DIHALALKANNYA JIMA’ DI MALAM HARI BULAN RAMADHAN

Posted by newydsui Sunday, September 5, 2010
DIHALALKANNYA JIMA’ DI MALAM HARI
BULAN RAMADHAN

Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Tafsir Ayat dan Asbabun Nuzul

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Ini adalah rukhshah (keringanan) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum muslimin. Dan juga mengangkat beban yang ada pada diri kaum muslimin pada awal-awal Islam, yaitu mereka hanya dibolehkan minum, makan, dan melakukan hubungan suami istri hingga datang waktu Isya` saja. Apabila mereka telah melaksanakan shalat Isya` maka tidak dibolehkan lagi mereka untuk minum, makan, dan melakukan hubungan suami-istri hingga pagi hari. Tentunya hal demikian sangat memberatkan kaum muslimin.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Ishaq ia berkata, “Aku telah mendengar Al-Barra` -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Ketika turun ayat perintah shaum Ramadhan mereka para shahabat sama sekali tidak mendekati istri mereka selama satu bulan penuh. Padahal kaum pria tidak mampu menahan hawa nafsu mereka, maka turunlah ayat tersebut diatas.
Ali bin Abi Thalhah –rahimahullah- berkata, “Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata, ‘Pada (awal Islam) kaum muslimin apabila telah melaksanakan shalat Isya` di bulan Ramadhan, maka diharamkan bagi mereka makan dan mendatangi istri mereka hingga malam berikutnya. Kemudian ada sebagian kaum muslimin yang makan dan mendatangi istrinya setelah shalat Isya`, diantara mereka adalah Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu-, kemudian mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu turunlah ayat diatas’.”

Larangan Mendatangi Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah dia berkata : Ketika kami duduk di sisi Rasulullah tiba-tiba datang laki-laki kepada Nabi seraya berkata : “Celaka saya ya Rasulullah”. “Kenapa kamu celaka ?”, Tanya Rasulullah. Laki-laki itu menjawab : “Saya telah bersetubuh dengan isteri saya pada siang hari Ramadhan.” Rasulullah bertanya : “Sanggupkah kamu memerdekakan seorang budak ?”. “Tidak “,jawab laki-laki itu. “Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, Tanya Rasulullah pula. “Tidak”, jawabnya. “Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin ?”, Tanya Rasul. Dan laki–laki itu pun tetap menjawab : “Tidak”. Kemudian ia duduk, maka datanglah Nabi dengan membawa sebakul kurma seraya berkata : “Sedekahkanlah kurma ini”, kata Nabi. “Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami ya Rasulullah, padahal tidak ada satu warga pun di kampung kami yang lebih miskin selain kami”, kata laki-laki itu menerangkan. Dan Nabi pun tersenyum sampai kelihatan gigi gerahamnya, lalu beliau katakan : “Pulanglah, berikan kurma ini kepada keluargamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Fiqhul Hadits di Atas

1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
2. Lafadz “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’.
3. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.
4. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.
5. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
6. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red). Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
7. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
8. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
9. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
10. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
11. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
12. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
13. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
14. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
15. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
16. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya. Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
Wallahu A’lamu bish Shawab.

Reference:
1. Tafsir Ath-Thabari, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2. Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir.
3. Risalah Ramadhan, Ma’had Aly An-Nuur.
4. www.salafy.or.id
5. Dan lain-lain.

0 comments

Post a Comment

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers