Hukum bersedekah dari harta hasil korupsi?

Posted by newydsui Tuesday, February 22, 2011
Tanya jawab

Hukum bersedekah dari harta hasil korupsi?
Abu Hanim Az-Zahra, Lc

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Indonesia korupsi telah menjadi trend, bahkan budaya. Sehingga kita dapati hampir di setiap lembaga swasta atau negeri, baik yang bergerak di bidang sosial, pendidikan maupun bidang yang lainnya tidak luput dari kasus korupsi yang dilakukan oleh para punggawanya. Harta hasil korupsi jelas harta yang haram, karena harta tersebut didapat dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau mengkhianati amanah yang diembankan kepadanya.

Adapun menggunakannya untuk bersedekah, tidak dapat merubah setatus harta tersebut, atau sisa harta korupsi yang tidak disedekahkan. Bahkan menyedekahkannya adalah dilarang. Berdasarkan pada:

a. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqoroh : 267)

Di dalam tafsir Fathul Qadir dijelaskan dua pendapat tentang maksud dari penggalan firman Allah, “Sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”. Pendapat jumhur menyatakan, bahwa maksudnya adalah sebagian dari hasil usaha yang baik dan pilihan. Dan yang kedua adalah pendapat jama’ah bahwa maksudnya adalah penghasilan yang halal.
Imam Asy-Syaukani menambahkan bahwa kedua makna di atas benar; karena penghasilan yang baik dan pilihan menurut ahli syari’at adalah penghasilan yang halal. (Tafsir Fathul Qadir)

b. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia telah memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun : 51) dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqoroh : 172)

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh yang berambut kusut dan berdebu, orang itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata,’Wahai Allah… wahai Allah…, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi yang haram maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk berinfaq dari harta yang halal dan larangan untuk berinfaq dari harta yang tidak halal.” (Syarh Shahih Muslim)
Dari nash-nash diatas jelas bahwa amal shalehlah yang diterima Allah. Setiap amal kebaikan harus dibiayai dengan harta yang halal sepenuhnya tidak ada syubhat didalamnya karena Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik artinya orang yang berinfak dengan harta yang haram ke tempat manapun maka tidaklah ada pahala baginya terhadap apa yang telah diinfakkannya.

Bagaimana jika lembaga yang dikorup telah tiada?
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seorang muslim telah mengambil harta yang haram maka wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia mengetahui bahwa orang tersebut masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila orang tersebut sudah meninggal dunia. Dan apabila orang itu tidak diketahui kepastiannya maka hendaklah ia menunggu kehadirannya dan ketika orang itu datang maka harta dan segala keuntungan yang terkait dengan harta tersebut haruslah diberikan kepadanya.
Adapun apabila harta –haram- tersebut milik orang yang tidak diketahuinya, dan sudah ada keputus-asaan dalam mengetahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, ada ahli warisnya atau tidak maka pemilik harta yang haram ini harus mensedekahkannya, seperti menginfakkannya untuk pembangunan masjid, jembatan dan rumah sakit.

Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya yaitu bersedekah dengan harta yang haram apabila tidak diketahui pemiliknya, ahli warisnya atau adanya kesulitan untuk mengetahuinya dengan hadits daging kambing panggang dihidangkan kehadapan Rasulullah saw dan aku –sahabat-mengatakan kepadanya bahwa itu haram, dia mengatakan, “Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya.” Kemudia beliau bersabda, “Berikanlah makan para tawanan dengannya.”
Jumhur juga berdalil dengan qiyas dan mengatakan sesungguhnya harta itu berada di antara dua pilihan yaitu dimusnahkan atau dibelanjakan untuk kebaikan. Prinsipnya bahwa dibelanjakan untuk kebaikan jauh lebih utama daripada dibuang karena dengan dibuang berarti tidak mendatangkan mafaat.

Adapun diberikan kepada orang faqir atau tempat-tempat kebaikan maka akan mengandung manfaat dan memberikan manfaat bagi pemiliknya dengan pahala walaupun bukan dengan kehendaknya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,”Sesungguhnya seorang yang menanam tanaman (buah) baginya pahala pada setiap buah dan tanamannya yang diambil oleh manusia atau burung.” Dan tidak disangsikan lagi bahwa tanaman yang dimakan oleh burung itu bukanlah keinginan petani tersebut namun ia tetap mendapatkan pahala. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300)

Kesimpulannya; jika lembaga yang dikorup masih ada maka cara membersihkan diri dari dosa korupsi adalah dengen bertaubat kepada Allah dan mengembalikan harta tersebut pada lembaga terkait. Namun bila lembaga tersebut telah tiada, maka hendaknya dia bertaubat dan membersihakn diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya. Menurut jumhur ulama mensedekahkan harta haram yang sudah tidak diketahui lagi pemiliknya, meskipun sama-sama tidak mendapat pahala, mensedekahkannya lebih baik daripada membuang harta tersebut.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Tafsir Fathul Qadir, Asy-Syaukani
2. Shahih Muslim
3. Syarh Shahih Muslim
4. Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300
5. Dll

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers