Menumbuhkan Sikap Empati

Posted by newydsui Tuesday, February 22, 2011
Menumbuhkan Sikap Empati
Oleh : Qodri Fathurrohman

Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??. Untuk membunuh rasa penasaranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.
”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.

“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.
“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.

”Oh... tidak! Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”
Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”

“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”

”Yang ibuku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita, kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”

”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.
Pembaca, saya dapatkan kisah ini dalam inbox yang dikirim oleh teman saya. Penulisnya Laila Nurul Muna. Ada banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas. Anak ini memiliki rasa empati yang luar biasa buah dari tarbiyah kehidupan yang ia enyam sebelumnya. Betapa pintarnya si ibu membaca dan mempelajari peran kehidupan yang ia jalani hingga mampu membuahkan rasa empati yang luar biasa kepada sesama dan menanamkannya secara sempurna pada anaknya. Sang ibu tak takut menjadi miskin karena nasi bungkus yang ia bagikan kepada orang-orang meski jumlahnya tak sedikit.

Begitulah empati.
Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam karena kekeringan."
Itulah jangkauan empati dan kepedulian Umar bin Khattab ra. Semoga kita diberi kemudahan untuk meneladaninya? Wallahul musta’an.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers