MENCAPAI DERAJAT WALI ALLAH

Posted by newydsui Wednesday, March 31, 2010
MENCAPAI DERAJAT WALI ALLAH
Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Prolog
Berbicara tentang ‘Wali’ sepertinya sarat dan identik dengan kesaktian-kesaktian dan pertapaan. Seorang ‘Wali’ diyakini bisa menghilang, berjalan di atas air, terbang di angkasa, mengubah sebuah benda menjadi benda yang lain, dan yang lainnya. Seperti buah aren bisa diubah menjadi batu-batu permata, pasir diubah menjadi beras. Sementara itu, pertapaan dan bertapa diyakini sebagai sarana yang paling ‘ampuh’ untuk mendapatkan kesaktian tersebut.
Dipilihnya tempat-tempat yang sunyi, jauh dari keramaian dan banyak orang, seperti kuburan, di bawah pohon yang tinggi dan rindang, di atas batu yang besar, di dalam goa, atau di pinggir-pinggir kali. Di tempat-tempat seperti itulah ia menyendiri dengan konnsentrasi yang tinggi untuk tidak dapat digoda oleh pelbagai godaan baik lahir maupun batin.
Bahkan terkadang seorang ‘Wali’ diyakini bisa shalat Jum’at di Masjidil Haram, dan anehnya ketika kaum muslimin pulang dari masjid selesai shalat Jum’at sang ‘Wali’ pun sudah pulang ke rumahnya, padahal perbedaan waktu di Makkah dan Indonesia berkisar 4 jam. Artinya, jika kaum muslimin di Indonesia mengerjakan shalat Jum’at maka di Makkah baru sekitar pukul delapan pagi. Kisah-kisah ‘kesaktian’ para ‘Wali’ di Indonesia sudah menyebar ke pelbagai kehidupan masyarakat. Dari yang awamnya hingga yang profesornya, dari yang miskinnya, hingga yang kaya rayanya. Sehingga masyarakat mengira bahwa untuk menjadi wali Allah adalah sesuatu yang berat, susah, dan tidak gampang. Dan mereka juga mengira bahwa apabila seseorang telah mencapai derajat wali, maka mereka memiliki segudang kesaktian dan hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal manusia.
Lantas, benarkah memang demikian keadaan para wali Allah? Betulkah wali Allah memiliki kesaktian dan keampuhan? Ataukah itu hanya sekedar dongeng-dongeng yang sengaja memang disebar luaskan? Atau jangan-jangan mereka bukan wali Allah, tetapi tidak lain adalah wali syaithan?
Ulasan kita kali ini adalah untuk mengungkap semua ini. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk mengetahui siapa sebenarnya wali Allah? Dan bagaimana kiat kita untuk mencapai derajat wali Allah?

Semua Hamba Allah Bisa Menjadi Wali-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ * لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ *
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan siapa mereka para wali-Nya, serta keutamaan-keutamaan yang akan diperoleh oleh para wali-Nya.

Para wali Allah itu adalah:
1. Mereka yang senantiasa beriman kepada Allah dan tidak ragu sedikitpun atas keimanan mereka tersebut. Serta menjalankan seluruh konsekwensi keimanan tersebut.
2. Selain mereka beriman kepada Allah, mereka juga senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seorang mukmin senantiasa mendapatkan Allah selalu mengawasinya pada setiap saat dan tempat.
Dan sebagai balasan atas keimanan dan ketakwaan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka beberapa keutaamaan sebagai berikut:
a) Tidak ada kekhawatiran atas diri mereka. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjamin keamanan mereka baik di dunia dan akhirat. Dia Subhanahu wa Ta’ala juga akan menjamin rezeki bagi mereka. Sehingga tidak ada kekhawatiran atas diri mereka.
b) Tidak pula mereka bersedih hati. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengganti kesedikan mereka dengan berbagai nikmat akhirat yang tiada taranya.
c) Diberikan kabar gembira kepada mereka, berupa kenikmatan hidup dunia dan akhirat.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ .
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku akan mengumumkan perang dengan orang itu. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan amal-amal yang Aku senangi, di antara amal-amal yang Aku fardhukan dan tidaklah hamba-Ku itu terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengamalkan amalan-amalan tambahan, yaitu nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya, dan apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang memelihara pendengarannya ketika ia mendengar, Akulah yang memelihara penglihatannya ketika ia melihat, Akulah yang memelihara tangannya ketika ia berbuat, dan Akulah yang memelihara kakinya ketika ia berjalan. Apabila ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan apabila ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502).

Tingkat Kewalian
Tingkat kewalian yang terdapat dalam diri seseorang mukmin sesuai dengan tingkat keimanannya. Para wali Allah yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah para Nabi, dan diantara para Nabi yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah para Rasul, dan diantara para Rasul yang paling tinggi tingkat kewaliaanya adalah Rasul Ulul Azmi, dan diantara Rasul Ulul Azmi yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan dekat dengan-Nya (mengaku sebagai wali Allah), tetapi ia tidak mengikuti sunah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sebenarnya ia bukanlah wali Allah tetapi musuh Allah dan wali setan.

Mengenal Wali Allah
a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, kecuali para Nabi dan Rasul.
b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- yang mendapat ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala..
c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- jelas lebih mulia daripada Umar bin Khathathab, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah.
d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana Umar bin Khaththab yang tetap melaksanakan perintah Allah.
e. Walaupun seorang wali Allah, tetapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar bin Khaththab dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la Ash-Shadafi: “Saya berkata kepada Imam Syafi’i: ‘Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan: ‘Apabila engkau melihat seseorang bisa berjalan di atas (permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia wali sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’, lalu Imam Syafi’i berkata: ‘Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat sesseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap dia wali sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang trsebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’.”
Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Arestoteles adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah Dzulqornain. Padahal Dzulqarnain bukanlah Iskandar of The Great.
f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar bin Khaththab, beliau tidak membantah Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan berkata: “Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya.”
g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad telah diutus dan Nabi tersebut masih hidup maka Nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad telah diutus dan mereka (umat Nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”
h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku-ngaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah bahkan anak-anak Allah. Sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm: 32 ).

Khurafat, bukan Karamah
Dalam salah satu edisinya, di bawah judul “Khurafat Seputar Ad-Dasuki”, majalah At-Tauhid menulis, “Dalam hasyiah (catatan pinggir) kitab Ash-Shawi disebutkan, “Sesungguhnya Ad-Dasuki bisa berbicara dengan segala bahasa; bahasa asing dan bahasa Suryani. Bahasa binatang dan bahasa burung. Ia telah berpuasa sejak dalam buaian, melihat Lauh Mahfuzh, telapak kakinya tidak pernah menginjak bumi, ia bisa memindahkan nasib muridnya dari sengsara menjadi bahagia, dunia di tangannya dibuat laksana cincin, dan dia telah sampai ke Sidratul Muntaha.”
Ungkapan ini adalah ungkapan yang sangat batil. Tak seorang pun yang akan mempercayainya, kecuali orang yang amat bodoh sekali. Bahkan hal itu adalah suatu kekufuran yang nyata. Bagaimana mungkin ia bisa melihat Lauf Mahfuzh, yang Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam penghulu semua makhluk tak pernah melihatnya?
Bagaimana mungkin ia bisa memindahkan nasib murid-muridnya dari sengsara menjadi bahagia? Semua ini adalah khurafat yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi yang angkuh dan sombong. Mereka tidak sadar, sesungguhnya mereka berada di dalam kesesatan yang nyata.
Karena itu hendaknya para pembaca menghindari kitab-kitab yang memuat berbagai khurafat semacam ini. Di antaranya kitab At-Tabaqaatul Kubraa, oleh Sya’rani. Khaziinatul Asraar, Nuzhatul Majaalis, Ar-Raudhul Faa’iq, Mukasyafatul Quluub, oleh Al-Ghazali. Al-‘Araa’is, oleh Ats-Tsa’aalibi. Dan yang lainnya.
Wallahu A’lamu.

Reference:
1. Al-Furqan baina Auliya`illah wa Auliya`isy Syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
2. Al-Firqah An-Najiyah, Syaikh Jamil Jainu.
3. Dan lain-lain.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers