Say ‘Good Bye’ For TV

Posted by newydsui Tuesday, January 12, 2010
Say ‘Good Bye’
For TV
Oleh : Ummu Hanan Dzakiya

Sore itu kulihat raut kebosanan menyelimuti wajah sulungku. Berawal dari percakapan ringan sepulang sekolah, sulungku kembali menanyakan pertanyaan yang sama setiap harinya ‘Mi, Abi sudah ngopikan film buatku?’ Aku masih menanggapi biasa, berusaha memberinya kenyamanan, “Wah, Umi nggak tahu le, tadi umi nggak nanya, mungkin abi sudah mempersiapkan sesuatu yang special untukmu.”

“Apa Mi, film baru ya?
“Ya… kalau nggak film ya game kali!”
Seperti bisa kutebak ia terpekik riang menyulutkan kegembiraan tiada kira meski semua baru taraf kemungkinan. “Yes…yes…yes.” Serunya. (kasihan kamu nak….batinku)
Sesampainya di rumah ia hempaskan tasnya, ia lemparkan sepatunya dan enggan mengganti baju seragamnya sembari teriak-teriak demi mendengar kelitan abinya ketika ia tagih janjinya pagi tadi. Abinya nggak sempat menyambangi rental CD ataupun mampir ke warnet sekedar untuk mengcopikan film anak-anak yang mendidik, karena pekerjaannya yang memang menumpuk.

Peristiwa ini seakan memberikan cambuk tersendiri buatku, setelah setahun ini kuputuskan talak tiga dengan televisi. Pikiranku menerawang setahun silam di mana setiap harinya aku harus ‘berceramah’ dan ‘bernyanyi’ di tengah-tengah kerepotanku dengan pekerjaan rumah tangga, gara-gara sulungku yang tak mau henyak dari layar TV. Jangankan bermain dengan teman-temannya, untuk makan saja aku harus bela-belain menyuapinya sembari menonton TV karena tanpa itu bisa-bisa seharian ia tak makan. Belum lagi jika kuingat tayangan-tanyangan yang tidak mendidik, dari tindak kekerasan, kriminal hingga pornografi dan pornoaksi tak pernah lepas menghias dunia pertelevisian. Menurut sebuah survey yang dirilis oleh sebuah harian umum nasional, acara televisi di Indonesia ternyata 86 persennya merupakan acara-acara yang amoral dan membahayakan bagi mentalitas dan perkembangan jiwa anak. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sudut hatiku nggak rela jika kemurnian jiwa sulungku terkotori dengan sampah-sampah modernisme tersebut. Aku nggak rela jika yang keluar dari mulut anak-anakku adalah pertanyaan-pertanyaan nista yang tak sepantasnya keluar dari mulut mungilnya. Karena riilnya, itulah yang ternyata mulai keluar dari mulut sulungku.

Awalnya aku beranggapan bisa meminimalisir madharat dengan menghidangkan televisi di rumah daripada anakku melongok ke jendela tetangga atau terkadang tidak mau pulang gara-gara asyik bermasyuk ria dengan layar TV tetangga. Setidaknya aku bisa mengontrol acara-acara yang layak untuk ia saksikan. Akan tetapi kenyataannya jauh panggang dari api. Ternyata anakku jauh ‘lebih pandai’ memanfaatkan kesempatan untuk menonton TV ketika uminya sedang sibuk dengan pekerjaan. Ia bisa merangkai sendiri kabel yang sengaja aku lepas hingga TV pun bisa nyala kembali tanpa perlu bantuanku (karena TV kami kala itu hanyalah TV tuner external yang cuma nebeng di computer). Aku pun berinisiatif untuk menyembunyikan kabelnya sampai pekerjaan rumahku selesai.

Tapi setelah kunyalakan kembali ternyata aku harus dipusingkan dengan tayangan-tayangan iklan yang tak kalah bahayanya dengan acara intinya. Anakku jadi semakin ‘pintar’ bernyanyi lagu jahili, bercelotoeh dengan bahasa-bahasa iklan yang terkadang seronok, atau iseng bertanya tentang adegan-adegan iklan yang membuatku kerepotan untuk menjawabnya. Belum lagi waktuku yang tak banyak untuk sekedar duduk manis menemaninya di depan layar TV. Dengan berbagai pertimbangan itu akhirnya kami mantap untuk mencabut kabel antena agar TV tak lagi nyala.

Namun setelah semua keputusan terlaksana ternyata tak mudah memberikan solusi hiburan buatnya. Dibutuhkan kantong yang tebal untuk mencarikan alternatif hiburan yang mendidik. Belum lagi kalau berbenturan dengan sifatnya yang mudah bosan hingga kami harus memformat kembali hiburan yang telah tersuguhkan. Sering hati ini tergelitik untuk ‘mencoba kembali’ menyambung kabel antena tv yang sengaja kami putus ketika kami tak kuasa meredam ‘amukannya’. Tapi, denyut imanku meronta, ‘Tidak!! Ini hanya solusi ilusi yang dihembuskan syetan ke dalam fikiranku. Aku yakin akan lebih banyak madharat yang akan kutuai dari pada secuil manis yang kurasa. Aku sadar bahwa ini berat, tapi akan lebih berat lagi jawaban yang harus kuurai di mahkamah-Nya nanti jika kami terlalaikan dalam mengarahkan amanah kami.
Tak terasa dua tahun berlalu kami bisa bertahan dengan keputusan kami.

Dan alhamdulillah, seiring dengan bertambahnya usia, si sulung mulai bisa beradaptasi dan mulai bisa kuajak dialog. Aku berusaha menyibukkannya dengan kegiatan-kegiatan positif sebagai alternatif hiburan. Dari bermain bersama teman, meyuguhkan film-film islami, menghadiahinya sebuah buku cerita yang mendidik atau sekedar memberikannya game sekali waktu untuk mengasah otaknya. Atau sesekali mengajaknya jalan-jalan menikmati keindahan alam ciptaan Allah dan mengunjungi tempat-tempat wisata. Tapi kami sadar bahwa perjuangan kami belumlah berakhir.

Masih banyak lagi tantangan-tantangan yang akan menguji kesabaran dan keikhlasan kami dalam mendidik buah hati kami. Semoga ini menjadi arena buat kami untuk memperbanyak tabungan amal shaleh kami di akherat nanti. Wallahul musta’an.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers