RAJA’ BIN HAIWAH

Posted by newydsui Wednesday, February 3, 2010 0 comments

RAJA’ BIN HAIWAH

Pada masa Tabi’in ada tiga orang yang oleh orang-orang zaman itu tidak ada tandingan dan duanya.
Mereka itu adalah: Muhammad bin Sîrîn di ‘Iraq, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakr di Hijaz dan Rajâ` bin Haiwah di Syam.
Mari kita ikuti kisah orang ke-tiga dari ke-tiga orang-orang pilihan lagi berbakti tersebut, yaitu Rajâ` bin Haiwah.
Rajâ` bin Haiwah dilahirkan di Bîsân, sebuah kawasan di ranah Palestina, pada penghujung kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan atau sekitar itu.
Sejak kecil, dia sudah begitu menggebu-gebu dalam menuntut ilmu sehingga seakan ilmu telah mendapatkan ladang subur dan kosong sebagai tempat menetap di dalamnya.
Beruntung dia mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari sebagian besar parapemuka shahabat seperti Abu Sa’id al-Khudry, Abu ad-Dardâ`, Abu Umâmah, ‘Ubadah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah bin Abu Sufyân, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘آsh, an- Nawwâs bin Sam’ân dan para shahabat lainnya.

Merekalah yang menjadi lentera hidayah dan obor ilmu pengetahuan baginya.
Dia sering berkata,
“Alangkah indahnya Islam bila dihiasi dengan keimanan,
Alangkah indahnya Keimanan bila dihiasi dengan ketakwaan,
Alangkah indahnya ketakwaan bila dihiasi dengan ilmu,
Alangkah indahnya ilmu bila dihiasi dengan amal,
Dan alangkah indahnya amal bila dihiasi dengan kelemah-lembutan”

Rajâ` bin Haiwah telah beberapa kali menjadi Wazîr (menteri) bagi sebagian khalifah dari kalangan Bani Umayyah, mulai dari ‘Abdul Malik bin Marwân hingga ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.
Beliau menempati kedekatan khusus di hati para Khalifah karena ketajaman pandangannya, keikhlasan niatnya, hikmahnya di dalam menyelesaikan berbagai urusan. Kemudian hal itu semua dimahkotai oleh kezuhudannya terhadap perhiasan dunia.
Terjadi suatu kisah yang berhasil menyinari jalannya di dalam pergaulannya dengan para khalifah dan menentukan perannya bersama mereka. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Rajâ`,
“Tatkala aku berdiri bersama Sulaiman bin ‘Abdul Malik (Salah seorang khalifah Bani Umayyah) yang berada di sela-sela khalayak manusia, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki menuju ke arah kami.. Dia terus merangsak di tengah barisan. hingga ia berada sejajar denganku lalu berhenti di sampingku, kemudian memberi salam kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Rajâ`, sesungguhnya engkau telah diuji dengan orang ini –sembari menunjuk ke arah khalifah-. Sesungguhnya mendekatinya akan membuahkan kebaikan yang banyak ataupun keburukan yang banyak. Maka, jadikanlah kedekatamu itu sebagai kebaikan bagimu, baginya dan bagi manusia.

Dan ketahuilah wahai Rajâ`, siapa saja yang memiliki kedudukan di mata seorang penguasa lalu dia dapat mengangkat hajat seorang yang lemah, yang dia tidak mampu melakukannya sendiri maka kelak pada hari pertemuan dengan-Nya, dia akan bertemu dengan Allah dalam kondisi telah dimudahkan baginya menghadapi hari perhitungan.
Ingatlah wahai Rajâ`, bahwa siapa saja yang menolong hajat saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan menolong hajatnya.
wahai Rajâ`, di antara amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang Muslim.’
Dan saat aku memperhatikan ucapannya dan menunggu-nunggu dia menambah lagi nasehatnya, tiba-tiba khalifah memanggil, ‘Dimana Rajâ`?’ Lalu aku menoleh ke arahnya seraya menjawab, ‘Ini aku, wahai Amirul Mukminin.’ Kemudian dia bertanya sesuatu kepadaku dan begitu aku hampir usai menjawabnya dan menoleh lagi ke temanku tadi, aku sudah tidak mendapatinya lagi. Lantas aku berkeliling ke sana ke mari untuk mencarinya namun tidak berhasil menemukan satu jejaknya pun.

Rajâ` bin Haiwah juga memiliki beberapa sikap yang tulus bersama para khalifah Bani Umayyah yang masih terus didokumentasikan oleh sejarah dalam lembaran-lembarannya dan masih terus dinukil oleh generasi muda dari generasi tua.
Di antaranya, pada tahun 91 H, al-Walîd bin ‘Abdul Malik melakukan ibadah haji didampingi Rajâ` bin Haiwah.
Tatkala tiba di Madinah, mereka berdua mengunjungi majid Nabawi didampingi juga oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.
Nampaknya al-Walîd ingin sekali melihat ke dalam lokasi al-Haram an-Nabawy secara teliti dan seksama. Sebab, dia bertekad kuat untuk melakukan perluasan menjadi 200 hasta x 200 hasta.
Karena itu, orang-orang yang berada di dalam masjidpun dikeluarkan agar khalifah bisa mengamatinya. Tidak ada seorangpun lagi yang tersisa kecuali Sa’id bin al-Musayyab karena para penjaga tidak berani mengeluarkannya.
Lalu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengutus seseorang untuk menemuinya. Lalu dia berkata, “Sudilah kiranya tuan keluar juga dari masjid ini seperti yang dilakukan orang-orang.” “Aku tidak akan meninggalkan masjid ini kecuali pada waktu yang biasa meninggalkannya setiap harinya.” Jawab Sa’id. Lalu dia ditanyai lagi,“Sudilah kiranya tuan berdiri untuk memberi salam kepada Amirul Mukminin.” “Aku datang ke sini hanya untuk berdiri menghadap Rabb semesta ini.” Jawabnya.
Tatkala ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengetahui pembicaraan yang berlangsung antara utusannya dan Sa’id dia menjauhkan khalifah dari tempat di mana Sa’id berada. Sementara Rajâ` melengahkannya dengan pembicaraan karena kedua orang ini mengetahui benar tabi’at khalifah yang temperamental.

Al-Walîd berkata kepada keduanya, “Siapa si syaikh itu? Bukankah dia Sa’id bin al- Musayyab.?” “Benar, wahai Amirul Mukminin” Kata keduanya
Keduanya lalu menjelaskan secara panjang-lebar mengenai agama, ilmu, keutamaan dan ketakwaannya. Kemudian mereka berdua menimpali lagi, “Andaikata keduanya tahu tempat di mana Amirul Mukminin berada, tentulah dia akan bangkit dan memberi salam kepada anda namun sayang penglihatannya sudah lemah.”
“Sesungguhnya aku sudah mengetahui kondisinya sebagaimana yang kalian sebutkan itu. Karena itu, adalah lebih pantas bila kita yang mendatangi dan memberi salam kepadanya.” Kata al-Walîd
Kemudian khalifah berkeliling di seputar masjid hingga mendatanginya dan berdiri di hadapannya lalu memberi salam kepadanya seraya berkata, “Bagaimana kabarmu, wahai syaikh.?”
“Atas nikmat Allah, bagi-Nya segala pujian dan banyak pujian. Bagaimana pula kabar Amirul Mukminin? Semoga Allah memberinya taufiq terhadap hal yang dicintai dan diridlai-Nya.” Jawabnya tanpa beranjak dari tempatnya
Setelah itu, al-Walîd berpaling seraya berkata, “Inilah sisa manusia ini. Inilah sisa Salaf umat ini.”
Selamat buat seorang Wazîr yang tulus, Rajâ` bin Haiwah… Dia telah melakukan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya dan pemimpin kaum Muslimin.

CATATAN:
Sebagai bahan rujukan mengenai biografi Rajâ` bin Haiwah, silahkan baca,
 ath-Thabaqât al-Kubra, karya Ibnu Sa’d, Jld.V, h. 335-339; 395,407
 Shifah ash-Shafwah, karya Ibn al-Jawziy, jld.IV, h.213
 Hilyah al-Awliyâ`, karya al-Ashfahaniy, Jld.V, h.315-316
 al-Bayân Wa at-Tabyîn, karya al-Jahizh, Jld. I, h.397; II, h.107-322
 Tahdzîb at-Tahdzîb, karya Ibn Hajar, Jld.III, h.265
 Târîkh ath-Thabariy, karya Ibn Jarîr ath-Thabariy, Jld.VI, h.365-370
 Wafayât al-A’yân, karya Ibn Khalakân, Jld.I, h.430; II, h.301-303; VII, h.316..
 Târîkh Khalîfah, karya Ibn Khayyâth, h. 357
 al-Iqd al-Farîd, karya Ibn ‘Abd Rabbih, Jld.II, h.50, 82, 235; III, h.86, 105, 306;
IV, h. 156,219; V, h.139, 166; VII, h.96
 at-Tamtsîl Wa al-Muhâdlarah, karya ats-Tsa’labiy, h. 171.

Kerjakan Yang Diperintah, Tinggalkan Yang Dilarang
Tafsir QS. Al-Hasyr: 7

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, mka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…”

Sebab turunnya ayat ini
Para Mufassirin seperti Imam Ath-Thabari, Imam Ibnu Katsir –rahimahumallah- dan yang lainnya berkata, “Bahwa ayat ini turun berkaitan dengan masalah pembagian fa`i (harta rampasan perang). Yaitu, apa saja dari harta rampasan perang yang telah diberikan Rasulullah kepadamu, maka ambillah bagianmu itu (sekalipun kamu tidak menyenanginya), dan apa saja dari harta rampasan perang yang tidak diberikan kepadamu, maka janganlah engkau mengambilnya (sekalipun ia amat engkau sukai dan inginkan).”
Hal ini menunjukkan ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan siapa yang mentaati beliau berarti telah mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya siapa yang bermaksiat kepada beliau, berarti pula telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pada hakikatnya, keputusan Rasulullah adalah keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa mentaatiku, maka sunggu dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang mentaati pemimpinnya (amirnya), maka sungguh dia telah mentaati ku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpinnya, maka sungguh dia telah bermaksiat kepadaku. Hanyasanya pemimpin (kalian itu) adalah ibarat perisai. Berperang dan bersembunyi (berlindung) di belakangnya. Jika pemimpin (kalian itu) menyuruh untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat adil, maka baginya pahala. Adapun jika menyurh kepada selain itu, maka baginya juga adalah dosa.” (HR. Al-Bukhari, no. 2957).

Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Maksudnya adalah apa saja yang diperintahkan oleh Rasulullah kepadamu, maka kerjakanlah. Dan apa saja yang dilarangnya kepadamu, maka jauhilah. Karena sesungguhnya, yang diperintahkan oleh Rasulullah adalah kebaikan, dan yang dilarang olehnya adalah keburukan.”

Dari Imam Masruq –rahimahullah- berkata, “Seorang wanita datang kepada shahabat Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- seraya berkata, ‘Telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau telah melarang tatto dan menyambung rambut, apakah engkau telah mendapatkan larangan itu di dalam Kitab Allah atau dari Sunnah Rasulullah.’ Abdulullah bin Mas’ud menjawab, ‘Ya, saya telah mendapatkannya.’ Wanita tersebut berkata, ‘Demi Allah, aku telah membuka lembaran-lembarang Al-Qur’an, namun aku tidak menemukan larangan tersebut.’ Kemudian Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Adapun aku mendapatkannya dalam firman Allah, ‘…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, mka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…’ Wanita tersebut berkata, ‘Ya.’ Abdullah bin Mas’ud kemudian melanjutkan, dan sungguh aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau melarang dari tatto, menyambung rambut, dan mencukur alis mata.’

Wanita itu kemudian berkata, ‘Aku menduga, hal itu pada keluargamu.’ Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Silahkan masuk ke dalam rumahku, dan cobalah lihat apakah ada dari keluargaku yang melakukan demikian.’ Kemudian wanita tersebut masuk ke dalam rumahnya, melihat, dan kemudian keluar seraya berkata, ‘Aku rasa tidak ada yang dikhawatirkan (maksudnya wanita tersebut tidak mendapatkan anggota keluarga Abdullah bin Mas’ud ada yang melakukannya).’
Kemudian Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu berkata kepada wanita tersebut, ‘Adapun aku telah menjaga wasiat dari seorang hamba Allah yang shalih (Nabi Syu’aib -‘Alaihissalam-) ketika dia berkata, ‘…dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang…’ (QS. Huud: 88).

Hancurnya Umat Terdahulu Karena Banyak Bertanya dan Menyelisi Nabi Mereka
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apa yang aku larang kalian darinya, jauhilah, sedangkan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah dengan semampu kalian. Sesungguhnya, yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian tidak lain banyaknya mereka bertanya dan menyelisihi Nabi-Nabi mereka’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (Halaman 138-140 al-Muntaqa), “Hadits ini berisi larangan bertanya masalah-masalah yang tidak diperlukan dan jawabannya dapat merugikan si penanya sendiri. Misalnya pertanyaan, Apakah ia berada dalam Neraka ataukah dalam Surga? Apakah yang dinisbatkan kepadanya itu benar ayahnya ataukah orang lain? Dan juga larangan bertanya untuk menentang, bercanda atau memperolok-olok, seperti yang sering dilakukan oleh kaum munafikin dan lainnya. Mirip dengannya adalah mempertanyakan ayat-ayat Al-Qur`an dan memprotesnya untuk menentangnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin dan Ahli Kitab. ‘Ikrimah dan ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan masalah ini. Dan hampir mirip dengannya adalah bertanya tentang perkara-perkara yang Allah sembunyikan atas makhluk-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka. Seperti bertanya tentang bila terjadi hari Kiamat dan tentang ruh.”

Hadits tersebut juga berisi larangan banyak bertanya tentang sejumlah besar masalah halal dan haram yang dikhawatirkan pertanyaan tersebut menjadi sebab turunnya perkara yang lebih berat lagi. Misalnya bertanya tentang sejumlah besar perkara halal dan haram yang bisa menjadi turunnya perkara yang lebih berat dari sebelumnya. Misalnya bertanya tentang kewajiban haji, apakah wajib dikerjakan setiap tahun ataukah tidak?
Semua itu menunjukan makruh dan tercelanya banyak bertanya. Namun sebagian orang beranggapan bahwa larangan itu khusus bagi orang-orang yang hidup zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena dikhawatirkan akan diharamkan perkara yang belum diharamkan atau diwajibkan perkara yang sulit dikerjakan. Namun setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat kekhawatiran itu telah sirna. Namun perlu diketahui bahwa bukan itu saja sebab larangan banyak bertanya. Ada sebab lainnya, yaitu menunggu turunnya ayat-ayat Al-Qur`an, karena tidak satupun perkara yang ditanyakan melainkan telah didapati penjelasannya dalam Al-Qur`an.

Maknanya, seluruh perkara yang dibutuhkan kaum Muslimin yang berkaitan dengan agama mereka pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan pasti telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu tidak ada keperluan bagi seseorang untuk menanyakannya lagi. Sebab Allah Mahatahu apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, Mahatahu apa yang menjadi hidayah dan manfaat bagi mereka. Allah pasti telah menjelasakannya kepada mereka sebelum mereka menanyakannya. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan dalam firman-Nya, “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat,” (QS. An-Nisaa`: 176).

Maka dari itu, tidak perlu lagi menanyakan, apalagi menanyakannya sebelum terjadi dan sebelum dibutuhkan. Namun kebutuhan yang penting sekarang ini adalah memahami apa yang telah dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kemudian mengikuti dan mengamalkannya. Wallahu A’lamu bish Shawab.

Reference:
1. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ath-Thabari.
2. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir.
3. Jami’ul Ulum wal Hikam, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali.
4. Dan lain-lain.

Israel Buka Pintu Bendungan, Gaza Kebanjiran

Israel kembali berulah, mereka membuka salah satu dari pintu bendungan di bagian timur Jalur Gaza, membuat wilayah Gaza mengalami kebanjiran dan menyebabkan beberapa rumah penduduk Gaza mengalami kerusakan. Otoritas Israel membuka salah satu pintu bendungan tanpa koordinasi dan peringatan sebelumnya dengan otoritas lokal di Gaza, Senin (18/1/2010).
Dalam beberapa hari terakhir hujan lebat terus mengguyur daratan Palestina. Ototritas Israel tidak mampu menampung curahan air hujan yang melimpah dan mereka membuka salah satu pintu bendungan tanpa memberikan peringatakan sebelumnya. Karena Gaza berada di lokasi yang lebih rendah, air tersebut mengalir menuju Gaza membanjiri dua desa dan menyebabkan ratusan keluarga harus mengungsi.
Penduduk lokal mengatakan, ini adalah peristiwa kesekian kalinya, otoritas Israel sering membuka pintu bendungan yang menyebabkan banjir di daratan Gaza. Air tersebut membanjiri desa Johr al-Deek dan beberapa bagian di tenggara Gaza. Lembah Gaza memiliki panjang sekitar 8 Km yang dimulai dari timur perbatasan Gaza dengan Israel dan berakhir di lautan Mediterania.
Tim penyelamat menggunakan kapal-kapal kecil untuk mengevakuasi korban yang terjebak banjir. Banjir ini semakin membuat sulit kehidupan penduduk Gaza karena hingga saat ini, Israel masih memblokade Gaza. (roy/arrahmah.com)

Prancis Akan Denda Pengguna Cadar


Langkah diskriminasi muslim di Prancis semakin menjadi-jadi. Setelah melarang penggunaan jilbab dan cadar di sekolah dan tempat-tempat umum, partai yang kini tengah berkuasa bersiap untuk membuat draft aturan pelarangan cadar di seluruh wilayah negeri Eropa tersebut. "Proposal yang diajukan akan melarang penutup wajah di tempat umum dan di jalan," ujar Jean-François Cope, pimpinan partai yang menguasai parlemen Union of a Popular Movement (UMP) kepada Le Figaro dalam sebuah wawancara, Jumat 8 Januari.
Di bawah aturan baru tersebut, denda sebesar 750 euro akan dijatuhkan bagi orang yang menggunakan penutup wajah di tempat umum. "Ada beberapa pengecualian, seperti karnaval, namun kami belum menulis draftnya," tambah Jean. Jika disetujui parlemen, aturan aneh tersebut akan dijalankan secara bertahap.
Selain itu, dalam peraturan tersebut juga menampilkan aturan kaku yakni memberikan hukuman bagi suami yang memaksa istri atau anak perempuannya mengenakan cadar. "Mengenakan baju yang menutup seluruh tubuh adalah ekstrimis yang ingin menguji republik ini," sinis Jean.
Banyak politisi yang memperingatkan bahwa aturan tersebut nantinya sulit untuk dijalankan dan mendapat tentangan di pengadilan HAM Eropa. Pada tahun 2004, pemerintah Prancis telah melakukan pelarangan penggunaan jilbab di sekolah negeri dan sejumlah tempat umum, yang kemudian ditiru negara Eropa lainnya.
[muslimdaily.net/Roy]

MAKNA, SYARAT DAN KONSEKUENSI SYAHADAT MUHAMMADUR RASULULLAH

Oleh : Hammad

Makna Syahadat Rosul
Makna dari syahadat anna Muhammadar rasulullah adalah mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau adalah hamba dan utusan-Nya yang ditujukan kepada segenap umat manusia dan harus disertai sikap tunduk melaksanakan syari’at beliau yaitu dengan membenarkan sabdanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunannya.
Allah Ta'ala berfirman :"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian ikuti para wali selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran. ( Al A'raaf : 3 )
Allah Ta'ala berfirman :"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." ( An-Nisa': 65 )

Allah Ta'ala berfirman :"Tidaklah sepantasnya bagi seorang yang beriman baik laki-laki maupun wanita, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata. " ( Al Ahzab : 36 )

Syarat Syahadat Rosul
• Menjunjung tinggi sabdanya di atas semua ucapan manusia dan mengamalkan sunah/tuntunannya
Setelah kita mengetahui makna yang terkandung dalam syahadat rosul, maka harus di ikuti dengan memahami syarat-syarat yang dengannya menjadi benar dan bernilai syahadat tersebut.

1. Mengakui risalah yang dibanwanya dan meyakini secara lahir dan bathin di dalam hati.
2. Mengucapkan ( persaksian ) itu dan mengakuinya secara jelas dengan lisan. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta'ala :
"Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu..." ( Al-Hujuraat : 15 )
Allah Ta'ala juga berfirman :"Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan haq (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus." ( Al-Baqarah : 252 )

3. Mengikutinya dengan mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan kebathilan yang beliau larang.
Allah Ta'ala berfirman : "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian." Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( Ali Imron : 31 )
Allah Ta'ala berfirman :
"...dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Ku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi ..." ( Al A'raaf : 156 - 157 )
Allah Ta'ala berfirman :
" ........maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya
kamu mendapat petunjuk." ( Al A'raaf : 158 )

4. Membenarkan berita-berita yang bawa baik berupa perintah, larangan, maupun perkara-perkara ghoib yang telah lalu maupun yang akan dating.
Allah Ta'ala berfirman :
"Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. ...." ( Al-Hasyr : 71 )
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyalloohu 'anhu dia berkata : " Rasulullooh saw bersabda "....Tidaklah kalian percaya kepadaku sedangkan aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di atas langit ? Berita langit mendatangiku setiap pagi dan sore..." ( Riwayat Bukhori " 4094 dan Muslim : 1064 )
5. Mencintai beliau lebih dari kecintaan kepada diri sendiri, harta, orang tua, anak dan manusia seluruhnya.
Dari Anas bin Malik Radhiyalloohu 'anhu, dia berkata : " Rasulullooh saw bersabda : " Tidaklah beriman seseorang hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia." ( Riwayat Bukhori : 15, Muslim : 44 )
Dari Abu Hurairah Radhiyalloohu 'anhu, bahwasanya , Rasulullooh saw bersabda : " Maka demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidak lah beriman seseorang hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya dan anaknya." ( Riwayat Bukhori : 14 )
Dari Abdulloh bin Hisyam radhiyallohu 'anhu, dia berkata : " Dulu kami pernah bersama Nabi saw dalam keadaan beliau memegang tangan Umar bin Khoththob radhiyalloohu 'anhu. Lalu Umar berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih kucintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri." Maka Nabi saw bersabda : " Tidak ( tidak benar kecintaanmu kepadaku ), demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, hingga aku lebih kau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berkata kepada beliau saw : " Sekarang demi Allah, sungguh engkau lebih kucintai daripada diriku sendiri." lalu Nabi Shollalloohu 'alaihi wa Sallam bersabda : " Sekarang wahai Umar ( telah benar kecintaanmu kepadaku-pent ) !" (Riwayat Bukhori : 6257 )

6. Mendahulukan ucapan beliau Shollalloohu 'alaihi wa Sallam diatas ucapan siapapun dari kalangan manusia dan mengamalkan sunnah atau ajaran beliau.
Allah Ta'ala berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." ( Al-Hujuraat : 1 )

7. Mengagungkan, memuliakan dan menghormati beliau Shollalloohu 'alaihi wa Sallam dan yang dibawa oleh beliau saw dari sisi Allah yaitu Kitab dan Sunnah yang suci. Hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan mengamalkan keduanya dan mencintai keduanya lebih dari kecintaan kepada diri sendiri.

Allah Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menta'zirnya ( mengagungkannya ) dan mentauqirnya ( memuliakannya ) ...." ( Al-Fath : 8 - 9 )

Rukun Syahadat Rosul

Sedangkan rukun syahadat anna Muhammad rasulullah ada dua yaitu ; pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah dan sebagai rasul-Nya. Beliau adalah hamba, maka tidak boleh diibadahi dan diperlakukan secara berlebihan. Dan beliau adalah rasul maka tidak boleh didustakan ataupun diremehkan. Beliau membawa berita gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia.

Konsekuensi Syahadat Rosul

Sedangkan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah mentaati Nabi, membenarkan sabdanya, meninggalkan larangannya, beramal dengan sunnahnya dan meninggalkan bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan siapapun. Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-orang yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada tuntunannya.

Rujukan :
Kitab Tauhid, Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan
Al-Qoulul Mufid, Asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab al-Wushobiy

KEJAHATAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
Bagian 2

Pada edisi sebelumnya kita sudah membahas bagaimana kasih sayang Rosulullah kepada anak-anak, seperti Hasan, Husain, Usamah bin Zaid dan beberapa anak yang lain. Sudah kita sebut juga satu kejahatan orang tua kepada anak yang sering terjadi yaitu memaki dan menghina anak. Dan pada edisi kali ini kami akan melanjutkan pembahasan kejahatan orang tua terhadap anak.

Melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.

Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).

Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)

Mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.

Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”

Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.

Tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

Perhatian, itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.

Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agama dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya tata cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).

Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. Bersabda “tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Kita berlindung kepada Allah dari sifat-sifat buruk diatas. Amin.

Fatwa Tentang Hukum Perayaan Maulid Nabi

Pertanyaan :
Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban :
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam ke-sembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua: Dipandang dari segi syar’iat, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikannya kepada ummatnya, dan seandainya beliau melakukan dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah telah berfirman,
{ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ} ]سورة الحجر: 9[.
"Sesungguhnya Kami-lah yang menururnkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al-Hijr: 9)

Karena tidak demikian, maka diketahui perayaan (maulid) itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah karena kita melakukan sesuatu dalam agama-Nya yang tidak berasal dari-Nya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku." (Al-Maaidah: 3)
Kami katakan: Perayaan (maulid) ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah telah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu".
Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya. Mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama, karena mengandung kecenderungan terhadap syariatnya. Jadi perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, maka sama sekali tidak boleh mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya dalam rangka ibadah. Jadi, perayaan hari kelahiran (maulid) ini adalah bid’ah dan haram.

Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemunkaran-kemunkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama dari Allah. Na’udzubillah.

Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu kalimat bacaannya itu sampai kepada kalimat “wulida al-musthafa” mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka tidak termasuk adab, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang mencintai dan memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khayalan mereka seperti itu?

Bid’ah ini — yaitu bid’ah maulid— terjadi setelah berlalunya tiga generasi yang utama (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien; red) dan di dalam bid’ah maulid itu terjadi apa yang mengiringinya berupa perkara-perkara yang munkar (buruk) yang aslinya di dalam agama tidak ada, di samping itu ada pula di dalam perayaan maulid itu ikhtilath (campur aduk) antara lelaki dan perempuan, dan kemunkaran-kemunkaran lainnya.
Majmu’ Fatawa dan Rasaail Ibn ‘Utsaimin, juz 2 halaman 231

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers