RAJA’ BIN HAIWAH

Posted by newydsui Wednesday, February 3, 2010
RAJA’ BIN HAIWAH

Pada masa Tabi’in ada tiga orang yang oleh orang-orang zaman itu tidak ada tandingan dan duanya.
Mereka itu adalah: Muhammad bin Sîrîn di ‘Iraq, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakr di Hijaz dan Rajâ` bin Haiwah di Syam.
Mari kita ikuti kisah orang ke-tiga dari ke-tiga orang-orang pilihan lagi berbakti tersebut, yaitu Rajâ` bin Haiwah.
Rajâ` bin Haiwah dilahirkan di Bîsân, sebuah kawasan di ranah Palestina, pada penghujung kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan atau sekitar itu.
Sejak kecil, dia sudah begitu menggebu-gebu dalam menuntut ilmu sehingga seakan ilmu telah mendapatkan ladang subur dan kosong sebagai tempat menetap di dalamnya.
Beruntung dia mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari sebagian besar parapemuka shahabat seperti Abu Sa’id al-Khudry, Abu ad-Dardâ`, Abu Umâmah, ‘Ubadah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah bin Abu Sufyân, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘آsh, an- Nawwâs bin Sam’ân dan para shahabat lainnya.

Merekalah yang menjadi lentera hidayah dan obor ilmu pengetahuan baginya.
Dia sering berkata,
“Alangkah indahnya Islam bila dihiasi dengan keimanan,
Alangkah indahnya Keimanan bila dihiasi dengan ketakwaan,
Alangkah indahnya ketakwaan bila dihiasi dengan ilmu,
Alangkah indahnya ilmu bila dihiasi dengan amal,
Dan alangkah indahnya amal bila dihiasi dengan kelemah-lembutan”

Rajâ` bin Haiwah telah beberapa kali menjadi Wazîr (menteri) bagi sebagian khalifah dari kalangan Bani Umayyah, mulai dari ‘Abdul Malik bin Marwân hingga ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.
Beliau menempati kedekatan khusus di hati para Khalifah karena ketajaman pandangannya, keikhlasan niatnya, hikmahnya di dalam menyelesaikan berbagai urusan. Kemudian hal itu semua dimahkotai oleh kezuhudannya terhadap perhiasan dunia.
Terjadi suatu kisah yang berhasil menyinari jalannya di dalam pergaulannya dengan para khalifah dan menentukan perannya bersama mereka. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Rajâ`,
“Tatkala aku berdiri bersama Sulaiman bin ‘Abdul Malik (Salah seorang khalifah Bani Umayyah) yang berada di sela-sela khalayak manusia, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki menuju ke arah kami.. Dia terus merangsak di tengah barisan. hingga ia berada sejajar denganku lalu berhenti di sampingku, kemudian memberi salam kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Rajâ`, sesungguhnya engkau telah diuji dengan orang ini –sembari menunjuk ke arah khalifah-. Sesungguhnya mendekatinya akan membuahkan kebaikan yang banyak ataupun keburukan yang banyak. Maka, jadikanlah kedekatamu itu sebagai kebaikan bagimu, baginya dan bagi manusia.

Dan ketahuilah wahai Rajâ`, siapa saja yang memiliki kedudukan di mata seorang penguasa lalu dia dapat mengangkat hajat seorang yang lemah, yang dia tidak mampu melakukannya sendiri maka kelak pada hari pertemuan dengan-Nya, dia akan bertemu dengan Allah dalam kondisi telah dimudahkan baginya menghadapi hari perhitungan.
Ingatlah wahai Rajâ`, bahwa siapa saja yang menolong hajat saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan menolong hajatnya.
wahai Rajâ`, di antara amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang Muslim.’
Dan saat aku memperhatikan ucapannya dan menunggu-nunggu dia menambah lagi nasehatnya, tiba-tiba khalifah memanggil, ‘Dimana Rajâ`?’ Lalu aku menoleh ke arahnya seraya menjawab, ‘Ini aku, wahai Amirul Mukminin.’ Kemudian dia bertanya sesuatu kepadaku dan begitu aku hampir usai menjawabnya dan menoleh lagi ke temanku tadi, aku sudah tidak mendapatinya lagi. Lantas aku berkeliling ke sana ke mari untuk mencarinya namun tidak berhasil menemukan satu jejaknya pun.

Rajâ` bin Haiwah juga memiliki beberapa sikap yang tulus bersama para khalifah Bani Umayyah yang masih terus didokumentasikan oleh sejarah dalam lembaran-lembarannya dan masih terus dinukil oleh generasi muda dari generasi tua.
Di antaranya, pada tahun 91 H, al-Walîd bin ‘Abdul Malik melakukan ibadah haji didampingi Rajâ` bin Haiwah.
Tatkala tiba di Madinah, mereka berdua mengunjungi majid Nabawi didampingi juga oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.
Nampaknya al-Walîd ingin sekali melihat ke dalam lokasi al-Haram an-Nabawy secara teliti dan seksama. Sebab, dia bertekad kuat untuk melakukan perluasan menjadi 200 hasta x 200 hasta.
Karena itu, orang-orang yang berada di dalam masjidpun dikeluarkan agar khalifah bisa mengamatinya. Tidak ada seorangpun lagi yang tersisa kecuali Sa’id bin al-Musayyab karena para penjaga tidak berani mengeluarkannya.
Lalu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengutus seseorang untuk menemuinya. Lalu dia berkata, “Sudilah kiranya tuan keluar juga dari masjid ini seperti yang dilakukan orang-orang.” “Aku tidak akan meninggalkan masjid ini kecuali pada waktu yang biasa meninggalkannya setiap harinya.” Jawab Sa’id. Lalu dia ditanyai lagi,“Sudilah kiranya tuan berdiri untuk memberi salam kepada Amirul Mukminin.” “Aku datang ke sini hanya untuk berdiri menghadap Rabb semesta ini.” Jawabnya.
Tatkala ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengetahui pembicaraan yang berlangsung antara utusannya dan Sa’id dia menjauhkan khalifah dari tempat di mana Sa’id berada. Sementara Rajâ` melengahkannya dengan pembicaraan karena kedua orang ini mengetahui benar tabi’at khalifah yang temperamental.

Al-Walîd berkata kepada keduanya, “Siapa si syaikh itu? Bukankah dia Sa’id bin al- Musayyab.?” “Benar, wahai Amirul Mukminin” Kata keduanya
Keduanya lalu menjelaskan secara panjang-lebar mengenai agama, ilmu, keutamaan dan ketakwaannya. Kemudian mereka berdua menimpali lagi, “Andaikata keduanya tahu tempat di mana Amirul Mukminin berada, tentulah dia akan bangkit dan memberi salam kepada anda namun sayang penglihatannya sudah lemah.”
“Sesungguhnya aku sudah mengetahui kondisinya sebagaimana yang kalian sebutkan itu. Karena itu, adalah lebih pantas bila kita yang mendatangi dan memberi salam kepadanya.” Kata al-Walîd
Kemudian khalifah berkeliling di seputar masjid hingga mendatanginya dan berdiri di hadapannya lalu memberi salam kepadanya seraya berkata, “Bagaimana kabarmu, wahai syaikh.?”
“Atas nikmat Allah, bagi-Nya segala pujian dan banyak pujian. Bagaimana pula kabar Amirul Mukminin? Semoga Allah memberinya taufiq terhadap hal yang dicintai dan diridlai-Nya.” Jawabnya tanpa beranjak dari tempatnya
Setelah itu, al-Walîd berpaling seraya berkata, “Inilah sisa manusia ini. Inilah sisa Salaf umat ini.”
Selamat buat seorang Wazîr yang tulus, Rajâ` bin Haiwah… Dia telah melakukan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya dan pemimpin kaum Muslimin.

CATATAN:
Sebagai bahan rujukan mengenai biografi Rajâ` bin Haiwah, silahkan baca,
 ath-Thabaqât al-Kubra, karya Ibnu Sa’d, Jld.V, h. 335-339; 395,407
 Shifah ash-Shafwah, karya Ibn al-Jawziy, jld.IV, h.213
 Hilyah al-Awliyâ`, karya al-Ashfahaniy, Jld.V, h.315-316
 al-Bayân Wa at-Tabyîn, karya al-Jahizh, Jld. I, h.397; II, h.107-322
 Tahdzîb at-Tahdzîb, karya Ibn Hajar, Jld.III, h.265
 Târîkh ath-Thabariy, karya Ibn Jarîr ath-Thabariy, Jld.VI, h.365-370
 Wafayât al-A’yân, karya Ibn Khalakân, Jld.I, h.430; II, h.301-303; VII, h.316..
 Târîkh Khalîfah, karya Ibn Khayyâth, h. 357
 al-Iqd al-Farîd, karya Ibn ‘Abd Rabbih, Jld.II, h.50, 82, 235; III, h.86, 105, 306;
IV, h. 156,219; V, h.139, 166; VII, h.96
 at-Tamtsîl Wa al-Muhâdlarah, karya ats-Tsa’labiy, h. 171.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers