Oleh : Imtihan asy Syafi'i
Di antara amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan pada bulan Ramadhan, terutama pada 10 hari yang terakhir adalah i’tikaf. Rasulullah saw dan para sahabat hampir tidak pernah melewatkannya. Bahkan pada tahun beliau wafat, Rasulullah saw beri’tikaf selama 20 hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurayrah ra. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan praktik i’tikaf Rasulullah saw dan para sahabat, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, agar kita dapat meneladani beliau dan para sahabat. Agar kita tidak merasa sudah beribadah dengan benar, padahal ternyata masih ada yang tidak tepat atau bahkan menyelisihi Sunnah.
Definisi dan Disyariatkannya I’tikaf
I’tikaf adalah menetap dan tinggal di masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Dalil disyariatkannya, selain i’tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang dilaksanakan oleh Nabi saw, Allah juga mengisyaratkan anjuran i’tikaf dalam firman-Nya,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kamu menggauli mereka itu (istri-istrimu), sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
I’tikaf disyariatkan bagi semua mukallaf, laki-laki dan perempuan. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan). ‘Aisyah sendiri kemudian meminta izin untuk ikut beri’tikaf, dan beliau pun mengizinkannya.
Masih dari ‘Aisyah, sepeninggal Rasulullah saw istri-istri beliau juga biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Riwayat ini juga disampaikan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Namun demikian, wanita dibolehkan melakukan i’tikaf dengan memenuhi dua syarat. Pertama, mendapatkan izin dari suami, jika ia perempuan bersuami. Kedua, i’tikafnya tidak menimbulkan fitnah.
Syarat Rukun I’tikaf
Syarat orang yang hendak melakukan i’tikaf adalah: muslim, mumayyiz, suci dari janabat, serta tidak dalam keadaan haid dan nifas.
Rukun i’tikaf hanya satu, yakni menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Mengenai masjid yang bisa dijadikan tempat i’tikaf, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, semua masjid yang dijadikan tempat untuk melaksanakan shalat lima waktu sah ditempati untuk i’tikaf, sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat, i’tikaf sah dilakukan di semua masjid, meskipun di situ hanya dijadikan tempat untuk melaksanakan sebagian shalat lima waktu. Sebab, tidak ada dalil sharih yang mengkhususkan pembolehan hanya di sebagian masjid.
Jumhur ulama juga menyatakan, kaum wanita tidak sah beri’tikaf di masjid (baca: musholla atau kamar khusus shalat) rumahnya. Sebab, masjid yang ada di dalam rumahnya tidak dapat dikatakan sebagai masjid—menurut definisi syar’i. Sebab, tidak ada perselisihan bahwa kamar khusus shalat yang ada di rumahnya itu boleh dijual. Selain itu, menurut riwayat yang shahih, istri-istri Nabi saw beri’tikaf di masjid Nabawi.
I’tikaf Sepuluh Akhir
Jika salah seorang di antara kita hendak beri’tikaf pada 10 akhir Ramadhan, maka Rasulullah saw telah masuk masjid sebelum terbenamnya matahari 20 Ramadhan dan tidak keluar sehingga batal i’tikaf beliau sampai setelah Shubuh 1 Syawal. Namun demikian, menurut para imam madzhab yang empat, ia sudah boleh keluar saat terbenamnya matahari akhir Ramadhan.
Kebanyakan kita bercerita atau menyampaikan keinginannya untuk beri’tikaf di 10 akhir Ramadhan, sebenarnya yang kita kerjakan hanya i’tikaf di sebagian malam 10 akhir Ramadhan (selain sebagian malam dihabiskan di rumah, siang pun digunakan untuk bekerja). Bagaimana pun ini tidak disebut i’tikaf 10 akhir Ramadhan. Karenanya, janganlah kita merasa sudah mengerjakan i’tikaf sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw dan para Salaf.
Apalagi para ulama menyarankan—bahkan ada yang mewajibkan—untuk mengqadha` i’tikaf yang tidak tuntas. Nabi pernah beri’tikaf di 10 akhir Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
I’tikaf Sesaat
I’tikaf yang dilakukan oleh kebanyakan kita adalah i’tikaf putus-putus. Seseorang dianggap—secara syar’i—beri’tikaf apabila ia berniat untuk menetap di masjid selama masa tertentu. Selama ia masih berada di masjid, ia masih mendapatkan keutamaan dan pahala i’tikaf. Apabila ia keluar kemudian kembali lagi ke masjid untuk beri’tikaf, baik siang maupun malam, maka ia harus berniat lagi. Tanpa niat, ia tidak mendapatkan keutamaan dan pahala i’tikaf.
Sunnah Makruh I’tikaf
Mu’takif (orang yang beri’tikaf) disunnahkan untuk banyak-banyak melaksanakan ibadah sunnah, menyibukkan diri dengan shalat, membaca al-Qur`an, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat, dan ketaatan-ketaatan lain yang dapat mendekatkannya kepada Allah.
Termasuk di dalamnya, mengkaji ilmu syar’i, mempelajari kitab-kitab tafsir, hadits, dan kitab-kitab lainnya. Ia dimakruhkan untuk menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat, tapi juga makruh untuk tidak berbicara sama sekali jika ia mengira tidak berbicara ansich dapat mendekatkannya kepada Allah.
Mubah I’tikaf
Ada beberapa perkara yang boleh dilakukan oleh seorang mu’takif, yaitu:
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar keluarga memenuhi kebutuhan mereka.
Shafiyah ra, istri Nabi menuturkan, “Aku datang mengunjungi Rasulullah saw di suatu malam saat beliau sedang beri’tikaf. Saat pulang, beliau mengantarku. Tiba-tiba ada dua orang sahabat Anshar. Melihat Nabi, keduanya hendak kabur. Nabi pun memanggil keduanya, ‘Tetaplah di situ! Perempuan ini adalah Shafiyah binti Huyay.’ ‘Subhanallah, wahai Rasulullah,’ kata mereka. Beliau pun bersabda, ‘Setan menjalar pada manusia melalui aliran darahnya. Aku khawatir setan membuat kalian berdua berprasangka buruk.’.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
2. Menyisir rambut, bercukur, memotong kuku, membersihkan badan, memakai pakaian yang bagus, dan memakai wewangian. ‘Aisyah ra berkata, “Ketika Rasulullah saw sedang beri’tikaf di masjid, beliau menongolkan kepala lewat celah kamar. Aku pun membersihkan kepala beliau.” Dalam riwayat Musaddad disebutkan, “Aku menyisir rambut beliau padahal aku sedang haid.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
3. Keluar masjid untuk suatu keperluan atau kedaruratan.
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan tetap menjaga kebersihan.
Pembatal I’tikaf
Beberapa perkara yang membatalkan i’tikaf adalah:
1. Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan meskipun hanya sebentar. Sebab, dengan begitu ia tidak tinggal dan berdiam di masjid; padahal tinggal dan berdiam di masjid merupakan rukun i’tikaf.
2. Murtad. Sebab kemurtadan menghapuskan amal sebagaimana difirmankan oleh Allah, “Apabila kamu mempersekutukan (Allah), niscaya hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)
3. Hilang akal, baik karena gila maupun mabuk.
4. Haid dan nifas, bagi perempuan.
5. Bersetubuh. Hal ini berdasarkan firman Allah, “(Tetapi) janganlah kalian menggauli mereka, sedangkan kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya!” (AL-Baqarah: 187)
Jika seseorang hanya bersentuhan dengan suami/istrinya tanpa diiringi syahwat, maka tidak apa-apa. Sebab, ‘Aisyah juga pernah menyisir rambut beliau saat beliau sedang i’tikaf.
Mengenai ciuman dan sentuhan yang diiringi syahwat, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat, ia telah melakukan kesalahan, namun i’tikafnya tidak batal, kecuali jika ia mengeluarkan madzi atau mani. Sedangkan menurut Imam Malik, i’tikafnya telah batal meskipun ia tidak mengeluarkan cairan.
Demikianlah gambaran singkat i’tikaf sesuai sunnah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Semoga kita dapat meneladani mereka meskipun hari ini umumnya kita baru dapat mengerjakan sebagian kecil dari praktik yang semestinya. Wallahu al-Muwaffiq.
0 comments