ANAK TANGGA ‘UBUDIYAH
Imtihan asy-Syafi’i
Imtihan asy-Syafi’i
Para Nabi adalah manusia pilihan Allah, mengenal Allah dengan baik, dan tahu bagaimana mestinya mengimplementasikan ‘ubudiyah (penghambaan) kepada Allah. Nabi Musa as. memberikan teladan kepada kita dalam hal ini. Diabadikan oleh Allah, Nabi Musa berkata,
“Duhai Rabb-ku, sungguh aku hanya faqir (butuh) kepada kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (al-Qashash; 24)
Ibnul Qayyim menyatakan, “Faqir diri yang hakiki adalah merasa butuh kepada Allah dalam segala keadaan dan untuk setiap bagian terkecil dari hidupnya, lahir-batin, ia menyaksikan kebutuhannya kepada Allah.”
Faqir diri kepada Allah berarti seorang hamba memurnikan hatinya dari berbagai keinginan dan kecenderungannya. Ia fokus menghadap kepada Allah, bersimpuh di hadapan-Nya, tunduk kepada perintah dan larangan-Nya, hatinya bergantung kepada cinta dan ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah karena Allah, Rabb alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya. Dengan hal itulah aku diperintahkan dan aku adalah yang pertama-tama berislam.’.” (al-An’am: 162-163)
Siapa saja yang memperhatikan berbagai amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan melihat bahwa iftiqar kepada Allah menjadi sifat yang mutlak ada pada satu-persatu amal ibadah itu. Seberapa banyak kadar iftiqar seorang hamba dalam melaksanakan ibadah itu, sebesar itu pula pengaruh hakiki amal ibadah akan membekas di hatinya dan manfaatnya di dunia dan di akhirat.
Iftiqar adalah motor yang akan menggerakkan seorang hamba untuk melazimi ketakwaan dan melestarikan ketaatan.
Dua Anak Tangga
Untuk menggapai iftiqar yang sempurna, ada dua anak tangga yang mesti ditapaki:
Pertama, memahami keagungan dan kekuasaan al-Khaliq.
Besarnya iftiqar seorang hamba kepada Allah berbanding lurus dengan makrifahnya kepada Allah lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin besar makrifahnya, semakin besar pula iftiqarnya kepada Allah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Fathir: 28)
Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Orang yang paling mengerti Allah-lah yang paling takut kepada-Nya.”
Fudhail juga berkata, “Rasa takut seseorang kepada Allah sekadar dengan ilmunya tentang Allah.”
Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Pangkal khusyuk yang hadir dalam hati adalah makrifah kepada Allah, kepada keagungan-Nya, kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Siapa yang tebal makrifahnya, tebal pula khusyuknya. Khusyuk yang dimiliki oleh satu orang dengan yang lain bertingkat-tingkat sekadar dengan makrifahnya kepada Allah.
Barangsiapa yang mentadabburi ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, niscaya hatinya akan memuliakan dan mengagungkan-Nya, akan merasa kecil di hadapan kuasa-Nya.
“Allah, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, Yang Hidup kekal lagi terus menerus Mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (al-Baqarah: 255)
Kedua, menyadari kekurangan dan kelemahan diri.
Barangsiapa menyadari kadar dirinya, meskipun pangkat, kekuasaan, dan hartanya berlimpah ruah, bahwa dirinya dirinya hanyalah seonggok daging tanpa daya, sosok yang lemah, niscaya kesombongannya akan lenyap seketika, anggota badannya akan tunduk, dan besarlah iftiqarnya kepada Allah.
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala rahasia. Maka sekali-kali tidak ada suatu kekuatan pun bagi manusia itu dan tidak (pula) seorang penolong.” (ath-Thariq: 5-10)
Dalam Madarijus Salikin: 1/144-145, Ibnul Qayyim telah menerangkan dua anak tangga ini. “Barangsiapa hatinya mengagungkan Yang Mahabenar secara sempurna, ia akan merasa berat untuk menyelisihi-Nya. Menyelisihi Yang Mahaagung tidaklah sama dengan menyelisihi selain-Nya. Barangsiapa menyadari kekurangan, kadar diri, hakikat, dan kebutuhannya kepada Allah dalam setiap saat dan tarikan nafasnya, ia pun akan merasa berat untuk menyelisihi-Nya. Menyelisihi Dzat yang setiap saat dan tarikan nafas ia bergantung pada-Nya. Demikian pula jika pada saat yang sama ia memahami kehinaan dirinya keagungan Dzat yang dimaksiati-Nya, ia akan merasakan kemaksiatan yang dilakukannya sebagai sesuatu yang besar dan ia akan selalu menyingsingkan baju untuk membebaskan diri dari berbagai kemaksiatan itu. Pembenaran dan keyakinannya terhadap ancaman Allah pun berbanding lurus dengan semangatnya untuk membebaskan diri dari berbagai kemaksiatan yang dilakukannya.”
Wallahu a’lam.
0 comments