PERAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Muqadimah
Istilah developmentalisme berakar dari kata bahasa Inggris development, tambahan kata isme di belakang kata ini menunjukkan kuatnya ideology yang dijalani. Era Developmentalisme lahir dan berkembang sekitar abad ke-19. Para penganut aliran ini memandang proses pendidikan sebagai suatu perkembangan jiwa. Karena itu aliran ini disebut juga gerakan psikologis dalam pendidikan. Pendidikan adalah suatu proses perkembangan yang berlangsung dalam setiap individu. Aliran pendidikan ini memiliki beberapa konsep sebagai berikut:
1. Mengaktualisasi semua potensi anak yang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat sosial manusia.
2. Cara-cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas:
a) Dengan perkembangan yang dikontrol.
b) Dengan membentuk tanggapan-tanggapan yang jelas sehingga membentuk asosiasi pada jiwa anak.
c) Dengan mengembangkan insting, menempa anak sebelum kaku.
d) Melalui impresi indra dan emosional menjadi ekspresi pengetahuan dan moral.
3. Pengembangan itu dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak.
Pada intinya era developmentalisme pendidikan adalah era di mana pendidikan berfungsi sebagai control atas perkembangan jiwa seseorang yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Tokoh-tokoh aliran ini pun cukup banyak, di Barat dengan para tokohnya seperti: Pestalozzi, Johann Fredrich Herbart, Friedrich Wilhem Frobel di Jerman, dan Stanley Hall di Amerika Serikat.
Pada perkembangan berikutnya, era developmentalisme lebih dikaitkan dengan pembangunan. Sehingga istilah developmentalisme juga disebut dengan pembangunanisme yang secara terminology bermakna sebagai suatu proses yang meletakkan pembangunan insfrastruktur fisik sebagai satu-satunya cara untuk memperbaiki kwalitas hidup suatu bangsa secara ekonomis, suatu paham yang memposisikan pembangunan sebagai alternatif yang tidak bisa ditolak, sekaligus menjadikan pembangunan sebagai tawaran mutlak untuk memecahkan masalah. Kemudian akhirnya pendidikan dijadikan alat untuk mencapai target-target pembangunan tersebut. Imbas dari paham serta aliran ini, maka anak didik pada tinggkat sekolahan ataupun perguruan tinggi diarahkan pada ‘bagaimana’ pendidikan bisa dijadikan alat untuk mencari pekerjaan dan materi, dan tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai tujuan tersebut, dan nilai-nilai agama (relizi) terkalahkan atau disingkirkan demi mulusnya pencapaian target tersebut.
Dunia pendidikan ‘telah’ menjadi mesin pencetak manusia materialis dan budak-budak harta dunia. Acap kali dunia pendidikan developmentalisme mengabaikan sisi keagamaan, karena menganggap ‘agama’ adalah musuh kemajuan dan modernisasi.
Pertanyaannya adalah benarkah pemahaman demikian? Benarkah pendidikan Islam mengabaikan sisi kemajuan dan pembanguanan? Benarkah pendidikan Islam mengabaikan sisi kesejahteraan dan kemakmuran?
Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab
DR. Adian Husaini –hafizhahullah- dalam bukunya ‘Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab’ menuliskan,
“Banyak yang kadang salah paham, bahwa pendidikan Islam, terbatas pada pendidikan formal sekolah. Banyak pula yang salah paham, seolah-olah, tanggung jawab orang tua telah usai, setelah mengirimkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah tertentu, yang berbiaya tinggi. Padahal, tanggung jawab pendidikan anak tetap pada orang tua. Pendidikan Islam bukan hanya harus mampu membentuk karakter yang unggul, tetapi juga membentuk manusia beradab; atau membentuk manusia yang baik (good man). Yakni, manusia yang mengenal Rabbnya, mengenal dan mencintai utusan Rabbnya (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm), mengenal dan mampu megembangkan potensinya, dan meyakini satu kebenaran. Pendidikan Islam bersifat kulliyah, bukan juz`iyyah; universal, bukan parsial. Pendidikan Islam tidak mengarahkan anak didik menjadi manusia “barbar”, yang dididik seperti binatang. Yakni, manusia yang hanya tahu satu bidang pekerjaan, tetapi tidak kenal agamanya, Rabbnya, Nabinya, masyarakatnya, bahkan sejarahnya. Pendidikan Islam bersifat sepanjang hayat, bukan hanya berhenti sampai S1 atau S3.
Pendidikan Islam bersifat tauhidik, tidak dikotomis dalam keilmuan. Pendidikan Islam, bersifat formal, informal, dan non-formal sekaligus. Dan pendidikan Islam adalah satu bentuk amal nyata dalam jihad fi sabilillah dalam aktivitas dakwah dan menyiapkan generasi mendatang unggul.”
Lebih lanjut beliau menegaskan, “Karena itulah, menurut Islam harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut Al-Qur`an adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS. 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut Al-Qur`an.
Begitu juga ketika Al-Qur`an memuliakan orang yang berilmu (QS. 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.
Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslimin.
Peran Pendidikan Islam di Era Develompmentalisme
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepasdari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya): “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (QS. Al-Alaq: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa`: 126).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka beliau segera menjelaskan,
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam Al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shalih tapi sekaligus cerdas dalam iptek.
Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700-1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisaa`: 65).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat, yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berprikemanusiaan, dan bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti), mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bentuknya secara praktis dan konkret adalah syariah Islam. Wallahu A’lam bish Shawab
Reference:
1. Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, DR. Adian Husaini.
2. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, M. Shiddiq Al-Jawi.
3. Dan lain-lain.
0 comments