Menghargai Yang Nampak Tidak Berharga
Yang akan saya sampaikan ini adalah kisah nyata, sebagaimana yang disampaikan seorang penulis dalam sebuah bukunya. Saya sampaikan kembali dengan sedikit perubahan.Ada seorang ustadz yang tinggal di sebelah mushalla perumahan. Ia seorang penghafal Al Qur’an, suaranya merdu. Selama masih ada beliau, dialah yang menjadi imam di mushalla tersebut. Namun pada suatu malam, saat shalat isya’ ustadz tersebut tidak datang untuk mengimami. Ternyata ustadz sedang sakit. Ketika jamaah masjid datang menjenguk, beliau sedang memegang perutnya sambil meringis menahan rasa sakit. Ustadz menerangkan bahwa beliau sedang mengalami gangguan pencernaan, sudah tiga hari tidak bisa kentut dan buang air besar.
Karena sakitnya sudah tidak tertahankan, akhirnya malam tersebut ustadz dibawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter memutuskan ustadz harus dioperasi untuk menyembuhkan penyakitnya. Operasi akan dilakukan esok harinya sekitar jam sepuluh. Malam itu ustadz harus menginap di rumah sakit.
Ustadz ditempatkan di ruang biasa yang menampung beberapa pasien. Ternyata di raung tersebut ada seorang pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan ustadz, dan juga akan menjalani operasi. Ustadz mendapat giliran operasi setelah orang tersebut. Sambil menunggu giliran beliau banyak berdzikir dan memanjatkan doa agar diberi kemudahan dalam proses operasi dan penyekitnya agar segera sembuh. Namun sebagai manusia, tetap saja ada rasa khawatir. Berbagai pikiran berputar-putar di otaknya, apakah setelah di operasi ia akan benar-benar sembuh? Berapa banyak biaya yang akan ia keluarkan?
Selesai orang itu menjalani operasi, ustadz bertanya kepadanya berapa biaya yang ia keluarkan? Dengan santai ia menjawab: 8 juta lebih.. dan semuanya ditangguh oleh kantor. Jawaban itu selain mengagetkan beliau, juga membuatnya merasa sendirian. Penyakit boleh sama namun nasib ternyata berbeda. Kalau dia seluruh biaya yang menanggung kantor, sedang dirinya? Ia sendiri yang akan menanggung biayanya. Ia tidak menyangka uang tabungannya selama ini hasil mengajar di sebuah SMA akan segera terkuras habis untuk membiayai operasi ini.
Tak hanya kaget, mendengar angka tersebut membuat perut ustadz mual. Mual dalam arti sesungguhnya, perutnya bergejolak hebat. Dan tiba-tiba…Duuut! Ustadz mengeluarkan kentut! Benar-benar kentut! Setelah itu, dengan cepat sakit perutnya hilang. Panas di badannya berangsur turun. Ustadz hampir tak percaya dengan kejadian itu. Iapun akhirnya tidak menjalani operasi. Beberapa jam kemudian, ustadz benar-benar sembuh. Tubuhnya normal secara total sebagaimana sebelumnya. Akhirnya beliaupun diperbolehkan pulang. Ya, pulang tidak jadi menjalani operasi gara-gara kentut. Kentut seharga 8 juta lebih. ..
Nikmat itu bernama kentut
Pembaca, setelah membaca kisah di atas saya yakin Anda akan tersenyum bahkan boleh jadi tertawa lebar. Ada satu hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas yaitu besarnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, meski terkadang nikmat tersebut kita anggap remeh dan boleh jadi kelihatan menjijikkan dan membuat rasa malu, contohnya kentut. Kentut sebenarnya adalah hal yang sangat sangat alamiah. Kentut walaupun pada dasarnya terdiri dari gas-gas yang tidak beracun namun jikalau banyak ditahan gas dalam perut ini akan menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan dapat menimbulkan rasa sakit di dalam perut, karena gas mempunyai tekanan, semakin banyak gas yang terkumpul tentu semakin besar tekanan gas pada dinding usus yang tentu dapat menghasilkan rasa sakit. Ternyata hal sekecil apapun bisa mengandung hikmah dan nikmat tersendiri.
Meneladani Hatim Al Asham
Kentut meski sepele ternyata merupakan nikmat yang luar biasa. Buktinya, berapa banyak orang masuk ke rumah sakit gara-gara tidak bisa kentut. Tapi terkadang banyak diantara kita yang justru mempermalukan atau memperolok-olok orang yang tidak sengaja mengeluarkan kentut. Padahal sebenarnya kita mampu untuk menutupinya. Mari kita lihat bagaimana sosok seorang ulama’ yang begitu menjaga kehormatan saudaranya muslim meski berkaitan dengan hal yang sepele yaitu kentut.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Rahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al Asham, dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki Al Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang hingga ia dijuluki dengan Al Asham.
Hatim Al Asham adalah orang yang sangat sopan dan juga dermawan. Pada suatu hari datanglah seorang wanita kepadanya untuk meminta sesuatu. Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan kentut dengan sedikit keras dihadapan Hatim Al Asham, maka wanita itupun menjadi salah tingkah, tetapi Hatim Al Asham adalah orang yg baik, ia mengerti bagaimana perasaan wanita, tentu wanita ini sangat malu dengan suara kentutnya yg lumayan keras, jadi Hatim pura-pura tidak mendengar kentut wanita itu.
Hatim Al Asham berkata: “Hai fulanah, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yg kamu bicarakan,” Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu menyangka bahwa Hatim tidak mendengar kentutnya yg membuat dirinya malu itu. Kemudian wanita itu pun mengulangi ucapannya dengan agak keras dan Hatim pun menjawabnya dg suara agak keras pula.
Setelah urusan mereka beres, wanita itu pulang dengan gembira dan ia tidak malu lagi dengan suara kentutnya karena ia sudah pastikan bahwa Hatim Al Asham tidak mendengarnya. Semenjak peristiwa itu, dan sampai 15 tahun (selama wanita itu masih hidup), Hatim Al Asham selalu berpura-pura tuli, dan selama itu pula tidak ada seorangpun yg menceritakan kepada wanita itu bahwa sebenarnya pendengaran Hatim Al Asham masih normal selayaknya orang lain.
Sungguh begitu baik budi pekerti Hatim, sehingga ia rela untuk berpura-pura selama 15 tahun demi menjaga nama baik dan perasaan wanita itu. Setelah wanita itu meninggal dunia, Hatim Al Asham sudah tidak berpura-pura tuli lagi, jika ditanya orang lain, dia dapat menjawabnya dengan mudah, tapi ia selalu mengatakan : "Berbicaralah yg keras!", kata-kata itu sudah menjadi kebiasaannya, karena sudah 15 tahun lamanya ia selalu mengucapkan hal itu kepada siapa saja yang menjadi lawan bicaranya. Semenjak peristiwa itu, maka Hatim diberi gelar AL ASHAM yg artinya si tuli, jadi Hatim Al Asham berarti Hatim yg tuli.
0 comments