Fatwa Tentang Hukum Perayaan Maulid Nabi
Pertanyaan :
Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban :
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam ke-sembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua: Dipandang dari segi syar’iat, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikannya kepada ummatnya, dan seandainya beliau melakukan dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah telah berfirman,
{ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ} ]سورة الحجر: 9[.
"Sesungguhnya Kami-lah yang menururnkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al-Hijr: 9)
Karena tidak demikian, maka diketahui perayaan (maulid) itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah karena kita melakukan sesuatu dalam agama-Nya yang tidak berasal dari-Nya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku." (Al-Maaidah: 3)
Kami katakan: Perayaan (maulid) ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah telah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu".
Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya. Mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama, karena mengandung kecenderungan terhadap syariatnya. Jadi perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, maka sama sekali tidak boleh mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya dalam rangka ibadah. Jadi, perayaan hari kelahiran (maulid) ini adalah bid’ah dan haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemunkaran-kemunkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama dari Allah. Na’udzubillah.
Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu kalimat bacaannya itu sampai kepada kalimat “wulida al-musthafa” mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka tidak termasuk adab, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang mencintai dan memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khayalan mereka seperti itu?
Bid’ah ini — yaitu bid’ah maulid— terjadi setelah berlalunya tiga generasi yang utama (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien; red) dan di dalam bid’ah maulid itu terjadi apa yang mengiringinya berupa perkara-perkara yang munkar (buruk) yang aslinya di dalam agama tidak ada, di samping itu ada pula di dalam perayaan maulid itu ikhtilath (campur aduk) antara lelaki dan perempuan, dan kemunkaran-kemunkaran lainnya.
Majmu’ Fatawa dan Rasaail Ibn ‘Utsaimin, juz 2 halaman 231
0 comments