Tips Meraih Ilmu
Menurut Tinjauan Syar’i
Oleh : Ryan Arif Rahman, Lc
Menurut Tinjauan Syar’i
Oleh : Ryan Arif Rahman, Lc
Di dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat begitu banyak anjuran yang memerintahkan agar kita memiliki ilmu. Bahkan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya. Menyiapkan bagi siapa saja yang berjalan di atas titian ilmu tersebut, balasan yang baik, pahala, ganjaran, dan Dia subhanahu wata’ala mengangkat derajat kedudukan mereka di dunia dan akhirat.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-AlBani dalam Shahihul jami’ no.3913)
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ilmu yang wajib untuk dituntut adalah yang akan menegakkan agama seseorang, yaitu ilmu tentang shalat, puasa, dan sejenisnya .”
Sehingga dalam mengerjakan ibadah seorang muslim dituntut bahkan diwajibkan untuk mengetahui ilmunya terlebih dahulu sebelum mengamalkan agar tidak salah dan menyimpang. Karena jika amalan dikerjakan tanpa ilmu niscaya amalan tersebut dimata Allah tertolak dan sia sia belaka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “ barang siapa yang mengerjakan amalan tanpa ada petunjuk kami, niscaya amalan tersebut tertolak.”
Ilmu Sebelum Perkataan Dan Perbuatan
Salah seorang Ulama terkemuka bernama Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Al-Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal” dan dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala: “Maka berilmulah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Allah swt memulai pada ayat di atas dengan perintah mencari ilmu. Sehingga berpijak dari firman Allah tersebut Imam Bukhori memberi judul kitab Al-Ilmu pada suatu Bab di dalam Shahih al Bukhari.
Sudah barang tentu di dalam perkataan beliau ini terkandung kaidah penting yang sangat bermanfaat dan perlu untuk kita ketahui bersama. Semoga dengan mengetahuinya bisa bermanfat bagi kita semua. Berikut kajian ringkasnya:
Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh berkata: “Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka akan diberkahi pelakunya biarpun perkaranya itu kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu dan bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, namun itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan. Dan sungguh! Amalan yang sebesar dzarah (setitik) namun didasari ilmu, maka ini lebih besar nilainya daripada amalan laksana gunung tanpa ilmu. Dan Bahwasanya ilmu itu tujuan puncak yang terpenting dan harus diutamakan dari segala sesuatu. Khususnya ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, meluruskan aqidah, memperbaiki hati, dan yang bisa menjadikan seseorang itu mudah dalam kehidupannya untuk meniti jalan di atas bukti nyata yang sesuai Sunnah Rasul, bukan hidup di atas kebodohan.”
Ibnu Munir/Munayyir di dalam Fathul Bari berkata: “Mengapa Al-Imam Al-Bukhari membuat Bab Khusus ini? Beliau membuatnya Karena sesungguhnya bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan.” Kemudian mengapa ilmu itu harus didahulukan? Karena ilmu itu pelurus niat. Dimana niat itu akan memperbaiki amalan. Lantas ilmu apakah yang musti kita pelajari dan kita kaji?
Klasifikasi Ilmu Dalam Pandangan Al Ghazaly
Ilmu ditinjau dari hukum mempelajarinya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Ilmu fardu ‘ain merupakan kewajiban kepada setiap orang Islam. Setiap aqil baligh wajib mengenalinya. Dalam pandangan al-Khawarizmi, ilmu fardu ‘ayn wajib ke atas semua manusia, baik kalangan masyarakat awam atau golongan terpilih (khawass), pemerintah atau menteri, yang merdeka atau hamba, yang tua dan yang muda, dan seterusnya.
Ilmu fardu ‘ayn memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama ilmu fardu 'ayn adalah i‘tiqad, yaitu, membenarkan segala apa yang sahih disampaikan Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang tetap dan pasti, yang bebas dari sebarang shakk (keraguan). Dimensi pertama ilmu fardu ‘ayn ini juga terkenal dengan nama ilmu al-tawhid, karena merangkum pengenalan mengenai Allah Maha Pencipta yang cabang-cabangnya diperincikan dalam rukun iman yang lain. Kewajiban menuntut ilmu ini berkembang menurut getaran keraguan hati yang terjadi akibat pembawaan sendiri atau tantangan pengaruh masyarakat dalam bentuk kemungkaran akidah.
Kadar ilmu I‘tiqad yang wajib dituntut adalah secukupnya untuk menghilangkan kesangsian dan kekacauan aqidah yang boleh dialami. Yaitu, mampu mengenal antara aqidah yang haqq dan yang batil sehingga terhindar dari kepercayaan yang batil menurut hawa nafsu atau menafikan 'aqidah yang haqq.
Dimensi kedua ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan. Pertama, kewajiban menuntut ilmu ini berkembang mengikuti waktu; semakin lama seseorang mukallaf itu hidup, semakin berkembanglah urusan-urusan fardu aynnya yang memerlukan ilmu yang berkaitan. Dimensi ini terdiri dari beberapa kaidah.
(a) Kaidah pertama, semakin lama seseorang mukallaf itu hidup, semakin berkembanglah urusan-urusannya yang wajib, dari shalat lima waktu hinggalah puasa ramadan, dari zakat harta sampai ke haji – yaitu, apa yang dinamakan rukun Islam. Inipun hanyalah permulaan agama yang dapat dikembangkan lagi; seperti akar pohon yang berkembang tumbuh berdahan, beranting dan berbuah. Selanjutnya termasuk ilmu mengenai apa yang halal dalam soal makanan, minuman, pakaian, pergaulan dan perhubungan sesama manusia dan lain-lain hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan biasa. Perincian ilmu fardu ‘ayn tentang amal sedikit-sebanyak berbeda, karena perberbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Yang menjadi sebab wajibnya ilmu tertentu berkaitan dengan apa yang dituntut oleh keperluan hidup.
(b) Kaedah kedua untuk memahami perkembangan ruang lingkup ilmu-ilmu fardu ‘ayn yang berkaitan dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan adalah prinsip “tidak diperbolehkan melakukan sesuatu usaha melainkan setelah mengenal syarat-syaratnya dalam agama.”
Aspek ketiga ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan masalah yang wajib ditinggalkan. Kewajiban ilmu ini berkembang menurut keadaan seseorang yang berbeda-beda antara satu sama lain.
Ilmu Fardu Kifayah
Menurut al-Ghazzali, ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi masyarakat Islam. Dalam kewajiban fardu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya.
Menurut al-Ghazzali, ilmu fardu kifayah bisa dinilai dari dua tinjauan. Pertama, pengkhususan dalam ilmu-ilmu Shari’ah yang wajib dituntut karena ia menjadi perantara dalam menegakkan urusan keagamaan masyarakat Islam di dunia, seperti disiplin bahasa Arab al-Qur'an, usul fiqh, fiqh jual-beli dan perdagangan, pengurusan jenazah dan harta pewarisan, munakahat (nikah-kahwin dan perceraian), jinayah dan ketatanegaraan, dan lain sebagainya.
Bagian kedua ilmu fardu kifayah yang wajib dituntut adalah ilmu bukan Shari‘ah karena ia tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi masyarakat Islam. Dalam kewajiban ilmu fardu kifayah, kesatuan para mukallaf masyarakat Islam secara bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya. Yaitu, jika sejumlah mukallafin ada yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu kifayah tersebut, maka kefarduan itu telah terpenuhi dan gugurlah dosa bagi yang tidak mengerjakannya. Sebaliknya, jika tiada seorang pun yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu kifayah tersebut, atau mengambil keputusan untuk bersepakat untuk meninggalkan ilmu fardu kifayah itu, maka semua mukallaf masyarakat tersebut berdosa karena mengabaikan kewajiban itu.
Sehingga dari klasifikasi ilmu di atas tampak jelas bahwa konsep ilmu dalam islam tidak mengenal dikotomi, islam tidak hanya menganjurkan pemeluknya hanya mengkaji ilmu syari’at semata, juga bukan sekedar mewajibkan mengkaji ilmu non syari’at, tetapi islam menganjurkan pemeluknya untuk mengkaji seluruhnya baik tentang Arkanul Islam, Arkanul Iman, Perbuatan haram, Ilmu Syariah, maupun Ilmu non-Syariah yaitu Ilmu-ilmu sosial dan alam. Hukum mempelajari ilmu- ilmu tersebut bisa menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah sesuai situasi dan kondisi masing masing individu dan masyarakat muslim. Sehingga dari luasnya cakupan ilmu dalam islam maka setiap muslim harus memiliki tips dan cara agar mudah meraihnya dengan baik dan mudah. Tahukah pembaca tips meraih ilmu dengan baik dan mudah menurut pandangan syar’i??
Tips Meraih Ilmu
Ilmu yang bermanfaat dapat diraih dengan beberapa cara, jika cara tersebut dilaksanakan dengan baik dan kontinyu niscaya ilmu tersebut teraih dengan mudah. yang terpenting dari cara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memohon kepada Allah swt agar dikarunia ilmu yang bermanfaat, meminta tolong dan memelas kepadaNya.
Allah swt memerintahkan nabi Muhammad saw agar memohon bertambahnya ilmu. Allah swt berfirman, “dan katakanlah wahai rabbku tambahkan ilmuku.” (QS. Thoha:114)
Rasulullah saw selalu memanjatkan do’a, “ya Allah berilah manfaat terhadap apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku ilmu yang bermanfaat untukku, dan tambahkan ilmu untukku.”
2. Bersungguh sungguh dalam mencari ilmu.
Suatu hari ada seorang mendatangi Abu Hurairah ra seraya berkata, aku ingin mencari ilmu dan aku takut menyianyiakannya. Lantas Abu Hurairah menjawab, cukuplah engkau menyianyiakannya jika engkau tidak mengamalkan ilmu yang telah engkau raih.”
Ahli hikmah ketika ditanya apa sebab seorang mendapatkan ilmu? Ia menjawab, “ dengan kesungguhan dan kecintaan terhadapnya, lalu ajarkan ilmumu kepada orang yang bodoh, dan perhatikanlah orang yang mengajarkan ilmu kepadamu, jika engkau melakukannya niscaya engkau tahu apa yang engkau tidak tahu dan engkau menjaga ilmu yang engkau ketahui.”
Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata, “wahai saudaraku sekali kali engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal, akan aku jelaskan enam hal itu, yaitu: kecerdasan, tamak, kesungguhan, memiliki modal, bergaul dengan guru, dan tersedianya waktu yang cukup.”
3. Menjauhi maksiat dan selalu bertaqwa.
Cara ini adalah yang terpenting dalam meraih ilmu sebagaimana firman Allah,” Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al baqarah:282)
Dan firmanNya,” Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan..”(QS. Al-anfal:29)
Sudah manjadi maklum bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menganugrahinya ilmu yang dengannya mampu membedakan haq dan bathil. Maka dari itu, Abdulah Bin Mas’ud ra berkata, “sungguh aku bisa memastikan jika ada orang yang lupa terhadap ilmu yang dimilikinya maka penyababnya adalah dosa yang ia kerajakan.”
Imam Syafi’i ra berkata, “ aku mengadu kepada Waqi tentang jeleknya hafalanku, lalu beliau menasehatiku untuk menjauhi maksiat, dan beliau menasehatiku bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak pernah diraih oleh pelaku maksiat.”
Suatu hari Imam Malik berkata kepada Imam Syafi’i, “sungguh aku melihat bahwa Allah telah mengkaruniakan hatimu cahaya, maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat.”
4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu.
Ibunda Aisyah ra berkata, sebaik baik wanita adalah wanita anshar, sifat malu mereka tidak mengahalangi mereka dalam menuntut ilmu.”
Mujahid berkata, “ orang yang pemalu dan sombong tidak akan pernah meraih ilmu.”
5. Ikhlas dalam mencari ilmu.
Ini adalah inti dalam mencari ilmu. Rasulullah saw bersabda,” barang siapa yang mencari ilmu untuk sekedar mendapatkan kenikmatan dunia, sungguh ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat kelak.”
6. Mengamalkan ilmu yang dimiliki. Ilmu tidak bisa dikatakan sebagai salah satu rukun hikmah kecuali diamalkan dan dilandasi dengan keikhlasan.
Demikianlah pembaca budiman pembahasan ringan tentang keutamaan ilmu, klasifikasi ilmu dan tips meraih ilmu. mudah mudahan kita diberi kemudahan untuk meraihnya. Amin.
Wallahu A’lam Bi As-Showab.
Referensi:
Sa’id Bin Ali Bin Wahaf Al Qahthani, Alhikmah Fi Ad Addakwahila Allah Ta’ala, Cet Pertama Tahun 1992 M.
Ahmad Bin Abdurrahman Ibn Qudamah Al Maqdisi, Mukhtashar Minhaj Al Qashidin, (Libanon: Darul Fikr, 1987 M) Cetakan Pertama. dll
0 comments