Tatkala Duka Melanda

Posted by newydsui Monday, May 18, 2009
Oleh : Ummu Hanan Dzakiya

Ketika ummu Salamah ditinggal mati oleh suaminya yaitu Abu Salamah ia bermurung durja. Maka datanglah Rasulullah untuk mengingatkannya agar mengucapkan Inna lillahi wa inna ilahi raji’un (sesungguhnya kita ini milik Allah dan kelak akan kembali kepada Allah pula), Ummu Salamah mematuhi perintah Rasulullah. Namun tatkala ia disuruh untuk melanjutkan dengan ucapan Allahumma’jurni fi musibati wahlufli khauran minha (Ya Allah berilah aku pahala karena musibah yang menimpa diriku dan berilah aku ganti yang lebih baik darinya) awalnya ia enggan mengucapkannya, karena menurutnya tidak ada orang yang lebih baik dari Abu Salamah. Tetapi setelah ia mengucapkannya berulang-ulang ternyata Allah menggantikannya dengan orang yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah saw.


Peristiwa yang di alami manusia dalam kehidupannya tak pernah lepas dari dua hal, menyenangkan dan menyedihkan. Jika mendapatkan nikmat membuncahlah hatinya dipenuhi kegembiraan tak terkira. Pun jika kesedihan menerpa hati serasa ditancapi beribu duri sakit tak terperi hingga tak jarang berujung pada niatan untuk mengakhiri episode hidupnya.

Bukan ukuran kemuliaan dan kehinaan.
Ragam peristiwa yang dialami manusia boleh jadi sama tapi dalam penyikapannya menampilkan aneka macam corak. Ketika peristiwa yang terjadi sesuai dengan keinginan jiwa, beberapa orang ada yang tersungkur sujud memuji Rabbnya. Ada pula yang melonjak kegirangan hingga tak peduli beribu pasang mata yang menatap ‘aneh’. Banyak pula yang akhirnya merayakannya dengan pesta aneka warna. Semua itu sebenarnya merupakan bentuk pengejawantahan akan kegembiraan jiwa. Demikian juga dalam merefleksikan kedukaan. Ada yang bisa selalu tersenyum, ada yang biasa-biasa saja walau hati gerimis, ada pula yang menangis meraung-raung meratapi nasib diri.
Perbedaan sikap ini bertolak dari kondisi iman yang berbeda pula. Tak jarang karena tipisnya iman orang menganggap bahwa berbagai kenikmatan dan kemudahan yang didapat adalah bukti pemuliaan Allah atas dirinya. Sehingga ia tak perlu lagi bersusah payah memperbanyak ibadah, karena semua telah dirasa cukup. Berbalik ketika musibah dan berbagai kesulitan datang menerpa, ia merasa bahwa Allah telah menghinakannya padahal ia merasa telah banyak beribadah kepada-Nya. Tak ayal lagi, semangat ibadahnyapun surut seiring banyaknya ujian yang menyapanya.
Padahal sesungguhnya datangnya musibah dan kenikmatan bukanlah ukuran mulia-hinanya seseorang di sisi Allah. Keduanya adalah ujian Allah bagi hamba-hambanya sebagai bukti keimanan dan ketaqwaannya. Allah berfirman:
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:"Rabbku telah memuliakanku". Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:"Rabbku menghinakanku.” (QS. Al Fajr : 15-16)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi.” (QS. Al ‘Ankabut : 2)
Siapa yang lulus dari ujian ini maka terbuktilah keimanan dan ketakwaannya. Hingga ia layak disebut sebagai orang yang mulia. Sebaliknya jika terlibas, maka pantaslah ia dikata sebagai orang yang hina.
Allah berfirman:
 “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu…” (QS. Al Hujurat : 13)

Dua sisi yang menguntungkan
Imam Nawawi dalam Syarh Riyadhus Shalihin menegaskan bahwa dalam menghadapi ujian yang tidak menyenangkan jiwa manusia terbagi menjadi empat macam: orang yang membenci, orang yang sabar, orang yang ridha, dan orang yang syukur.
Orang yang benci akan musibah yang menimpanya akan nampak pada perilaku dan gerak ucapannya yang merefleksikan apa yang ada dalam hatinya. Mulutnya akan selalu mencaci, mencela, dan mengutuk. Sementara anggota badannya tergerak untuk merusak segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, tak terkecuali orang-orang yang disayanginya pun turut menjadi sasaran. Inilah hakekat orang yang marah ketika ditimpa musibah. Yang ia peroleh hanyalah kesengsaraan dan kehinaan. Di dunia dia tersiksa dengan amarah dan musibah yang menimpanya sedang di akherat ia mendapat siksa karena telah berburuk sangka dan marah kepada Allah.
Orang dikatakan bersabar terhadap musibah, jika ia mampu menahan energi negative yang menyeruak ke seluruh pembuluh darahnya meski rasa tidak suka masih meraja di dalam jiwa. Karena hakekat sabar adalah menahan. Tentunya tanpa melupakan syarat keikhlasan karena Allah semata.
Adapun orang yang ridha terhadap musibah, sedikitpun tidak ada rasa benci dan berat hati dalam dirinya. Dia selalu lilo-leghowo dalam menerima ketentuan Allah. tidak sedetikpun rasa buruk sangka pada Allah singgah di hatinya. Peristiwa apapun yang menimpa adalah baik baginya. Kenikmatan dan bencana sama-sama memberikan keberuntungan baginya. Jika beroleh kenikmatan dia bersyukur dan jika tertimpa musibah dia bersabar. Syukur dan sabar adalah dua ibadah yang berpahala di sisi Allah.
Rosululloh saw bersabda: 
 “Menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua peristiwa yang menimpanya adalah baik baginya. Dan ini hanya terjadi pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, dia bersyukur. Dan syukur itu adalah baik baginya. Dan jika ia mendapat kesempitan maka dia bersabar. Dan sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)
 
Syukur adalah pilihan terbaik
Rasulullah saw selalu memuji Allah dalam kondisi lapang maupun sempit. Tatakala apa yang terjadi tak sesuai dengan harapan, beliau berucap: Alhamdulillah ‘ala kulli hal (segala puji bagi Allah, atas segala keadaan yang menimpa). Beliau sangat yakin bahwa Allah tak akan mendholimi hamba-Nya. Terlebih jika mengingat pahala yang diberikan Allah terhadap orang-orang yang bersabar, niscaya akan sirnalah segala rasa sakit yang menghujam jiwa. Allah berfirman:
“…Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar : 10)
Jadi, amat pantaslah ketika ada seorang ‘abidah (perempuan ahli ibadah) terluka jarinya, ia berucap ‘alhamdulillah’. Ketika beliau ditanya tentang sikapnya, ia menjawab, “Sungguh manisnya pahala telah melalaikanku akan rasa sakit yang mendera.” Kesempurnaan penerimaan hamba akan janji Allah, membuatnya tidak peduli dengan segala rasa tak mengenakkan yang menyapa tubuhnya. Karena ia sadar betul bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara. Keabadian hidup hanya bisa ia raih di akherat kelak.
Lantas, manakah yang Anda pilih? Wallahu Musta’an. (Ummu Hanan Dzakiya)



1 Responses to Tatkala Duka Melanda

  1. Anonymous Says:
  2. makalah yang lainnya segera ditampilkan donk..
    makasih

     

Post a Comment

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers