Thawus bin Kaisan
Tak kenal kompromi dengan penguasa
Di tengah bertaburnya lima puluh bintang hidayah yang bersinar terang (yakni para sahabat), maka terkumpullah cahaya terang pada dirinya. Cahaya di hatinya, cahaya di lidahnya, dan cahaya di depan matanya.
Di bawah bimbingan lima puluh ulama alumnus madrasah Muhammad maka Thawus seakan menjelma menjadi duplikat bagi para sahabat Rasulullah saw. dalam kemantapan iman, kejujuran kata-kata, kezuhudan dan terhadap dunia dan keberanian dalam menyerukan kalimat yang benar kendati harus ditebus dengan harga yang mahal.
Madrasah Muhammadiyah (pengikut Muhammad) mengajarkan kepadanya bahwa agama adalah nasihat. Nasihat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.
Fakta menjadi bukti baginya bahwa kebaikan secara total dapat terwujud bila dimulai dari penguasa. Bila baik pemimpinnya baik pula umatnya. Bila rusak pemimpinnya, rusak pula rakyatnya.
Begitulah sekilas tentang Dzakhwan bin Kaisan yang mendapat julukan Thawus (burung merak) karena dia laksana thawus bagi para fuqaha dan para pemuka pada masanya. Thawus bin Kaisan adalah penduduk Yaman, gubernur negerinya saat itu adalah Muhammad bin Yusuf Ats-Tsaqafi, saudara dari Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj menempatkan saudaranya itu sebagai wali setelah kekuatannya menguat dan pamornya melejit, terutama sejak ia mampu membendung gerakan Abdullah bin Zubair.
Muhamad bin Yusuf banyak mewarisi sifat jahat saudaranya, Hajjaj bin Yusuf, namun tak sedikit juga kebaikan Hajjaj yang diambilnya.
Suatu hari di musim dingin, Thawus bin Kaisan dan Wahab bin Munabbih mendatangi Muhammad bin Yusuf. Setelah duduk di hadapan wali itu, Thawus memberikan nasihat panjang lebar, berupa anjuran dan juga ancaman. Sementara itu orang-orang duduk di depan amirnya.
Ketika itu gubernur berkata kepada pembantunya, “Ambilkan seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal lalu letakkan di bahu Abdurrahman (panggilan lain Dzakhwan bin Kaisan).” Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. Dia mengambil seperangkat pakaian berwarna hijau yang mahal lalu meletakkannya di atas bahu Thawus.
Akan tetapi, Thawus terus saja melanjutkan nasihatnya. Di tengah ia berbicara, sesekali diselingi dengan menggoyang bahunya secara halus hingga akhirnya jatuhlah pakaian tersebut. Setelah itu ia berdiri dan beranjak dari tempat itu.
Muhammad bin Yusuf tersinggung melihat hal tersebut. Wajah dan matanya berangsur memerah, namun dia tidak berkata apa-apa. Sementara itu, Thawus dan Wahab bin Munabbih berada di luar majelis, Wahab berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita tidak perlu membuat dia marah kepada kita. Apa salahnya bila Anda menerima pakaian tadi kemudian Anda jual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin?”
Thawus berkata, “Apa yang Anda katakan memang benar jika aku tidak mengkhawatirkan para ulama setelah kita berkata, ‘Kami akan mengambil seperti Thawus bin Kaisan,’ (yakni menerima pemberian penguasa), akan tetapi mereka tidak melakukan seperti yang Anda ucapkan.” (yakni menjual dan menyedekahkan kepada fakir miskin).
Seakan Muhammad bin Yusuf ingin membalas perlakuan Thawus bin Kaisan yang keras seperti batu itu dengan segala cara. Dia menyiapkan perbendaharaan hartanya lalu mengutus seorang kepercayaannya membawa satu pundi berisi 700 dinar emas, lalu dia berkata, “Berikan bingkisan ini kepada Thawus dan usahakan supaya dia menerimanya. Bila engkau berhasil aku sediakan untukmu hadiah yang berharga.”
Utusan itu pun berangkat dengan membawa hadiah tersebut ke tempat kediaman Thawus di sebuah desa di dekat Shan’a yang disebut dengan Al-Janad. Di rumah Thawus, setelah berbincang-bincang sejenak, utusan itu berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ini ada nafkah dari amir untuk Anda.” Thawus menjawab, “Maaf, saya tidak memerlukan itu.” Utusan itu mencoba merayu dengan segala cara namun dia menolaknya, berdalih dengan segala argumen dia pun tetap menampiknya.
Akhirnya tak ada jalan lain bagi utusan itu selain mencari kesempatan lengahnya. Secara diam-diam dia taruh pundi-pundi itu di salah satu sudut rumah Thawus. Setelah itu dia pun kembali dan melapor kepada amir, “Wahai amir, Thawus telah menerima pundi-pundi itu.” Betapa senangnya amir mendengar berita itu, namun dia tidak berkomentar sedikitpun.
Beberapa hari kemudian dia mengutus dua orang dan diikuti pula utusan yang membawakan hadiah untuk Thawus tempo hari. Amir memerintahkan agar keduanya mengtakan kepada Thawus, “Utusan Thawus dahulu keliru menyerahkan harta itu kepada Anda. Sebenarnya harta itu untuk orang lain. Sekarang kami datang untuk menariknya kembali dan menyampaikannya kepada orang-orang yang benar.” Thawus menjawab, “Aku tidak menerima apa-apa dari amir, apa yang harus aku kembalikan?” Kedua pengawal itu bersikeras, “Anda telah menerimanya.”
Thawus menoleh kepada utusan gubernur dan bertanya, “Benarkah aku telah menerima sesuatu darimu?” Utusan itu gemetar karena takut lalu menjawab, “Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda.”
Thawus berkata, “Coba lihatlah di tempat tersebut!”
Kedua pengawal itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi-pundi yang berisi uang itu masih utuh seperti semula. Keduanya harus menyibak sarang laba-laba untuk mengambilnya lalu dikembalikanlah uang itu kepada gubernur.
Abdullah bin Thawus berkisah, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.
Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan shalat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak biacara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Begitu pula ketika dia mencoba dari arah kiri.
Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, ‘Mungkin ayah tidak mengenal Anda.’ Dia berkata, ‘Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi…’
Sesampainya di rumah ayah berkata, ‘Sungguh dungu kalian! Bila jauh kalian selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dinamakan kemunafikan?’.”
Sumber : http://www.alislamu.com
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 241-247.
0 comments