Zina Kemudian Hamil, Gimana Hukumya?

Posted by newydsui Tuesday, January 12, 2010
Pertanyaan:
Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah dia dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya?

Jawaban:
Pembahasan tentang hukum menikah yang didahului zina adalah suatu pembahasan yang lumrah dikalangan para ulama. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum tersebut antara pendapat yang menyatakan sah dan tidak sah. Maka dalam pembahasan ini akan kami suguhkan beberapa pendapat ulama yang menegaskan hukum tersebut.

Di antara pendapat yang membolehkan

Dari kalangan sahabat

Abu Bakar As Syidiq Radhiyallahu 'Anhu.
Diriwayatkan dalam sebuah riwayat atsar beliau berkata, “Tidak haram pernikahan yang didahului oleh zina.” Beliau berkata lagi, “Tiada suatu taubat (dari zina) yang lebih utama selain menikahi wanita yang dizinai.” (Al Majmu’ 17/284) Diriwayatkan bahwa ada seorang laki laki menzinai seorang wanita pada masa pemerintahan Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, kemudian beliau menjilid keduanya sebanyak seratus kali, kemudian beliau menikahkan keduanya dan mengusir keduanya selama setahun.” ( Tafsir Al Qurthubi 12/167)
Umar Bin Khotob Radhiyallahu 'Anhu.

Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahawasanya ada seorang lelaki nikah dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak gadis yang bukan (anak kandung) dari lelaki (yang baru nikah dengannya) dan lelaki itupun mempunyai seorang anak lelaki yang bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing membawa seorang anak, yang lelaki membawa anak lelaki dan yang perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah di angkatlah kejadian itu kepada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya (dilaksanakan hukum had) (20). Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu perkahwinan) akan tetapi anak muda itu tidak mahu” (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih)
Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahawa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan.

Abdulah Bin Abas Radhiyallahu 'Anhuma.

Diriwayatkan bahwa seorang laki laki bertanya kepada Abdulah Bin Abas tentang nikahnya seorang pezina. Beliau menjawab, “Boleh, bukankah seorang yang telah mencuri barang milik orang lain kemudian ia membelinya menjadi sah dan boleh?” (As Syarhul Kabir 7/502 ) dan diriwayatkan dalam riwayat lain, beliau berkata, “Hubungan yang pertama adalah perzinaan dan hubungan yang kedua adalah pernikahan, perumpamaan hal tersebut adalah seperti seorang pencuri buah dari batas tembok, kemudian ia mendatangi pemilik kebun dan membelinya. Buah yang ia curi adalah haram, sedangkan yang ia beli adalah halal.” ( Al Majmu’ 17/284)
Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
Beliau berpendapat sahnya pernikahan yang didahului dengan perzinaan. Beliau meriwayatkan bahwa Nabi Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita kemudian ingin menikahinya. Rasulullah Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda, “Suatu hal yang haram tidak bisa mengharamkan suatu yang halal, sesungguhnya yang diharamkan adalah perzinahan yang dilakukan dalam pernikahan yang halal.” (As Sunan Al Kubra Al Baihaqi 1/418 Bab Zina La Yuharrimul Halal Hadist 14167) Jabir Bin Abdulah dan Sa’id Bin Jubair Radhiyallahu 'Anhuma berkata, “ Pernikahan yang didahului oleh zina adalah Halal jika mereka yang berzina bertaubat dan berbenah diri.” (Al Majmu’ 17/284)
Abdulah Bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu.
Dalam suatu riwayat beliau berkata, “Jika mereka yang telah berzina bertaubat dan berbenah diri boleh bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.”
Sedang dari kalangan tabi’in yang membolehkan adalah; Sa’id bin Musayyib, yang menyatakan bahwa QS. 24:3 mansukh (dihapus hukumnya) dengan QS. 24:32. (Al Mudawwanah Al Kubra 2/276)
Qotadah, Ishaq, dan Abu Ubaid rahimahumullah berkata, pernikahan yang didahului dengan zina akan sah dengan syarat harus bertaubat dari perbuatan zina tersebut. ( Al Mugni 6/470)
Malik dan Abu Yusuf rahimahumahullah berkata, “Jika seorang wanita berzina tidak halal bagi seorangpun untuk menikahinya, kecuali dengan dua syarat; pertama telah melalui masa iddah, kedua telah bertaubat dari perbuatan zina. Pendapat ini dikatakan juga oleh Jabir Bin Zaid, Atho’, Hasan Ikrimah, Zuhri, Atsauri, Ibnul Mundzir, Dan Ashabur Ro’yi.” (Al Mugni 6/470)
Ibnu Qudamah berkata, “Haram menikahi wanita pezina kecuali dengan dua syarat; pertama berlalu masa iddah dan kedua telah bertaubat.” (Ibid)
Imam Ahmad bin hambal rahimahullah berpendapat bahwa tidak sah akad perkawinan antara seorang laki laki yang terhormat dengan seorang wanita pezina hingga seorang wanita tersebut bertaubat, jika ia telah bertaubat maka sah akad pernikahannya. Begitupula tidak sahnya pernikahan seorang wanita yang merdeka lagi terhormat dengan seorang laki laki pezina hingga laki laki tersebut bertaubat dengan taubat yang benar, sebagaimana firman Allah “Hal itu diharamkan bagi orang orang yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir 6/7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ Menikahi seorang wanita pezina adalah haram sampai ia bertaubat, baik berzina dengan seorang yang akan menikahinya maupun dengan laki laki lain. Tanpa diragukan bahwa pendapat ini adalah benar dan pendapat ini adalah pendapat ulama salaf dan kholaf.” (Majmu’ Fatawa 32/109)
Ibnu Umar, Salim, Jabir Bin Zaid, Atho, Thowus, dan Malik Bin Anas berkata, “Barang siapa yang berzina dengan seorang wanita, maka bagi seorang laki laki tersebut atau laki-laki lainnya boleh menikahi wanita itu.” Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Hanifah dan para pengikut beliau. (Tafsir Al Qurthubi 12/167)

Pendapat Yang Mengharamkan

Dari Kalangan Sahabat
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Jika seorang laki laki menzinahi seorang wanita kemudian laki laki itu menikahinya, maka laki laki dan wanita tersebut adalah seorang pezina selamanya.” (Tafsir Al Qurthubi 12/167)
Al Barra bin Azib dan Aisyah Radhiyallahu 'Anhuma berkata, “Berdasarkan keumuman ayat dan hadist, mereka berdua adalah pezina selama mereka berkumpul satu sama lainnya.” ( Al Mugny 6/470)
Aly Bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Seorang wanita pezina haram untuk dinikahi laki laki yang menzinahinya selama lamanya.” (Al Majmu’, 17/284) Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ada seorang lai laki pezina menikahi seorang wanita yang baik dan suci, kemudian Aly Radhiyallahu 'Anhu memisahkan antara keduanya.(Tafsir Al Qurthubi, 12/167)
Dari Kalangan Tabi’ien Dan Ulama Setelah Mereka
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjelaskan akan haramnya pernikahan seorang pezina dalam surat an nur, dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa seorang yang menikahi pezina adalah seorang pezina serupa atau seorang musyrik. Kemudian Allah memperjelaskan akan keharaman tersebut dengan firmanNya “ Dan diharamkan hal tersebut untuk orang orang mukmin.” (Zadul Ma’ad, 1/1912)

Kesimpulan hukum yang bisa diambil dari fatwa-fatwa di atas:

Pertama, Pernikahan Yang Didahului Zina Boleh Secara Mutlak.
Boleh secara mutlak berdasarkan tindakan nabi Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam kepada sahabat maiz bin malik ketika ia mendatangi Nabi dan menyatakan kepada beliau akan perbuatan zina yang dilakukannya. Mendengar pengakuan maiz nabi Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam tidak pernah sekalipun memerintahkan maiz untuk menjauhi istrinya, dan tidak pula memerintahkan istrinya untuk menjauhinya.

Disebutkan pula bahwa ada seorang istri berbuat zina dan suaminya mengetahui perbuatan tersebut, namun Nabi Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam tidak memerintahkan suaminya untuk menjauhi wanita tersebut.

Ibnul A’rabi menjilid pelaku zina sebanyak seratus kali, dan mengasingkannya selama setahun, namun beliau tidak melarangnya untuk menikah.( Al Umm 5/3)
Ibnu Qudamah berkata, “ jika seorang istri berzina atau seorang suami berzina, maka pernikahan antara keduanya tidak rusak baik sebelum berhubungan atau setelahnya.” (Al Mughni 6/470)

As Syafi’I berkata, “zina tidak dapat mengharamkan suatu yang halal, karena haram adalah kebalikan dari halal, maka tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan lawan katanya.” (Hasyiyah Ibnu Qoyyim, 7/135-137)

Kedua, Pernikahan Yang Didahului Zina Boleh Setelah Taubat.
Hukum ini bedasarkan pada sabda nabi “seorang yang telah bertaubat laksana seorang yang tidak memiliki dosa.” (At Targhib Wa At Tarhib 4/48, Hadist 4758) Telah diriwayatkan bahwa seorang memasuki kota makkah dan melihat seorang pelacur yang mengajaknya untuk berzina, namun seorang itu enggan menerima ajakan pelacur tersebut, ketika seorang itu memasuki kota madinah, ia bertanya kepada Rasulullah Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam “ bolehkah saya menikahi seorang pelacur? Kemudian Rasul tidak menjawabnya hingga turun firman Allah dalam surat annur ayat 3. kemudian Rasul memanggil seorang tersebut dan membacakan ayat itu dan bersabda, “Jangan engkau nikahi ia.” larangan dalam hadist tersebut karena seorang wanita pelacur tersebut belum bertaubat dari perbuatan zina. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu dimana beliau ditanya,’bagaimana engkau mengetahui taubat seorang pelacur?’ beliau menjawab, “jika diajak untuk melakukannya ia masih menginginkannya, namun jika ia menolaknya maka ia telah bertaubat. Pendapat ini diikuti oleh imam Ahmad. (Al Mughni 6/470)

Ketiga, Pernikahan Yang Didahului Zina Boleh Setelah istibra (melahirkan).
Hukum ini berpijak pada hadist Hanasy As Shon’ani dimana beliau berkata, ‘Kami berperang bersama Rufaifa’ Bin Tsabit Al Anshori Radhiyallahu 'Anhu memerangi suatu desa magrib yang disebut dengan nama jurbah, kemudian berdiri salah seorang diantara kami sebagai khotib dan berkata, ‘Wahai sekalian manusia! Aku akan sampaikan sesuatu yang aku dengar dari Rasul Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam, dimana Beliau ketika perang Hunain bersabda, “ Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiram air ke tanaman orang lain, mendatangi tawanan wanita perang hingga berlalu masa istibranya, menjual hasil rampasan perang hingga dibagi rata.” (Musnad Imam Ahmad, Hadist 16672) Telah diketahui bahwa air pengairan dapat menyuburkan tanaman, Allah menyerupakan mensetubuhi wanita hamil dengan menyiram tanaman, Allah jadikan tempat yang digunakan untuk bersetubuh dengan kata ladang, dan Nabi Sholalallahu 'Alaihi Wa sallam menyerupakan hamil dengan ladang dan menyetubuhi wanita hamil dengan menyiram tanaman. Ini adalah dalil yang sangat jelas yang menegaskan bahwa tidak boleh menikahi wanita pezina sampai berlalu masa istibranya baik dengan tiga kali haidh atau sekali haidh.(Hasyiyah Ibnu Qoyyim, 7/135-137)
Imam Malik Rahimahullah melarang akad pernikahan sebelum berlalu masa istibra’ sebagai bentuk penghormatan air mani suami dan pemeliharaan nasab. (Hasyiyah Ibnu Qoyyim, 6/119)

2 comments

  1. Cantika Says:
  2. Susahnya akhir dari zina, dah hamil, kadang lakinya kabur lagi, bis itu nanggung malu seumur hidup. memang pantasnya pezina ya nikah ama pezina.
    perlu di hudud gak tu...?
    trus diasingkan juga ya....?
    trus berpa tahun tuk hilang rasa malunya..?
    enak sesaat menderita selamnya.....

     
  3. Jagoan Says:
  4. trus kalo zinanya rame-rame gimana?
    siapa bapak anaknya..?
    apa fulan bin Rame-rame...
    maaf ...
    tapi itulah akhir dari menuruti hawanafsu.....
    nafsu.....nafsu....

     

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers