Hukum Bepergian/Tinggal Ke Negara Kafir
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya. “Apa hukum bepergian ke negara kafir ? Dan apa hukum bepergian untuk maksud wisata ?”
Jawaban.
Tidak boleh bepergian ke negara kafir kecuali dengan tiga syarat.
Syarat Pertama : Memiliki ilmu yang dapat membantah keraguan
Syarat Kedua : Memiliki pondasi agama yang kuat yang bisa melindunginya dari dorongan syahwat
Syarat Ketiga : Membutuhkan kepergian tersebut.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak boleh bepergian ke negara kafir karena bisa menimbulkan fitnah atau dikhawatirkan akan terkena fitnah, disamping hal ini merupakan penyia-nyiaan harta, karena pada perjalanan semacam ini biasanya seseorang mengeluarkan banyak uang, di samping hal ini malah menyuburkan perkenomian kaum kuffar.
Tapi jika ia memang memerlukannya, misalnya untuk berobat atau menuntut ilmu yang tidak tersedia di negaranya, sementara ia pun telah memiliki ilmu dan agama yang kuat sebagaimana kriteria yang kami sebutkan, maka tidak apa-apa.
Adapun bepergian untuk tujuan wisata ke negara-negara kafir, itu tidak perlu, karena ia masih bisa pergi ke negara-negara Islam yang memelihara penduduknya dengan simbol-simbol Islam. Negara kita ini, alhamdulillah, kini telah menjadi negara wisata di beberapa wilayahnya. Dengan begitu ia bisa bepergian ke sana dan menghabiskan masa liburnya di sana.
[Al-Majmu Ats-Tsamin, Juz I, hal 49-50, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 349-350 Darul Haq] http://abu-rabbani.blogspot.com
Bolehkah Seorang Muslim Tinggal di Negeri Kafir?
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan:
Bolehkah seorang muslim tinggal di negara yang bukan Islam dan bersungguh-sungguh dalam berdakwah, walaupun hijrah-nya dulu bukan untuk dakwah?
Jawaban:
Seorang muslim yang pindah dari negeri Islam ke negeri kafir bukanlah hijrah, karena yang dinamakan hijrah adalah berpindahnya seseorang dari negeri kafir ke negeri Islam.
Pada asalnya, hidup di negeri kafir tidak dibolehkan. Rasulullah bersabda,
اَلْمُسْلِمُ وَ الْمُشْرِكُ لاَ تَتَرَائَى نَارُهُمَا
“Api (dapur) orang muslim dan orang musyrik (tidak boleh berdekatan) sehingga satu dan yang lainnya bisa saling melihat.”
Jadi, seorang muslim tidak boleh bertetangga dengan musyrik dengan jarak yang dekat, sehingga nyala api masing-masing bisa saling terlihat. Nabi bersabda,
أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ مُسْلِمٍ سَاكِنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku berlepas diri dari seorang muslim yang menempati tempat tinggal kaum musyrikin.”
Beliau juga bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ -أَيْ خَلَطَ- فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barangsiapa yang bergaul dengan orang musyrik, maka ia sama dengan orang musyrik tersebut.”
Yaitu, sama dalam hal dosa, bukan dalam kekafiran. Adapun orang yang bepergian ke negeri kafir, kemudian ia tetap hidup di sanan sebagai seorang dai, maka hal ini bisa dibenarkan, dengan syarat dia mempunyai kekuatan dan hidup bersama komunitas muslim lainnya agar diri dan keluarganya serta keturunannya tidak terpengaruh oleh lingkungan orang-orang kafir.
Sumber: Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M, http://konsultasisyariah.com
0 comments