AJARKAN ANAKMU SHALAT
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Muqadimah
“Perintahkanlah anakmu untuk mengerjakan shalat ketika dia berumur tujuh tahun, dan pukullah dia j(ika tidak mau mengerjakannya) ketika berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur.” (HR. Abu Dawud, no. 495)
Demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabatnya dan kepada umatnya seluruhnya. Karenanya, wajar jika para shahabat betul-betul mengamalkan hadits tersebut dalam kehidupan mereka.
Di antara para shahabat yang dengan tegas mengamalkan hadits ini adalah shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu-. Alkisah, Abu Bakar Ash-'Shiddiq –radhiyalllahu ‘anhu- hendak berangkat menuju masjid untuk menjadi imam shalat. Ketika melewati rumah putranya Abdullah, ia mendengar suara candaan mesra Abdullah dengan istrinya Atikah, seorang wanita yang cantik shalihah, yang baru saja dinikahi anaknya beberapa waktu lalu. Abu Bakar berlalu saja menuju masjid, dengan harapan sang anak akan segera menyusul bersama orang-orang beriman lainnya untuk melaksanakan shalat fardhu berjama’ah.
Begitu selesai mengimami shalat, yang pertama kali dicari Abu Bakar dari jama’ahnya adalah anaknya, Abdullah. Namun Abdullah tidak ada diantara para jama’ah lainnya. Ketika pulang, Abu Bakar melewati rumah anaknya kembali, masih terdengar suara canda mesra penuh kebahagiaan dari sepasang pengantin baru. Abu Bakar beristighfar berkali-kali, dengan pelan ia ketuk pintu rumah anaknya.
Abdullah begitu terpengarah melihat yang datang adalah ayahnya. Begitupun Atikah. Kepada Abdullah, Abu Bakar berkata: “Wahai anakku, kamu dapatkan kebahagiaan duniawi bersama istrimu, tapi engkau lalaikan perintah Allah, engkau lalaikan shalat berjama’ah”
“Dan kau Atikah, engkau tidak bisa membahagiakan anakku. Kecantikamu, keikhlasanmu untuk berbakti kepada suami, telah menyebabkan suamimu lalai dalam mengerjakan shalat berjama’ah.”
“Maka hari ini.” Kata Abu Bakar kepada Abdullah, “Ceraikanlah istrimu! Pisahkan dia dari tempat tinggalmu. Talak dia! Dan anggap dia seperti wanita yang lain juga.” Ujar Abu Bakar tegas. Kedua pasangan itu pun pucat pasi. Abdullah pun akhirnya menceraikan Atikah.
Waktu berjalan. Abu Bakar melihat perubahan pada anaknya. Abu Bakar melihat penderitaan seorang suami yang terpaksa menceraikan istri yang sangat dicintainya. Sampai suatu hari, Abu Bakar mengizinkan Abdullah untuk rujuk kepada Atikah. Melainkan dengan syarat, jadikan ini pelajaran. “Jadikan ini sebagai pelajaran kecintaan kepada jihad fi sabilillah diatas kecintaanmu kepada siapa saja, termasuk kepada istrimu Atikah.”
Jika seluruh kaum muslimin memiliki tabi’at sebagaimana Abu Bakar, mungkin hari ini tidak ada kaum muslimin yang berani meremehkan shalat apalagi sampai meninggalkannya.
Pentingnya Peranan Kedua Orang Tua
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Demikian kata bijak Indonesia. Jika sebagai orang tua meremehkan, melalaikan, bahkan meninggalkan shalat maka jangan kaget jika kita akan mendapatkan anak-anak kita juga demikian. Wal’iyadzubillah. Orang tua adalah cermin bagi anak-anaknya. Apa yang dilakukan oleh orang tua banyak sedikit akan ditiru oleh anak-anaknya.
Shahabat Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Barangsiapa meremehkan shalat, maka terhadap urusan lain diluar shalat dia pasti lebih meremehkannya.”
Kedua orang tua yang meremehkan shalat, maka terhadap urusan keluarganya, anak-anak dan istrinya, dia pasti lebih meremehkan. Hal ini dikarenakan shalat adalah kewajiban yang agung dan pokok.
Allah Ta’ala telah menyebutkan shalat sebagai bukti pertama atas kesyukuran seorang hamba kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-:
“ Sesungguhnya amal badaniyyah yang terbesar adalah Shalat”.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah Shalat dan puncak tertingginya adalah Jihad di jalan Allah Ta’ala”.
Dan shalat termasuk amalan pertama yang akan dihisab oleh Allah Ta’ala atas setiap muslim pada hari kiamat.
Rasulullah bersabda:
“Yang pertama sekali akan di hisab atas seorang hamba adalah shalat. Jika baik shalatnya maka baiklah seluruh amalnya, bila rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalnya.”
Shalat juga merupakan pembeda antara seorang mukmin dengan seorang kafir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Perjanjian anatara kita dan dan mereka adalah shalat; barang siapa yang meninggalkannya maka benar-benar ia telah kafir”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Shalat juga merupakan perkara di dalam Islam yang terakahir, yang akan banyak ditinggalkan oleh umatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tali Islam akan terurai (terlepas) seikat demi seikat, apabila terlepas satu ikatan maka akan terlepas iakatan selanjutnya, yang pertama kali terlepas adalah hukumnya dan yang terakhir adalah shalat”.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala, :
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu nya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam :59)
Maka Allah Ta’ala mengingatkan kaum mukminin agar tidak menjadi generasi-generasi yang menyia-nyiakan shalat, lebih-lebih menjadi generasi yang tidak memperdulikan shalat. Karena kelak mereka akan menemui kesesatan dan adzab yang pedih. Allah Ta’ala berfiman :
“Apakah yang memasukkan kalian kedalam Saqar (neraka)? * Mereka menjawab:“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat * Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin * Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama orang-orang yang membicarakannya * Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan * Hingga datang kepada kami kematian * (QS. Al-Mudatstsir : 42-47)
Demikianlah Allah Ta'ala memberikan peringatan kepada kita agar kita tidak termasuk dari orang-orang yang meninggalkan dan melalaikan shalat. Maka barang siapa yang meninggalkan shalat dan menyiakan-nyiakannya pastilah ia akan mendapatkan kesulitan, kesempitan bahkan kesesatan didalam hidupnya.
Maka seorang ayah tidak akan mungkin menjadi ayah yang baik bila ia melalaikan shalat, seorang ibu tidak akan mungkin menjadi ibu yang sholihah bagi anak-anaknya bila ia melalaikan shalat, seorang anak tidak akan mungkin menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah bila ia meninggalkan shalat. Seorang pemimpin tidak akan pernah menjadi pemimpin yang baik bagi rakyatnya bila ia menyia-nyiakan shalat, seorang bawahan juga tidak akan menjadi pekerja yang baik bila ia melalaikan shalat.
Mengapa Kita Ajarkan Anak Kita Shalat?
Pertama: Karena itu merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menaati segala perintah Allah merupakan inti dari keislaman kita. Inti dari keislaman adalah mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hai orang–orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Allah juga berfirman, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu.” (QS. Thaha: 132)
Kedua: Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan hal itu, beliau bersabda,
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada usia sepuluh tahun jika mereka meninggalkannya.” (HR. Ahmad)
Ketiga: Untuk membebaskan tanggung-jawab dan dosa, serta sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban orang tua kepada anaknya. Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang memiliki budak yang masih kecil, anak yatim, atau anak kecil, tetapi tidak menyuruh mereka untuk melakukan shalat, maka orang tua itu akan dihukum dengan hukuman yang berat, karena dia telah membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.”
Keempat: Karena shalat merupakan media komunikasi antara hamba dengan Rabbnya. Jika kita khawatir dengan berbagai macam kejahatan dan penyakit yang mungkin saja bisa menimpa anak-anak kita, lalu kita berupaya untuk melindungi kehidupan mereka dari berbagai sisi, maka bagaimana kita bisa merasa aman dan tenang terhadap mereka, jika mereka enggan berkomunikasi dengan Allah?
Di sisi lain, betapa besar ketenangan dan kebahagiaan kita, jika kita melihat buah hati atau anak kesayangan kita senantiasa berkomunikasi dengan Allah, bertawakal kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya?
Kelima: Jika kita khawatir terhadap bencana-bencana dunia yang mungkin saja bisa menimpa anak-anak kita, lalu mengapa kita tidak khawatir terhadap siksa api neraka jahannam yang akan menimpa mereka jika mereka meninggalkan shalat? Atau, bagaimana bisa kita membiarkan mereka menjadi penghuni Neraka Saqar yang tidak meninggalkan dan tidak membiarkan orang yang diazab di dalamnya?
Keenam: Karena shalat merupakan cahaya.
Perhatikan dan renungkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, “Dan dijadikan penyejuk hatiku itu dalam shalat.” (HR. An-Nasa`i dan Ahmad) juga sabda beliau yang ini, “Puncak perkara dalam Islam dan tiangnya adalah shalat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dan shalat merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Ketujuh: Karena anak-anak kita merupakan amanah yang telah Allah karuniakan kepada kita.
Dan kita sangat mengharapkan anak-anak kita menjadi anak yang shalih, dan mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan agama dan dunia mereka.
Kedelapan: Karena anak-anak kita merupakan tanggung jawab yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ketika kita berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita akan dimintai pertangggungjawaban mengenai anak-anak kita.
Kesembilan: Karena shalat akan menjauhkan anak-anak kita dari kekafiran dan kemunafikan ketika mereka beranjak dewasa,
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam,
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya maka dia sungguh telah kafir” (HR. Bukhari) (Disari dari kitab Kaifa Nuraghghibu Aulaadina fis Shalat, karya DR. Amani Zakaria Ar-Ramady, Dosen Fak. Adab, Univ. Aleksandria, Mesir).
Wallahu A’lamu bish Shawab.
0 comments