnah biasa, orang-orang shalat tarawih berjama’ah pada masa Rasulullah dan beliau mengakuinya. Pengakuan beliau ini adalah sunnah beliau”. (Al-Asilah wal Ajwibah II/179)

Shalat sendirian lebih baik
Imam Malik dan sebagaian Ulama Syafi’iyyah menyatakan, bagi orang yang kuat shalat tarawih sendirian maka itu lebih baik, dasarnya adalah hadits yang menyatakan sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah.
Imam An Nawawi menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berbeda pendapat mana yang lebih utama, secara sendirian di rumah atau berjama’ah di masjid. Imam Syafi’i dan sebagian besar shahabat beliau, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian Ulama’ Malikiyah dan Ulama’ lain menyatakan bahwa yang lebih utama adalah berjama’ah. Sebagaimana yang dikerjakan sahabat Umar dan para Sahabat yang lain dan terus dikerjakan oleh kaum muslimin dikarenakan merupakan syi’ar yang nyata sehingga kedudukannya seperti shalat ied. Imam ath-Thahawi menambahkan menegaskan “Shalat tarawih berjama’ah adalah fardlu kifayah”.
Adapun Abu Yusuf, Imam Malik sebagian Syafi’iyyah dan Ulama’ yang lain menyatakan yang lebih utama adalah shalat sendirian di rumah berdasarkan hadits:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dilakukannya di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Al-Bukhari no. 689 dan Muslim no. 781). (Nailul Authar III/60, Fatwa Lajnah Daimah VII/ 201-03)

TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH

Sifat pelaksanaan shalat tarawih berdasarkan beberapa riwayat bisa dibagi menjadi enam cara:

1. Shalat 13 raka’at dengan delapan raka’at kemudian salam pada tiap 2 raka’at lalu shalat witir 5 raka’at dan tidak salam keculai pada raka’at kelima. Ini didasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad IV/123, 230 dari Aisyah radliyallahu’anha.

2. Shalat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at shalat iftitah ini berdasarkan riwayat dari ibnu Abbas Radliyallahu’anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud no. 1351 dan hadits Zaid bin Khalid yang dikeluarkan oleh dan Bukhari no. 992.

3. Shalat 11 raka’at dengan salam pada setiap dua raka’at kemudian witir satu raka’at. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah Radliyallahu’anha.

4. Rasulullah terkadang shalat 11 raka’at dengan salam pada tiap empat raka’at, kemudian 3 raka’at berdasarkan hadits dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari.

5. Shalat delapan raka’at lalu duduk tasyahud kemudian bangkit tanpa salam melanjutkan satu raka’at sebagai witir lalu salam kemudian setelah itu beliau shalat lagi dua raka’at dengan cara duduk sehingga semuanya berjumlah 11 raka’at. Berdasarkan riwayat dari Aisyah yang dikeluarkan oleh Imam Muslim.

6. Shalat sebanyak 9 raka’at dan hanya duduk pada raka’at keenam lalu tasyahud kemudian bangkit lagi tanpa salam lalu witir satu raka’at kemudian salam kemudian salat lagi 2 raka’at dengan duduk berdasarkan riwayat yang kelima.
Dari semua kaifiyah yang paling atsbat/paling kuat riwayatnya dan afdhal adalah shalat 10 raka’at dengan salam pada setiap dua raka’at kemudian witir satu raka’at.

CARA WITIR
1. Witir 1 raka’at saja.
2. Witir lima raka’at tanpa salam kecuali pada raka’at yang kelima.
3. Witir tiga raka’at dengan tanpa diselingi salam atau mengerjakan satu raka’at yang sambung dengan delapan raka’at sebelumnya lalu salam kemudian shalat kembali dua raka’at. Atau mengerjakan dua raka’at kemudian salam lalu menambah satu raka’at ketiga.
4. Witir 7 raka’at .

Wallahu’alam Bishawab.



I’TIKAF SESUAI SUNNAH

Posted by newydsui 0 comments

I’TIKAF SESUAI SUNNAH
Oleh : Imtihan asy Syafi'i

Di antara amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan pada bulan Ramadhan, terutama pada 10 hari yang terakhir adalah i’tikaf. Rasulullah saw dan para sahabat hampir tidak pernah melewatkannya. Bahkan pada tahun beliau wafat, Rasulullah saw beri’tikaf selama 20 hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurayrah ra. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan praktik i’tikaf Rasulullah saw dan para sahabat, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, agar kita dapat meneladani beliau dan para sahabat. Agar kita tidak merasa sudah beribadah dengan benar, padahal ternyata masih ada yang tidak tepat atau bahkan menyelisihi Sunnah.

Definisi dan Disyariatkannya I’tikaf
I’tikaf adalah menetap dan tinggal di masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Dalil disyariatkannya, selain i’tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi saw, Allah juga mengisyaratkan anjuran i’tikaf dalam firman-Nya,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kamu menggauli mereka itu (istri-istrimu), sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
I’tikaf disyariatkan bagi semua mukallaf, laki-laki dan perempuan. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan). ‘Aisyah sendiri kemudian meminta izin untuk ikut beri’tikaf, dan beliau pun mengizinkannya.
Masih dari ‘Aisyah, sepeninggal Rasulullah saw istri-istri beliau juga biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Riwayat ini juga disampaikan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Namun demikian, wanita dibolehkan melakukan i’tikaf dengan memenuhi dua syarat. Pertama, mendapatkan izin dari suami, jika ia perempuan bersuami. Kedua, i’tikafnya tidak menimbulkan fitnah.

Syarat Rukun I’tikaf
Syarat orang yang hendak melakukan i’tikaf adalah: muslim, mumayyiz, suci dari janabat, serta tidak dalam keadaan haid dan nifas.
Rukun i’tikaf hanya satu, yakni menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Mengenai masjid yang bisa dijadikan tempat i’tikaf, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, semua masjid yang dijadikan tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu sah ditempati untuk i’tikaf, sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat, i’tikaf sah dilakukan di semua masjid, meskipun di situ hanya dijadikan tempat untuk melaksanakan sebagian shalat lima waktu. Sebab, tidak ada dalil sharih yang mengkhususkan pembolehan hanya di sebagian masjid.
Jumhur ulama juga menyatakan, kaum wanita tidak sah beri’tikaf di masjid (baca: musholla atau kamar khusus shalat) rumahnya. Sebab, masjid yang ada di dalam rumahnya tidak dapat dikatakan sebagai masjid—menurut definisi syar’i. Sebab, tidak ada perselisihan bahwa kamar khusus shalat yang ada di rumahnya itu boleh dijual. Selain itu, menurut riwayat yang shahih, istri-istri Nabi saw beri’tikaf di masjid Nabawi.

I’tikaf Sepuluh Akhir
Jika salah seorang di antara kita hendak beri’tikaf pada 10 akhir Ramadhan, maka Rasulullah saw telah masuk masjid sebelum terbenamnya matahari 20 Ramadhan dan tidak keluar sehingga batal i’tikaf beliau sampai setelah Shubuh 1 Syawal. Namun demikian, menurut para imam madzhab yang empat, ia sudah boleh keluar saat terbenamnya matahari akhir Ramadhan.
Kebanyakan kita bercerita atau menyampaikan keinginannya untuk beri’tikaf di 10 akhir Ramadhan, sebenarnya yang kita kerjakan hanya i’tikaf di sebagian malam 10 akhir Ramadhan (selain sebagian malam dihabiskan di rumah, siang pun digunakan untuk bekerja). Bagaimana pun ini tidak disebut i’tikaf 10 akhir Ramadhan. Karenanya, janganlah kita merasa sudah mengerjakan i’tikaf sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw dan para Salaf.
Apalagi para ulama menyarankan—bahkan ada yang mewajibkan—untuk mengqadha` i’tikaf yang tidak tuntas. Nabi pernah beri’tikaf di 10 akhir Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)

I’tikaf Sesaat
I’tikaf yang dilakukan oleh kebanyakan kita adalah i’tikaf putus-putus. Seseorang dianggap—secara syar’i—beri’tikaf apabila ia berniat untuk menetap di masjid selama masa tertentu. Selama ia masih berada di masjid, ia masih mendapatkan keutamaan dan pahala i’tikaf. Apabila ia keluar kemudian kembali lagi ke masjid untuk beri’tikaf, baik siang maupun malam, maka ia harus berniat lagi. Tanpa niat, ia tidak mendapatkan keutamaan dan pahala i’tikaf.

Sunnah Makruh I’tikaf
Mu’takif (orang yang beri’tikaf) disunnahkan untuk banyak-banyak melaksanakan ibadah sunnah, menyibukkan diri dengan shalat, membaca al-Qur`an, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat, dan ketaatan-ketaatan lain yang dapat mendekatkannya kepada Allah.
Termasuk di dalamnya, mengkaji ilmu syar’i, mempelajari kitab-kitab tafsir, hadits, dan kitab-kitab lainnya. Ia dimakruhkan untuk menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat, tapi juga makruh untuk tidak berbicara sama sekali jika ia mengira tidak berbicara ansich dapat mendekatkannya kepada Allah.

Mubah I’tikaf
Ada beberapa perkara yang boleh dilakukan oleh seorang mu’takif, yaitu:
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar keluarga memenuhi kebutuhan mereka.
Shafiyah ra, istri Nabi menuturkan, “Aku datang mengunjungi Rasulullah saw di suatu malam saat beliau sedang beri’tikaf. Saat pulang, beliau mengantarku. Tiba-tiba ada dua orang sahabat Anshar. Melihat Nabi, keduanya hendak kabur. Nabi pun memanggil keduanya, ‘Tetaplah di situ! Perempuan ini adalah Shafiyah binti Huyay.’ ‘Subhanallah, wahai Rasulullah,’ kata mereka. Beliau pun bersabda, ‘Setan menjalar pada manusia melalui aliran darahnya. Aku khawatir setan membuat kalian berdua berprasangka buruk.’.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
2. Menyisir rambut, bercukur, memotong kuku, membersihkan badan, memakai pakaian yang bagus, dan memakai wewangian. ‘Aisyah ra berkata, “Ketika Rasulullah saw sedang beri’tikaf di masjid, beliau menongolkan kepala lewat celah kamar. Aku pun membersihkan kepala beliau.” Dalam riwayat Musaddad disebutkan, “Aku menyisir rambut beliau padahal aku sedang haid.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
3. Keluar masjid untuk suatu keperluan atau kedaruratan.
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan tetap menjaga kebersihan.

Pembatal I’tikaf
Beberapa perkara yang membatalkan i’tikaf adalah:
1. Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan meskipun hanya sebentar. Sebab, dengan begitu ia tidak tinggal dan berdiam di masjid; padahal tinggal dan berdiam di masjid merupakan rukun i’tikaf.
2. Murtad. Sebab kemurtadan menghapuskan amal sebagaimana difirmankan oleh Allah, “Apabila kamu mempersekutukan (Allah), niscaya hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)
3. Hilang akal, baik karena gila maupun mabuk.
4. Haid dan nifas, bagi perempuan.
5. Bersetubuh. Hal ini berdasarkan firman Allah, “(Tetapi) janganlah kalian menggauli mereka, sedangkan kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya!” (AL-Baqarah: 187)
Jika seseorang hanya bersentuhan dengan suami/istrinya tanpa diiringi syahwat, maka tidak apa-apa. Sebab, ‘Aisyah juga pernah menyisir rambut beliau saat beliau sedang i’tikaf.
Mengenai ciuman dan sentuhan yang diiringi syahwat, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat, ia telah melakukan kesalahan, namun i’tikafnya tidak batal, kecuali jika ia mengeluarkan madzi atau mani. Sedangkan menurut Imam Malik, i’tikafnya telah batal meskipun ia tidak mengeluarkan cairan.
Demikianlah gambaran singkat i’tikaf sesuai sunnah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Semoga kita dapat meneladani mereka meskipun hari ini umumnya kita baru dapat mengerjakan sebagian kecil dari praktik yang semestinya. Wallahu al-Muwaffiq.


PUASA DAN DISPEPSIA

Posted by newydsui 0 comments

PUASA DAN DISPEPSIA
oleh : dr. Mety

Bulan yang mulia kembali hadir , mengajak ummat muslim untuk sejenak melepas penat dunia dan beralih mengejar amalan-amalan akhirat yang nilai pahalanya dilipatgandakan oleh ALLOH swt . Di bulan Ramadhan diwajibkan untuk berpuasa . Mungkin hal ini tidak masalah bagi orang yang tak mempunyai penyakit tertentu , tetapi bagaimana dengan orang yang mempunyai penyakit dyspepsia ? berbahayakah jika penderita dyspepsia berpuasa ? Sebelum lebih jauh membahasnya , ada baiknya jika kita mengingat kembali manfaat puasa dari sisi pengetahuan modern , yaitu ;

1. Membebaskan tubuh dari racun , kotoran , sampah
Pada tubuh manusia terdapat sampah yang berbahaya seperti ; feses / tinja , urine , CO2 dan keringat . Tubuh akan terancam bahaya jika mengalami sembelit yang disebabkan oleh menumpuknya sisa-sisa sari makanan / tinja di usus yang pada akhirnya akan menyebabkan tinja tersebut terserap oleh tubuh . Dengan berpuasa , yang berarti membatasi suplai makanan yang masuk ke dalam tubuh , penumpukan kotoran , racun dan sampah di dalam tubuh dapat dicegah , sehingga tubuh bersih dari racun , kotoran dan sampah .

2. Menambah jumlah sel darah putih dan meningkatkan daya tahan tubuh
Menurut hasil penelitian di universitas Osaka , jepang , pada tahun 1930 ; diketahui bahwa setelah memasuki hari ke-7 berpuasa , jumlah sel darah putih dalam darah orang-orang yang berpuasa meningkat . Pada minggu pertama (hari 1-6) berpuasa , tidak ditemukan pertumbuhan sel darah putih , tetapi pada hari 7-10 , penambahan sel darah putihnya pesat sekali . Hal ini secara otomatis meningkatkan kekebalan tubuh , oleh karena sel darah putih memang berfungsi untuk melawan peradangan yang ada dalam tubuh , sehingga banyak penyakit radang yang dapat disembuhkan dengan berpuasa .

3. Meningkatkan fungsi organ tubuh
Berpuasa berarti memberikan kesempatan interval selama kurang lebih 14 jam bagi kerja organ-organ tubuh seperti lambung , ginjal dan liver. Selama itu tubuh tidak menerima masukan makanan maupun minuman , sehingga menimbulkan efek berupa rangsangan terhadap seluruh sel , jaringan dan organ tubuh . Efek rangsangan ini akan menghasilkan , memulihkan dan meningkatkan fungsi-fungsi organ sesuai dengan fungsi normalnya.

4. Meremajakan sel-sel tubuh
Organ-organ tubuh terdiri atas jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan dari sel-sel , diantaranya adalah sel-sel darah , sel tulang , sel syaraf , sel otot dan sel lemak . Ketika kita menjalankan puasa , organ-organ tubuh berada pada posisi rileks , sehingga sel-sel tersebut memiliki kesempatan untuk memperbarui diri . Sel-sel baru terbentuk pada lapisan dalam yang kemudian mendesak sel-sel yang sudah tua untuk keluar . Sel-sel yang sudah tua ini segera mati pada saat mencapai permukaan dan kemudian mengelupas .

5. Meningkatkan fungsi susunan syaraf pusat
Seorang muslim mengawali puasa dengan niat yang ikhlas dan rela karena ALLOH swt . Dengan keikhlasan dan kepasrahan yang tulus , susunan syaraf akan berada dalam keadaan tenang , seimbang , dan rileks . Gangguan-gangguan berupa arus informasi yang dating dari dalam maupun dari luar diri orang yang sedang berpuasa , dalam bentuk emosional maupun dari godaan syetan seperti penyakit hati diantaranya riya / pamer , dendam , fitnah , dengki , takabur , dan kecil hati dapat diredam dan dikendalikan . Selain itu bulan Ramadhan merupakan bulan yang suci , bulan ketika seorang muslim cenderung menjauhkan diri dari godaan-godaan buruk dan jahat . Kondisi seperti ini dapat mengembalikan fungsi normal susunan syaraf pusat.

6. Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan
Pada hari-hari di luar Ramadhan atau pada hari dimana kita sedang tidak berpuasa , alat pencernaan di dalam tubuh bekerja ekstra keras , maka alangkah bijaknya jika kita memberikan cuti paling tidak satu bulan dalam satu tahun. Makanan yang masuk ke dalam tubuh kita memerlukan proses pencernaan kurang lebih delapan jam , yaitu 4 jam diproses di lambung dan 4 jam di usus kecil . Jika makan sahur dilakukan pukul 4 pagi berarti pukul 12 siang alat pencernaan sudah selesai bekerja . Dari pukul 12 siang sampai waktu berbuka kurang lebih selama 6 jam alat pencernaan mengalami istirahat total.

Dyspepsia atau maag merupakan gangguan yang menyerang saluran cerna bagian atas , dengan keluhan nyeri di bagian ulu hati dan merasa tidak enak di ulu hati . Penyebabnya ada banyak , tapi dapat dibagi menjadi dyspepsia fungsional dan organic . Dikatakan dyspepsia organic jika ada kelainan di saluran cerna seperti karena kanker lambung , kanker usus 12 jari dan ulkus peptikum . Sedangkan pada dyspepsia fungsional tidak ditemukan adanya kelainan organic , hanya gangguan motilitas karena stress saja . Jika dilakukan endoskopi ,pada dyspepsia fungsional tidak ditemukan kelainan , tetapi pada dyspepsia organik ditemukan adanya kelainan . Angka kejadian dyspepsia fungsional sekitar 60-70% dan organic sekitar 30-40 % ; jadi sebagian besar fungsional .

Dyspepsia fungsional terjadi karena ketidakteraturan makan , sering mengkonsumsi cemilan yang mengandung coklat , keju , lemak dan merokok sepanjang hari . Bisa karena factor stress . Nah , pada saat mereka berpuasa , maka makannya menjadi teratur , karena dia pasti akan melakukan sahur dan buka; juga menghindari cemilan tak sehat dan rokok. Selain itu , factor stressnya terkendali sehingga menjadi lebih tenang . Beberapa penelitian menunjukkan , pada kelompokyang minum obat dan berpuasa hasilnya akan lebih baik dibanding kelompok yang minum obat tetapi tidak berpuasa.
Prinsipnya , orang yang mempunyai keluhan dyspepsia fungsional malah dianjurkan untuk berpuasa . Tetapi , pada orang dengan dyspepsia organic sebelum memutuskan berpuasa hendaknya berkonsultasi dulu dengan dokter . Oleh karena , penderita dyspepsia organic pun sebenarnya masih bisa berpuasa ,tergantung kasus yang dialaminya ringan atau berat . SELAMAT BERPUASA

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers