Orang Muslim Harus Kaya!
Oleh: Ryan Arief Rahman
Urgensi Harta Oleh: Ryan Arief Rahman
Saat ini, di dunia belahan manapun, tidak barat tidak juga timur, entah muslim, entah bukan, semua berbondong bondong memburu kekayaan/harta. Harta tak kenal suku, ras, apalagi agama dan diantara jenis harta kekayaan itu adalah uang.
Uang telah menjadi barang yang sangat berharga bahkan paling berharga. Mengapa? Karena dengan uang seluruh kebutuhan bisa tercukupi, rumah, makan, sekolah, mobil, emas, perhiasan dan lain sebagainya. Bahkan, konon, iman pun bisa dibeli dengan uang. Na’udzubillah! Kemudian wajarlah bila uang pada akhirnya bisa menguji sejauh mana ketangguhan dan kadar kualitas iman seseorang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
كاد الفقر أن يكون كفرا
“ sesungguhnya kekafiran (kemiskinan) itu bisa menjerumuskan ke jurang kekafiran.” (Hadist ini dhaif menurut Syaikh Al-Bānī. lihat silsilah ad dhaīfah, no 4080)
Sesungguhnya uang, bisa menghasilkan rahmat dan benar benar menjadi nikmat yang luar biasa manakala diperoleh dan dibelanjakan dengan baik dan benar. Namun sebaliknya uang bisa pula menjadi laknat dan menambah sengsara manakala diraih dan dibelanjakan dengan buruk. Ketika uang digunakan untuk kebaikan semisal bersedekah, menunaikan ibadah haji dan umrah, berjihad, membantu fakir miskin, membangun masjid, pesantren, untuk beribadah, untuk meningkatkan kualitas iman, untuk membangun sarana-sarana yang mendatangkan kemaslahatan umat, dan lain sebagainya, maka seperti gula yang selalu dicari dan disesaki semut, anda akan disenangi oleh siapapun. Tapi bila uang digunakan untuk kemungkaran, minum minuman, mabuk mabukan, main perempuan, menindas dan memperbudak du’afa, untuk berfoya foya dan menyenangkan hawa nafsu dan lain sebagainya, ia akan menjelma racun yang siap membunuh kapan saja, bahkan dapat mendatangkan murka Allah, dan hanya neraka jahanamlah balasannya.
Ringkasnya, kaya harta menjadi suatu keharusan bagi setiap muslim. Yakni menjadi orang yang mampu, berkualitas, dan bisa menangani seluruh persoalan hidupnya dengan mandiri. Keharusan tersebut karena salah satu rukun islam adalah ibadah haji yang mempersyaratkan setiap muslim yang menjalankannya harus dengan kemampuan lahir dan batin, kemampuan materi dan non materi, kemampuan fisik dan psikis, juga karena banyak jenis ibadah yang hanya dapat direalisasikan secara sempurna dengan tersediannya uang atau harta.
Kaya Harta Dalam Tinjaun Syar’i
Tak ada dosa bagi kita untuk mengharap banyak uang, selama niat kita suci. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al Hākim dan dinilai shahih oleh Imam Ahmad dan Adz Dzahabī, diceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw memanggil Amru Bin Ash. Beliau bermaksud menyuruhnya memakai baju besi dan membawa senjata. Ketika Amru Bin Ash datang, nabi saw menatapnya dan berkata, ‘aku mengutusmu pergi berekspedisi dimana kau akan mendapat banyak harta rampasan, dan kau akan kembali dengan selamat, kuharap kau kembali membawa banyak harta.” Amru Bin Ash menjawab, “wahai Rasulullah! Aku memeluk islam bukan untuk memperkaya diri, melainkan karena semangat mulia islam.” Nabi saw menjawab, “Amar! Sunggguh terpuji, harta yang suci itu bagi orang orang yang shalih.!”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibn Mājah dan dinilai shahih oleh Al Bānī, Rasulullah saw bersabda,” tidak ada mudarat (kurasakan, bahaya) dalam harta bagi mereka yang bertaqwa, tetapi kesehatan itu lebih baik dari pada menjadi kaya bagi mereka yang bertaqwa.”
Sesungguhnya terang sekali ajaran nabi Muhammad saw tentang harta/uang. Seluruhnya telah diatur sedemikian gamblangnya. Dari hadist rasulullah saw di atas kita sepatutnya mengerti, betapa nabi saw tidak tabu membicarakan soal harta atau soal uang. Namun, hal itu bukan bukan berarti beliau saw meterialistis, tetapi beliau faham bahwa perjuangan islam membutuhkan biaya dan dana tidak sedikit. Dalam sebuah perjuangan dibutuhkan biaya.
Jer basuki mawa beya, kata falsafah jawa. Bagaimana kita bisa menjaga muru’ah (harga diri) dan izzah (kehormatan) islam jika untuk membangun pesantren, membangun masjid, dan membangun sarana sarana insfrastruktur islam dengan cara, maaf, ”mengemis”. Sepatutnya kita prihatin dan malu, saudara saudara kita seiman banyak sekali yang ”mengemis-ngemis” di terminal-terminal, di bu-bus, di kereta api, bahkan ada yang door to door untuk membangun sarana ibadah. Mereka jual murah ayat ayat Allah dengan kocek kocek recehan. Murah sekali harga kita, padahal Rasulullah saw tidak mengajari hal demikian. Kata Rasul saw, ”seorang pemberi itu lebih baik ketimbang peminta-minta.” Rasulullah saw sendiri adalah seorang pekerja keras, beliau tidak pernah meminta materi kepada para sahabat. Bahkan seluruh harta kekayaan beliau saw seluruhnya diabdikan untuk fi sabilillah, jalan Allah. Itulah kenapa para sahabat juga gemar menafkahkan hartanya di jalan Allah.
Uang atau harta itu penting untuk mengerjakan ibadah. Bagaimana anda bisa shalat dengan tenang kalau perut anda lapar, kalau anak anda menangis terus meminta susu, sementara anda tidak bisa membelinya. Bagaimana anda bisa bersedekah, menyantuni fakir miskin, berhaji ke baitullah dan menyekolahkan anak anda kalau anda tak punya uang sama sekali, tak punya harta sama sekali. Dan bagaimana anda bisa berdakwah di pedalaman irian jaya sementara anda untuk berangkat saja anda tidak punya.
Pembaca budiman..
Jadi, tidak ada salahnya kita mengharap dan mencari uang, asalkan niat dan cara mendapatkannya benar dan halal. Harta kekayaan bagi kita sangat berguna untuk menopang hidup. Dan jika kita mempunyai kelebihan harta, bisa kita belanjakan dalam hal kebaikan demi mengharap ridha Allah. Untuk alasan inilah Nabi saw menyatakan bahwa, “ harta itu merupakan kekayaan terpuji, tetapi hanya bagi orang yang shalih, karena hanya orang shalih yang akan menggunakan kekayaannya secara bijaksana, tidak dikotori rasa egois yang akan menghilangkan berkah dariAllah.” Beliau saw juga bersabda, “uang itu hijau dan lezat (seperti buah yang lezat), maka bagi siapa yang mengambilnya dengan benar, niscaya pertolongan besar baginya.!” (H.R. Muslim dan Turmudzi)
Realistis sekali sabda Rasulullah saw di atas. Ya, uang sangat memikat hati siapa pun. Tidak pebisnis, tidak pegawai, tidak presiden, tidak rakyat jelata, tidak gali, tidak juga seorang ustadz. semua butuh uang. Benar, uang itu lezat. uang itu hijau, segar dan membutakan mata siapa saja (yang tidak beriman). uang bisa merubah seorang yang pernah berpredikat ustad/kiai menjadi gali, karena terlibat skandal korupsi.
Sama sekali tidak ada kebohongan dalam sabda Rasul saw itu. Uang yang diraih dengan benar dan halal, apalagi dalam jumlah yang berlimpah, ia akan mendatangkan pertolongan yang besar dan anda bisa membayar seluruh hutang anda. Hidup anda menjadi lebih tenang. Anda bisa membahagiakan istri, anak, keluarga dan sahabat sahabat anda. Anda bisa berinfaq dan bersedekah, anda bisa membangun pesantren anda, membangun panti asuhan anda, membangun masjid anda tanpa harus menjaul ayat ayat Allah di bus-bus maupun di jalan -jalan.
Islam itu mulia dan elegan, maka harus ditegakkan dengan cara cara yang mulia dan elegan, jangan sebaliknya. Kalau anda miskin, bagaimana anda bisa berdakwah dengan mulia dan elegan. Mungkin hati anda memang baik, mulia dan mau berdakwah dalam arti sesungguhnya, tapi karena anda miskin, bagaimana sikap orang terhadap dakwah anda: “ah…ujung ujungnya paling paling mau minta sumbangan untuk membangun masjid dan pesantren,” kata mereka menggrutu. Tapi coba kalau anda kaya raya. Materi anda sudah berlimpah karena bisnis anda yang pesat, kemudian anda mau berdakwah, bersahaja pula, orang-orang pasti salut dan ta’dzim pada anda.
Dari pemaparan sederhana di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa uang bisa mendatangkan pertolongan besar bagi kita. Apalagi jika kita punya uang banyak alias kaya raya, tapi mau berdakwah dan bersahaja. Pertolongan itu semakin besar saja rasanya.
Hadist yang penulis setir di atas sungguh hanyalah memberitahukan kita tentang kegunaan uang yang sebenarnya. Yakni uang bisa menjadi alat yang membantu kita menyembah Allah. Dalam uang yang diperoleh dengan benar terdapat berkah yang banyak, berkah itu dapat membantu seseorang untuk lebih yakin dalam menyembah Allah swt. Uang yang berkah juga bisa mempermudah orang yang beriman dalam mencari ridha Allah. Surga Allah pun akan lebih mudah digapai jika kita memiliki uang yang berkah. Karena itulah, mencari, menyimpan dan melindungi uang, semua bisa menjadi amal ibadah, jika dilakukan dengan benar dan dengan tujuan yang suci.
Atas dasar hal seperti itulah, Rasulullah saw terbiasa memohon rahmat Allah berupa rizki yang cukup dan memohon perlindungan Allah dari kemiskinan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan telah dinilai shahih oleh Al-bānī, diceritakan bahwa usai sholat lima waktu, Rasulullah saw berdo’a, “Ya Allah! Karuniakanlah kepadaku ilmu, rizki yang halal, dan amal perbuatan yang Engkau ridhai.”
Di hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Ahmad, bahkan disebutkan bahwa Rasulullah selalu berdoa memohon perlindungan dari kemiskinan dan kekufuran sebanyak tiga kali setiap matahari terbit dan terbanam. Doa Rasulullah saw, “ duhai Allah! Aku memohon perlindungan-Mu dari kemiskinan dan kekufuran, aku juga memehon perlindungan-Mu dari siksa kubur. Tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Engkau, ya Allah.”
Bukan cuman itu doa Rasulullah, dahsyatnya lagi, menurut riwayat Imam Muslim beliau saw sebelum tidur selalu menutup hari dengan membaca do’a, “ya Allah! Lunasilah hutang hutangku dan jauhkanlah aku dari kemiskinan.”
Jelas Rasulullah saw mengajari kita agar memohon perlindungan dari kemiskinan dan kekufuran. Karena seperti penulis jelaskan di awal tulisan, kemiskinan itu dekat sekali dengan kekufuran. Muslim miskin itu lebih gampang dibeli imannya ketimbang muslim kaya. Bahkan untuk soal kemiskinan dan kekufuran ini, Rasulullah salalu berdoa sebanyak tiga kali, pagi sore hari. Ini menandakan betapa sungguh sungguhnya beliau saw memohon. tak cukup pagi-sore, setiap usai sholat dan menjelang tidur Rasulullah saw juga berdo’a dengan permohonan yang serupa.
Sekali lagi, Rasulallah tidak main main dalam menyuruh umatnya agar kaya dan bertaqwa. Beliau saw sungguh sungguh memerangi bahaya laten kemiskinan yang bisa menjerumuskan pada kekafiran. Diriwayatkan At Tabrany bahwa Rasulallah saw bersabda kepada seorang sahabat bernama Ubadah Bin Samit, ”mintalah perlindungan Allah dari kemiskinan, kemelaratan dan orang orang yang menyalahimu atau engkau menyalahi orang lain.”
Dalam riwayat imam Al-Bukhārī dan An-Nasā’i Rasulullah bercerita kepada para sahabat, beliau bercerita, “suatu ketika Nabi Ayyub as sedang mandi. Saat mandi itu, butir butir emas jatuh dari tubuhnya. Maka beliau as mengumpulkan butir butir emas itu dalam pakaiannya. Allah berseru kepadanya, “wahai ayyub! Tidakkah Aku memberimu harta kekayaan?” “benar, wahai Tuhanku, akan tetapi hamba tidak pernah merasa cukup dari nikmat nikmatMu!” jawab Ayyub as.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bāry mengomentari hadist tersebut dengan sangat bijak. Katanya,” hadist itu menunjukan kebolehan bagi seseorang untuk menambah harta kekayaannya dengan cara yang halal. Namun hal itu ditujukan bagi orang yang yakin bahwa ia mampu bersyukur kepada Allah dengan harta kekayaan itu.” Hadist tersebut menunjukan keutamaan orang yang kaya yang mau bersyukur kepada Allah swt.
Apa yang bisa kita petik dari ajaran Rasulullah saw di atas? Bahwa siapa pun di dunia ini normalnya memang bersemangat mengumpulkan harta kekayaan. Seorang Nabi Ayyub yang dikenal “penyabar” saja mengakui hal itu. Artinya tidak ada larangan alias diperbolehkan anda mengumpulkan harta kekayaan. Allah tidak mengharamkannya. Selama hal itu justru menambah rasa syukur anda atas nikmat dan karunia-Nya.
Berkah Adalah Substansi Harta Kekayaan
Sesungguhnya yang seharusnya kita cari dari harta kekayaan adalah keberkahannya. Harta yang berkah adalah harta yang semakin mendatangkan kemaslahatan ummat. Harta yang semakin mempererat tali rumah tangga, memperkukuh tali kasih dengan keluarga, tetangga, teman dan lain sebagainya. Harta yang berkah adalah harta yang semakin mendekatkan kita kepada Allah. Jadilah kita orang yang tidak kaya secara materi saja, tapi juga kaya hati dan ruhani.
Hidup bercukupan, dicintai keluarga, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga dan orang-orang di sekitar kita pastilah sangat menyenangkan. Itulah buah keberkahan harta. Untuk melatih hambaNya agar bisa memperoleh keberkahan harta, Allah telah memberikan resep agar kita amanah dalam menjaga harta anak yatim. Allah mentraining kita supaya melindungi dan mengendalikan harta anak yatim itu sampai dewasa dan mampu mengurus harta kekayaannya sendiri. Simaklah firman Allah,
وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. 4:5)
Kalimat “janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya” di ayat itu, menunjukan betapa Allah telah menganggap harta anak yatim dengan ‘hartamu’. Kata ‘hartamu’ berarti bahwa harta anak yatim seolah olah adalah sebagai harta anda. Meski sejatinya memang bukan milik anda. Karena harta anak yatim merupakan ‘hartamu’ maka anda berhak mengelolanya untuk apa saja, asalkan untuk kebaikan si anak yatim, dan dikelola dengan baik. Dengan begitu, jelas sekali bahwa anda di training langsung oleh Allah agar melindungi harta anak yatim itu dengan seoptimal mungkin. Jika anda lulus, maka untuk mengelola harta sendiri, insya Allah semua jadi lebih mudah.
Mengomentari ayat tersebut Syaikh Ibn Qayyim Al Jauziyah berpendapat bahwa, ayat itu menunjukan betapa Allah sangat meninggikan kedudukan harta (uang). Sehingga kita harus menjaga dan mengelolanya dengan baik. Uang, harta dan kekayaan memanglah tinggi kedudukannya. Karena itulah harus di jemput dengan sungguh-sungguh. Kata Sa’id Bin Musayyib, ”tidak ada kebaikan bagi pemalas yang tidak mau mencari uang (harta). dengan uang seseorang bisa melindungi kehormatannya, dan bermurah hati pada keluarganya.” Bahkan Rasulullah saw sendiri memerintahkan kita agar meninggalkan generasi kita dalam keadaan tercukupi secara materi, sehingga iman mereka tidak mudah tergadaikan. Rasulullah saw wafat memang tidak meninggalkan uang/harta yang banyak, tapi tak ada keluarganya dan ummatnya yang kelaparan sepeninggal beliau. karena itulah sepeninggal beliau islam semakin maju dan ekspansif. Hal itu karena ditopang oleh ekonomi yang kuat.
Ulama-ulama kita terdahulu, tatkala meninggal dunia, meninggalkan iman yang kukuh dan materi yang cukup kepada keluarganya. Sekedar contoh, saat meninggal dunia, Sa’id Al Musayyib mewariskan uang sebanyak 400 dirham kepada keluarganya. Sufyan Ats Tsauri mewariskan 200 dirham. Bahkan beliau berkata, “uang itu laksana senjata. Generasi awal terus menerus menghargai uang dan menabungnya untuk memenuhi kebutuhan mendadak. Mereka membantu orang miskin dengan uang. Meski ada memang, sebagian dari mereka yang menolak. itupun demi menjaga ibadah mereka agar khusu’.”
Imam Abu Hanifah, salah satu imam madzhab empat sendiri, saat meninggal dunia konon mewariskan usaha konveksi dan konstruksi bangunan yang maju.
Itulah pentingnya keberkahan uang. Ia harus dijemput agar kita semakin taat dalam beribadah. Tapi bagi anda yang takut terjerumus jika memiliki uang, atau takut ibadah anda terganggu gara-gara uang/harta, kiranya jumputlah rizki sekedarnya. karena ada pula ulama yang berpendapat, ”lebih baik memliki uang sedikit, karena dengan uang sedikit orang itu akan dekat dengan kebenaran.” Tapi hemat penulis, kalau dengan uang banyak justru bisa lebih dekat dengan kebenaran, whay not? Sebab, nyatanya tidak sedikit saudara saudara kita yang sedikit uangnya justru terjerumus dalam tindak pidana. Wallahu a’lam.
Referensi
1. Abdurrazāq Bin Abdul Muhsin Al Badri, Fiqhu Al Ad’iyyatu Wa Al Adzkār (Kuwait: Maktabah Malik Fahad, 2003) Cetakan Pertama
2. Al-Asqalanī, Ibnu Hajar. Fathul Bāri Syarhu Shahīh Al Bukhāri (Beirut: Darul Fikr, 2000) Cet. pertama
3. An-Nawawi, Imam. Shahīh Muslim Bisyarhi An-Nawawi (Bairut Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2000)
4. Abadi, Syamsul Hak 'Azim. Aunul Ma'bud Bisyarhi Sunan Abi Daud (Ttp: Tp, 1979)
5. Asy-Syaukanī, Imam. Nailul Authar Syarhu Muntaqo Al-Ahbār (Ttp: Darul Fikir)
6. Al Bukhori, Imam. Shahih Bukhāry (Riyad: Darus Salam , 1997)
7. An Nasa’I, Imam. Sunan Annasa’i : Assugro (Riyad : Darus Salam, 1999) Cet Pertama.
8. Al-Albani, Imam, Silsilah Ad-Dha’ifah (Tt).. Http://Www.Ahlalhdeeth.Com
9. Daud, Abu. Sunan Abu Daud (Bairut: Daru Ibnu Hajam, 1998) Cet Pertama.
10. Muslim, Imam. Shahih Muslim (Riyad:Darus Salam, 1998) Cet Pertama.
11. Anif Sirsaeba, Berani Kaya, Berani Taqwa (Semarang: Penerbit Republika, 2005) Cetakan Kedua.
12. Khoerussalim, To Be The Moslem Entrepreneur (Jakarta: Al Kautsar, 2005) Cet Pertama.
0 comments