TAQWA DAN TAWAKKAL DUA KUNCI REZEKI YANG UTAMA
Tafsir QS. Ath-Thalaq: 2-3
Tafsir QS. Ath-Thalaq: 2-3
Oleh: Abu Hilya Al-Muhairy
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
TAFSIR AYAT
Shahabat Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, yakni Allah akan memberinya jalan keluar dari segala kesukaran dan kesulitan. Serta memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
Imam Masruq –rahimahullah- mengatakan, yang dimaksud dengan ‘makhraja’ dalam ayat ini adalah bahwa orang-orang yang bertaqwa benar-benar mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memberi dan menahan rezeki seorang hamba.
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhu- (di atas) dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. Kedua, “Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberinya rizki yang tidak pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Masud –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah: “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya.”
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri.” (QS. Al-A’raf: 96)
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandainya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.
Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:
a) Janji Allah untuk membuka “(keberkahan) bagi mereka.” Imam Al-Baghawi berkata, “Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus”. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, “Tetapnya suatu kebaikan Allah atas sesuatu.”
Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat “Barakaat” adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.
Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadap-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat.”
Syaikh Ibnu ‘Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: “Barakaat” adalah kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah sebaik-baik jenis nikmat.”
b. Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama' sebagaimana firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah.” Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu ‘Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.
Selain Taqwa kepada Allah, Tawakkal kepada-Nya merupakan Kunci Rezeki utama berikutnya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Kemudian apa yang dimaksud dengan tawakkal itu?
Para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan– telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali –rahimahullah-, beliau berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata.”
Al-Allamah Al-Manawi –rahimahullah- berkata: “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.”
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori –rahimahullah- berkata: “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari Allah.”
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha`i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda:
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal kepada-Nya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah yang berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberi-Nya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Menafsirkan ayat tersebut, Imam Ar-Rabi’ bin Khutsaim –rahimahullah- mengatakan: “(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia.”
TAWAKKAL TIDAK MENINGGALKAN USAHA
Sebagian orang mukmin ada yang berkata: “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”
Perkataan ini sungguh menunjukkan kejahilan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah memperingatkan masalah ini.
Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di Tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”
Imam Ahmad juga pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri.” Maka beliau berkata, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Rasulullah telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”
Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata: “Para shahabat –radhiyallahu ‘anhum- ada yang berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.”
Syaikh Abu Hamid berkata: “Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakkal adalah, meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan syari’at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, “Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya.”
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi berkata: “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdir-Nya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari-Nya.”
Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya , ia berkata:
“Seseorang berkata kepada Nabi, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal?” Nabi bersabda: “Ikatlah (untamu) kemudian bertawakkallah.”
Wallahu A’lamu bish Shawab.
Reference:
1. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ath-Thabari.
2. Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir.
3. Mafaatihur Rizki fi Dhau`il Kitabi was Sunnah, DR. Fadhl Ilahi.
Subhanallah... Artikel yg bisa bikin semangat luar biasa... dahsyat