Nikahilah Gadis itu!

Posted by newydsui Tuesday, May 29, 2012 1 comments

Nikahilah Gadis itu!

Malam itu sang Amirul Mukminin – Umar Bin Khattab – berkeliling ke segenap penjuru Kota Madinah. Beliau ingin mengetahui bagaimana keadaan rakyatnya ketika malam hari. Dalam sejarah, ini adalah yang pertama dan tidak akan terulang kembali, seorang kepala Negara berkeliling Ibu Kota, sendirian, tanpa adanya pasukan pengawal. Subhanallah! Inilah salah satu bukti kecemerlangan sejarah Islam. Ketika Islam yang cemerlang, dipancarkan oleh pribadi – pribadi yang cemerlang pula. Maka, rahmat Islam bagi semesta, sangat terasa, bagi siapapun.

Dalam perjalanan malamnya itu, khalifah mendengar sebuah dialog dari salah satu rumah warganya di Madinah. Dialog antara seorang Ibu dengan Putri semata wayangnya. Ketika itu, Khalifah memerintahkan kepada seluruh penduduk di negerinya, khususnya bagi para penjual susu, agar tidak mencampur susu dengan air untuk kemudian dijual. Hal ini, merupakan salah satu perintah yang menunjukkan kesyumulan ajaran islam, bahkan tentang jual beli susu sekalipun, Islam mengaturnya.

Ibu tersebut berkata kepada anaknya, “ Nak, campurlah susu itu dengan air untuk kemudian kita jual.” Sang khalifah kaget. Ternyata, ada rakyatnya yang tidak mematuhi titahnya. Tapi beliau diam, ingin mendengarkan apa jawaban sang anak. Tak lama, sang putri menjawab, “ Wahai Ibuku, bukankah Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu dengan air?” Jawaban ini membuat Umar kaget. Ternyata dari rahim Ibu tersebut, terlahir wanita yang Sholikhah, yang taat kepada pemimpinnya.  “ Bukankah sekarang Amirul Mukminin tidak tahu?” jawab sang Ibu jujur. Ia tidak tahu jika ternyata Amirul Mukminin tengah “menguping” perbincangan Mereka. Jawab sang anak, “ Wahai Ibuku, Amirul Mukminin memang tidak tahu. Tapi, Allah adalah Maha Mengetahui atas segala yang diperbuat oleh HambaNya.” Umar terdiam. Ia haru. Bercampur bangga. Maka, sebelum pergi meninggalkan rumah tersebut, Ia menandainya. Agar esok bisa dikenalinya siapakah gerangan wanita sholikhah tersebut.

Ketika pagi menjelang, Amirul Mukminin mengumpulkan seluruh putranya. Ia memberi titah kepada Mereka, “ Nikahilah Gadis itu! Jika salah satu dari kalian tidak ada yang berkenan, Aku sendiri yang akan menikahinya.” Sebuah perintah tegas yang tidak bertele-tele. Maka, dikisahkan salah satu dari anak Amirul Mukminin yang bernama ‘Ashim, menikahi wanita tersebut. Wanita sholihah yang takut kepada Allah, Robbnya.

Sejarah kemudian mencatat, dari  pernikahan itu lahirlah Khalifah kelima, Umar Bin Abdul Aziz. Khalifah yang hanya memerintah selama dua setengah tahun namun berhasil mensejahterakan rakyatnya. Terbukti, pada masa pemerintahannya, Ia bingung untuk mencari penerima zakat. Karena seluruh rakyatnya, tidak layak menjadi penerima melainkan pemberi zakat.

Kisah di atas, bukanlah berasal di negeri dongeng. Kisah ini merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri. Sebuah kisah yang membuat kita bertanya dan menangis rindu. Rindu karena jaman kita, sangat susah dijumpai seorang pemimpin yang begitu peduli kepada rakyatnya. Yang ada, pemimpin kita saat ini, kebanyakannya adalah pemimpin yang SANGAT  PEDULI pada nasib dirinya, keluarganya juga partainya. Bukan kepada nasib

Tiga Macam Air (2)

Posted by newydsui 0 comments

Tiga Macam Air (2)
Imtihan Syafii

Pengaruh Benda Najis
Apabila suatu benda najis masuk ke dalam air atau dilewati oleh air, maka apabila benda najis itu merubah salah satu sifat air: warna, bau, dan rasanya, para fuqaha empat madzhab sepakat bahwa air yang semula suci dan mensucikan itu kehilangan sifat asalnya. Ia tidak lagi suci dan mensucikan.
Ibnul Mundzir mengutip adanya ijmak dalam hal ini. Beliau berkata, “Para ahli ilmu sepakat bahwa, apabila air yang sedikit atau banyak kemasukan najis dan merubah rasa, warna, atau baunya, maka air itu menjadi najis.
Sedangkan bila benda najis yang masuk ke air itu tidak merubah salah satu sifat air, maka para fuqaha empat madzhab mempertimbangkan volume air. Bila airnya banyak, para fuqaha empat madzhab sepakat bahwa air yang banyak itu tidak kehilangan sifat asalnya. Ia masih suci dan mensucikan. Hanya saja para fuqaha berbeda pendapat mengenai kriteria banyak dan sedikit.
Apabila airnya sedikit, maka para fuqaha madzhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki menyatakan bahwa air itu kehilangan sifat asalnya. Kecuali jika benda najis itu termasuk benda najis yang ma’fuw (dimaafkan), seperti bangkai lalat atau lebah yang jatuh dengan sendirinya atau tertiup angin. Tentang air yang sedikit yang terkena najis namun tidak berubah salah satu sifatnya ini, para fuqaha madzhab Maliki berpendapat, air itu tetap suci dan mensucikan. Hanya saja, hukumnya makruh untuk digunakan bersuci.

Ukuran Sedikit Banyak

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai kriteria sedikit-banyaknya air. Menurut para fuqaha madzhab Hanafi, air dikategorikan banyak apabila tepian air disentuh seseorang, ombak yang ditimbulkan oleh sentuhan itu tidak sampai ke tepian air yang satunya serta dasarnya tidak tersentuh bila diciduk; dan dikategorikan sedikit apabila kurang dari 10 x 10 lengan orang pada umumnya.
Para fuqaha madzhab Maliki tidak menetapkan ukuran sedikit-banyaknya air. Menurut mereka, air yang sedikit dan makruh digunakan untuk berwudhu adalah air yang banyaknya kurang dari atau hanya sebejana yang biasa dipakai untuk berwudhu atau mandi. Apabila air yang sedikit itu kemasukan najis—setitik misalnya—dan tidak merubah salah satu dari ketiga sifatnya, maka hukum menggunakannya untuk bersuci adalah makruh.

Sedangkan menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali, ukuran sedikit itu adalah apabila air tidak mencapai dua qullah. Dua qullah ini lebih kurang sama dengan 270 liter. Pendapat para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinyatakannya sebagai hadits yang shahih sesuai syarat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Haditsnya berbunyi,
“Apabila air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis.”
Maksudnya, jika air mencapai dua qullah lalu kemasukan najis, tetapi tidak merubah salah satu sifat asalnya, maka air itu tidak menjadi najis disebabkan oleh masuknya najis ke dalamnya. Hal ini sebagai dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Umamah al-Bahili,
 “Air itu suci dan mensuciakan, tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis. Kecuali jika sesuatu itu mengalahkan bau, rasa, dan warna air.”

Air yang suci tetapi tidak mensucikan
Para fuqaha madzhab yang empat menyatakan bahwa air yang suci tetapi tidak mensucikan ada tiga, yaitu:
a.    Air yang tercampur benda suci yang merubah warna, bau, atau rasanya.  Misalnya air yang tercampur sabun, air teh, air kopi, air mawar, air (yang dicampur) susu, air yang berbau busuk karena bangkai ikan, air rebusan jamu, dan lain sebagainya.
b.    Air musta’mal yang sedikit  (kembali ke kriteria masing-masing madzhab dalam menentukan sedikit-banyaknya air). Para fuqaha memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai air musta’mal ini. Menurut para fuqaha madzhab Hanafi, air musta’mal adalah air yang sudah dipakai untuk bersuci dari hadats; yakni air yang menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu atau mandi. Meskipun tidak dapat digunakan untuk bersuci dari hadats, air musta’mal dapat digunakan untuk mensucikan najis.
Para fuqaha madzhab Maliki menyatakan, air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci dari hadats baik wajib atau sunnah, atau air yang sudah dipakai untuk bersuci dari najis. Berbeda dengan madzhab yang lain, madzhab Maliki berpendapat, air musta’mal itu suci dan mensucikan. Hanya, hukumnya makruh digunakan jika ada air yang lain.
Menurut para fuqaha madzhab Syafi’i, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats, yakni untuk basuhan yang wajib saja. Para fuqaha madzhab Syafi’i berbeda pendapat dengan madzhab Hanafi dalam hal: air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci dari najis. Hanya, jika sedikit air musta’mal masuk ke dalam air mutlak, maka hal itu ma’fuw.
Menurut para fuqaha madzhab Hambali, air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk bersuci dari hadats atau najis, dan tidak berubah salah satu sifatnya. Mereka sepakat dengan madzhab Syafi’i, bahwa air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci dari hadats dan najis.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat ini, seyogianya kita menghindari penggunaan air musta’mal—dengan definisi fuqaha mana pun. Apalagi kita tinggal di daerah tropis hal mana air bukanlah merupakan suatu kesulitan.
c.    Air tetumbuhan, seperti air kelapa, air tebu, dan lain sebagainya.

Air yang tidak suci dan tidak mensucikan.
Air yang tidak suci dan tidak mensucikan adalah air najis atau air mutanajjis, yakni air yang telah tercampur najis baik sedikit maupun banyak, hal mana salah satu dari sifat asal air sudah berubah. Air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik bersuci dari hadats maupun dari najis. Hanya, air ini masih boleh digunakan untuk menyiram tanaman. Wallahu a’lam.

ABDULLAH BIN UMAR
Penghafal hadits terbanyak ke-2
Oleh; Amar Syarifuddin, Lc

Dia adalah shahabat mulia putra dari salah seorang sahabat utama yakni Umar bin Khattab. Saudara kandung Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Al-Khattab. Ia salah seorang di antara orang-orang yang bernama Abdullah (Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.

Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus. Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Hingga Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan basrah dan Madain.

Ia termasuk anak cerdas dan hebat yang menjadi kesayangan orang tuanya. Dalam suatu majlis Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?”
Para shahabat menerka-nerka, bahwa pepohonan yang dimasud oleh Sang Nabi adalah pepohonan di sekitar Wadhi Madinah. Tetapi. Semua shahabat terdiam. Tak seorangpun dari shahabat yang berani mengungkapkan. Dan dibenak Abdullah Ibn Umar kecil waktu itu, terbesitlah suatu pohon, yaitu, pohon kurma. Melihat ayahandanya Umar Ibn Khattab, serta shahabat-shahabat lainnya masih terus terpaku, ia juga tak menyampaikan apa yang terbesit dalam hatinya.

Para shahabat kemudian bertanya, “Pohon apakah gerangan wahai Rasulullah?”
“Pohon tersebut, adalah pohon kurma.”
Setelah majlis bubar, Abdullah kecil berkata kepada ayahandanya, “Wahai Ayah, sebenarnya telah terbetik dalam hatiku kalau Rasulullah akan menyebut pohon kurma.”
”Lalu mengapa tidak kamu katakan tadi?”, sahut sang Ayah.
Abdullah kecil kembali berkata, “Bagaimana aku akan bicara, sedangkan aku adalah kaum yang terkecil.”
“Seandainya engkau katakan tadi wahai anakku, itu lebih aku cintai daripada semegah-megahnya kekayaan sekalipun.”

Abdullah bin Umar adalah sosok shahabat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal. Bila ilmu diibaratakn sebagai air, maka Abdullah bin Umar menimbanya langsung dari sumber yang paling jernih, yaitu dari Rasulullah dan para shahabat senior yang juga langsung menimbanya dari Rasulullah. Bagi Abdullah bin Umar, tidak cukup mengetahui ilmu dan mendakwahkannya, sebelum dia sendiri mengamalkannya. Kisah berikut merupakan bukti bahwa Abdullah bin Umar adalah seorang alim yang benar-benar mengamalkan ilmunya.

Abdullah Ibnu 'Umar berkata, “Apabila ada seseorang yang bermimpi pada masa Rasulullah, maka ia pun akan menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah, hingga saya juga ingin sekali bermimpi dan menceritakannya kepada beliau. Ketika remaja, pada masa Rasulullah, saya pernah tertidur di masjid. Dalam tidur itu saya bermimpi bahwa ada dua malaikat yang menangkap saya dan membawa saya ke neraka yang tepinya berdinding seperti sumur dengan dua tali seperti tali sumur. Ternyata di dalam sumur tersebut ada beberapa orang yang saya kenal dan segera saya ucapkan, 'Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka. Aku berlindung kepada Allah dari siksa neraka.' Tak lama kemudian, kedua malaikat tersebut ditemui oleh satu malaikat lain dan ia berkata kepada saya, 'Kamu akan aman.' Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepada Hafshah dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, jika ia berkenan melaksanakan shalat di sebagian malam.' Salim berkata, 'Setelah itu Abdullah bin Umar tidak pernah tidur di malam hari kecuali sebentar’.” (Muslim - 4528)

Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan Rasulullah. Kecintaannya kepada Rasulullah sangat mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering turut menyertainya. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan harian dan meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian, makan, minum, bergaul, dan hal lainnya. Oleh karena itu tidak  heran jika dia menjadi penghafal hadits terbanyak ke-2 setelah Abu Hurarirah. Beliau hafal 2.630 hadits. Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata, “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu Umar.”

Keistimewaan lain yang melekat pada diri Abdullah bin Umar ialah keluasan ilmu, kerendahan hati, kebulatan tekad dan ketegasan pendirian, kedermawanan, serta keteguhannya pada contoh yang telah diberikan Rasulullah. Kepribadiannya yang sungguh mengagumkan nyaris tanpa cela sedikit pun. Orang-orang yang semasa dengan Abdullah bin Umar umumnya mengatakan, “Tak seorang pun di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak  terselip atau terkurangi sehuruf pun dalam menyampaikan hadis Rasulullah sebagaimana halnya Abdullah bin Umar.”

Abdullah bin Umar termasuk orang yang hidup makmur, kaya raya dan berpenghasilan banyak. Ia pedagang dan saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar kehidupannya. Di samping itu, gajinya dari Baitul maal (kas negara) tidak sedikit pula. Tetapi, tunjangan itu tidak satu dirham pun disimpannya, melainkan dibagi-bagi sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin dan anak yatim. Ia banyak memberi kepada orang lain karena ia dikenal sangat pemurah. Bahkan, ia tidak peduli apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin atau kelaparan. Ia memang zahid, yakni orang yang tidak berminat terhadap pesona dunia.

Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia lebih memilih menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah bin Umar mendapat cobaan dari Allah SWT, yakni kehilangan pengelihatannya. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis setelah Abu Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 72 hijriyah dalam usia 84 tahun. Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di Kota Mekkah.

MUNGKIN ANAK ANDA TERKENA ‘AIN
oleh : Qodri Fathurrohman (Dosen Ma'had Aly An Nuur)

Terkadang orang tua merasa panik dan merasa aneh ketika tiba-tiba permata hatinya menjerit-jerit atau menangis terus sepanjang hari tanpa ada sebab yang pasti, sakit.. tidak, digigit serangga pun tidak. Lalu…? Ada apa dengan buah hati kesayangan ini…?
Penyakit yang diderita anak-anak tidak semuanya bisa dideteksi dengan ilmu kedokteran. Ada juga penyebab syar’i yaitu penyakit ‘ain.

Apa itu ‘Ain?
Penyakit ‘Ain adalah penyakit yang disebabkan oleh pengaruh buruk pandangan mata, yaitu pandangan mata yang disertai rasa takjub atau bahkan iri dan dengki terhadap apa yang dilihatnya.

Dalil tentang ‘Ain
 Rasulullah saw bersabda:
“Al-‘Ain adalah haq (benar), dapat memasukkan seseorang ke dalam kuburan dan dapat memasukkan onta ke dalam kuali” [HR. Ibnu ‘Adi, Abu Nu’aim, dan Al-Khathib; dihasankan oleh Al-Albani].
Maksudnya : Sesungguhnya ’Ain dapat menimpa seseorang hingga membunuhnya lalu mati dan dikuburkan ke dalam kuburan, dan bisa menimpa onta hingga nyaris mati dan disembelih pemiliknya kemudian dimasak di dalam kuali.

Tanda-tanda terkena ‘Ain
Adapun diantara tanda-tanda anak yang terkena pengaruh buruk ‘ain adalah :

Pertama, Tangisan yang tidak wajar yang tidak kunjung berhenti, kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu kepada ibunya tanpa sebab yang jelas.
Dalam Shahihul Jami’ disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Suatu ketika Nabi masuk (rumahnya) kemudian mendengar bayi sedang menangis. Beliau berkata, ”Mengapa bayi kalian menangis? Mengapa tidak kalian bacakan ruqyah-ruqyah (supaya sembuh) dari penyakit ‘ain?”

Kedua, Kondisi tubuh yang sangat kurus kering
Sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad dan Baihaqi, dari Jabir radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi rukhshah atau keringanan bagi anak-anak Ja’far memakai bacaan ruqyah dari sengatan ular. Beliau berkata kepada Asma’ binti Umais, ”Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma’ menjawab: “tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain.” Nabi bersabda, ”Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!”

Upaya-upaya orang tua untuk mengantisipasi anak dari ‘Ain:

1. Hendaklah orang tua membiasakan diri mereka membentengi anak-anaknya dari bahaya ‘ain dengan ruqyah-ruqyah (bacaan-bacaan) yang diajarkan dalam Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah untuk Hasan dan Husain dengan doa :
أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku memohon perlindungan kepada Alloh untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari segala syaitan, binatang yang berbisa dan pandangan mata yang jahat.” (HR Abu Daud)

2. Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad menyebutkan, hendaknya para orang tua tidak menampakkan suatu kelebihan yang menakjubkan yang dimiliki anak-anaknya yang dikhawatirkan akan mengundang rasa iri atau kedengkian orang yang melihatnya.

3. Hendaklah para orang tua tidak berlebihan menceritakan kelebihan-kelebihan atau kebaikan-kebaikan anaknya yang tidak dimiliki anak-anak lain, sehingga mengundang rasa iri dan dengkii siapa saja yang mendengarnya,kemudian berusaha melihatnya, hingga Allah menakdirkan terjadinya pengaruh buruk ‘Ain tersebut.

Agar pandangan tidak mencelakakan:
Penyakit ‘ain tidak hanya disebabkan oleh orang yang iri dan dengki terhadap sesuatu yang dipandangnya. Bahkan setiap mata yang memandang takjub terhadap sesuatu, dengan izin Allah juga bisa menyebabkan pengaruh buruk ‘ain walaupun orang tersebut tidak bermaksud menimpakan ‘ain. Bahkan ini terjadi pada para sahabat Nabi yang sudah terkenal akan kebersihan hati mereka.

Maka sunnah yang kita kerjakan ketika memandang sesuatu yang menakjubkan adalah :

1. Medoakan keberkahan pada apa yang dilihatnya
Rasullullah saw bersabda : “Jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, pada dirinya atau pada hartanya, maka doakan keberkahan padanya, karena sesungguhnya penyakit ain itu haq (benar)”. (HR Ahmad).
Di antara cara mendoakan keberkahan terhada apa yang dilihatnya adalah :
بَارَكَ اللَّهُ فِيهِ  (“Semoga Allah memberikan berkah padanya”)

2. Hendaklah mengucapkan :

مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ (“Sungguh atas kehendak Allohlah semua ini terwujud”)

Solusi bagi yang terkena ‘Ain

-    Memandikan Pelaku ‘Ain
Jika pelakunya diketahui, maka hendaklah orang itu diperintahkan untuk mandi, kemudian orang yang terkena pengaruh mata itu mandi dengan bekas air mandi orang itu. Hal ini sebagaimana kisah sahabat nabi saw, Sahl bin Hunaif ra. yang terkena ‘ain (pandangan mata) Amir bin Rabi’ah. Maka nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan Amir bin Rabi’ah ra. untuk mandi dan sisa air mandinya diguyurkan pada Sahl bin Hunaif ra.

-    Bisa juga pelaku ‘Ain cukup berwudlu saja dan kemudian air bekas wudlunya dipakai mandi oleh orang yang terkena ‘Ain, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Bila anak sudah terkena pengaruh buruk ‘Ain :

-    Memperbanyak membaca/ membacakan (bagi anak yang belum bisa membaca)  “Qul Huwallohu Ahad” (surat al-Ikhlas), Al-Muawwidzatain (surat al-Falaq dan an-Naas), al-Fatihah, ayat kursi,  penutup surat al-Baqarah (dua ayat terakhir), dan mendoakan dengan doa-doa yang disyariatkan dalam ruqyah

-    Membaca/ membacakan doa:
    بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللَّهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ

-    “Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dan dari kejahatan setiap jiwa atau mata orang yang dengki. Mudah-mudahan Allah swt menyembuhkanmu. Dengan menyebut nama Allah, aku meruqyahmu.” (HR.Muslim)

Hukum Bepergian/Tinggal Ke Negara Kafir
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya. “Apa hukum bepergian ke negara kafir ? Dan apa hukum bepergian untuk maksud wisata ?”

Jawaban
.
Tidak boleh bepergian ke negara kafir kecuali dengan tiga syarat.

Syarat Pertama : Memiliki ilmu yang dapat membantah keraguan
Syarat Kedua : Memiliki pondasi agama yang kuat yang bisa melindunginya dari dorongan syahwat
Syarat Ketiga : Membutuhkan kepergian tersebut.

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak boleh bepergian ke negara kafir karena bisa menimbulkan fitnah atau dikhawatirkan akan terkena fitnah, disamping hal ini merupakan penyia-nyiaan harta, karena pada perjalanan semacam ini biasanya seseorang mengeluarkan banyak uang, di samping hal ini malah menyuburkan perkenomian kaum kuffar.
Tapi jika ia memang memerlukannya, misalnya untuk berobat atau menuntut ilmu yang tidak tersedia di negaranya, sementara ia pun telah memiliki ilmu dan agama yang kuat sebagaimana kriteria yang kami sebutkan, maka tidak apa-apa.
Adapun bepergian untuk tujuan wisata ke negara-negara kafir, itu tidak perlu, karena ia masih bisa pergi ke negara-negara Islam yang memelihara penduduknya dengan simbol-simbol Islam. Negara kita ini, alhamdulillah, kini telah menjadi negara wisata di beberapa wilayahnya. Dengan begitu ia bisa bepergian ke sana dan menghabiskan masa liburnya di sana.
[Al-Majmu Ats-Tsamin, Juz I, hal 49-50, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 349-350 Darul Haq] http://abu-rabbani.blogspot.com

Bolehkah Seorang Muslim Tinggal di Negeri Kafir?
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan:
Bolehkah seorang muslim tinggal di negara yang bukan Islam dan bersungguh-sungguh dalam berdakwah, walaupun hijrah-nya dulu bukan untuk dakwah?

Jawaban:
Seorang muslim yang pindah dari negeri Islam ke negeri kafir bukanlah hijrah, karena yang dinamakan hijrah adalah berpindahnya seseorang dari negeri kafir ke negeri Islam.

Pada asalnya, hidup di negeri kafir tidak dibolehkan. Rasulullah bersabda,
اَلْمُسْلِمُ وَ الْمُشْرِكُ لاَ تَتَرَائَى نَارُهُمَا
“Api (dapur) orang muslim dan orang musyrik (tidak boleh berdekatan) sehingga satu dan yang lainnya bisa saling melihat.”
Jadi, seorang muslim tidak boleh bertetangga dengan musyrik dengan jarak yang dekat, sehingga nyala api masing-masing bisa saling terlihat. Nabi bersabda,
أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ مُسْلِمٍ سَاكِنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku berlepas diri dari seorang muslim yang menempati tempat tinggal kaum musyrikin.”
Beliau juga bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ -أَيْ خَلَطَ- فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barangsiapa yang bergaul dengan orang musyrik, maka ia sama dengan orang musyrik tersebut.”
Yaitu, sama dalam hal dosa, bukan dalam kekafiran. Adapun orang yang bepergian ke negeri kafir, kemudian ia tetap hidup di sanan sebagai seorang dai, maka hal ini bisa dibenarkan, dengan syarat dia mempunyai kekuatan dan hidup bersama komunitas muslim lainnya agar diri dan keluarganya serta keturunannya tidak terpengaruh oleh lingkungan orang-orang kafir.
Sumber: Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H — 2004 M, http://konsultasisyariah.com

Sembilan 
Kewajiban Orang Tua
oleh : Ryan Arif Rahman, Lc

    "Setiap kalian adalah ra’in (seorang penjaga, yang diberi amanah ) dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5200, dan Muslim no. 4701)

     Didalam ajaran Islam, anak yang lahir ke dunia ini memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu yang harus ditunaikan oleh kedua orang tuanya sebagai pelaksana tanggung jawab mereka kepada Allah dan untuk kelestarian keturunan.  Para ulama menghitung ada banyak hak yang dimiliki anak atau ada banyak kewajiban orang tua terhadap anaknya, diantara yang terpenting adalah sebagai berikut:

Pertama: memilihkan perempuan penyusu bayi yang shalihah untuk anak, apabila ibunya sudah tidak ada. Masa penyusuan yang paling utama adalah dua tahun penuh. Berdasarkan firman Allah swt:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan.” (al-baqarah: 233)
Banyak penelitian ilmiyah dan penelitian medis yang membuktikan bahwa masa dua tahun pertama sangat penting bagi pertumbuhan anak secara alami dan sehat, baik dari sisi kesehatan maupun kejiwaaan. Ibnu sina, seorang dokter kenamaan, menegaskan urgensi penyusuan alami dalam pernyataannya,” bahwasanya seorang bayi sebisa mungkin harus menyusu dari air susu ibunya. Sebab, dalam tindakannya mengulum puting susu ibu terkandung manfaat sangat besar dalam menolak segala sesuatu yang rentan membahayakan dirinya.

Kedua: hendaknya ibu mengasuh anaknya khusus pada masa buaian dan masa awal anak-anak. Jangan sampai ibu menyerahkan anak kepada pembantu dan pengasuh. Sebab, dalam aktivitas menyusui, selain ibu menyusukan air susu kepada anak, ia juga memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hal inilah dapat difahami hikmah Allah ketika Dia mengembalikan nabi Musa kepada ibunya agar sang ibu menjadi tenang dan tidak bersedih. Allah swt berfirman,
فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلاَتَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُونَ
“Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Al qashas:13)

Ketiga: hendaknya orang tua mengajarkan kitab Allah serta ilmu ilmu agama dan dunia yang wajib dikuasainya. Diriwayatkan dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda,” 
أدبوا أولادكم على ثلاث خصال: حب نبيكم وحب آل بيته وتلاوة القرآن فإن حملة القرآن في ظل عرش الله يوم لا ظل إلا ظله مع أنبيائه وأصفيائه والوالدان اللذان يهتمان بتعليم أولادهما القرآن لهما الثواب العظيم
“ ajarkanlah tiga hal kepada anak-anak kalian, yakni mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya dan membaca al-qur’an. Sebab, para pengusung al-qur’an berada di bawah naungan arsy Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naunganNya, bersama para nabi dan orang-orang pilihanNya. Dan, kedua orang tua yang memperhatikan pengajaran al-qur’an kepada anak-anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.” 

Kaum muslimin generasi awal memahami betul urgensi pengajaran al qur’an, maka mereka berlomba dan bersaing dalam aktivitas ini. Imam Syafi’I berkata, aku telah hafal al qur’an ketika berusia tujuh tahun dan hafal kitab Al-Muwattha’ ketika berusia sepuluh tahun.”  Sahl  At-Tusturi berkata, ‘aku mencurahkan perhatian kepada al qur’an dan mempelajari al qur’an hingga menghafalnya ketika masih berusia enam atau tujuh tahun.”

Keempat: memberi nafakah hanya dengan harta yang baik dan dari mata pencaharian yang halal. Berdasarkan sabda Rasul saw: “ kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia kerjakan dengannnya, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan.” (H.R. Turmudzi) 
Dan makanan yang diberikan kepada anak -anak hendaknya Makanan yang halal. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada Sa’ad Bin Abi Waqhas, “baguskanlah makananmu, niscaya doamu akan dikabulkan.” Karenanya, anak dibiasakan untuk mengkonsumsi makanan yang halal,  mencari penghasilan yang halal dan membelanjakan kepada yang halal, sehingga ia tumbuh dalam sikap sederhana dan pertengahan, terjauh dari sikap boros dan pelit.

Kelima: mengajarkan anak sholat dan membiasakan untuk mengerjakannya. Berdasarkan firman Allah swt,
وأمر أهلك بالصلاة واصطبر عليها لانسئلك رزقا نحن نرزقك والعاقبة للتقوى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (QS. 20:132)

Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah saw bersabda, “ perintahkanlah anak anak kalian untuk mengerjakan sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah agar mereka menunaikannya ketika berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”

Keenam: memilihkan teman yang baik bagi anak-anak. Sebab, seorang teman laksana mesin penarik, dan seorang sahabat cenderung meneladani sahabatnya. islam sendiri telah menganjurkan agar berteman dengan orang-orang shalih dan baik, serta memperingatkan untuk tidak berteman dengan orang-orang yang buruk akhlaknya. Di dalam hadist shahih disebutkan, “ janganlah engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan jangan ada yang memakan makananmu kecuali orang bertaqwa.”
Memilihkan teman yang baik untuk anak berguna melindungi dari terjatuh ke dalam penyimpangan dan menjauhkan dirinya dari jalan licin keburukan serta lubang lubang kenistaan.

Ketujuh: memberi nafkah kepada anak hingga usia dewasa. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, aku bertanya, wahai Rasulullah apakah aku mendapatkan pahala bila aku memberi nafkah kepada anak-anak Abu Salamah, sedangkan aku tidak membiarkan mereka begini dan begini-yakni bertebaran untuk mencari makan begini dan begini-karena mereka itu juga anak-anakku? Beliau menjawab, ya, kamu mendapatkan pahala atas apa yang kamu nafkahkan.” (H.R.Bukhori)
Sangat jelas manfaat pendidikan yang terkandung dalam tindakan memberi nafkah, sebab ini berarti mempersiapkan anak dengan baik untuk mermfokuskan diri dengan pendiidikan pada usia dini. 

Kedelapan: memberikan pengajaran. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari kakek Ayub Bin Musa Al Quraisy dari Nabi saw bersabda, “ tiada satu pemberian yang lebih utama yang diberikan ayah kepada anaknya selain pengajaran yang baik.” 

Thabrani meriwayatkan dari Jabir Bin Samurah bahwa Rasulullah saw bersabda, “ bahwa salah seorang di antara kalian mendidik anaknya, itu lebih baik baginya dari pada menyedekahkan setengah sha’ setiap hari kepada orang-orang miskin.”

Kesembilan: kedua orang tua mencarikan istri yang shalihah bagi anak laki-lakinya dan suami yang shalih bagi anak perempuannya, kemudian membiayai acara pernikahan anak jika keduanya bercukupan.  
Demikian uraian singkat tentang beberapa kewajiban pokok bagi orang tua yang musti ditunaikan kepada anak, mudah-mudahan dengan penjelasan yang sederhana ini saudara pembaca dapat menunaikan kewajiban dan amanah tersebut dengan baik dan totalitas. Amin..


MASUK SURGA KARENA SETIA

PADA suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang bernama Mutiah.”
Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?
Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu  tinggi?
Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.
Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”
“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam, terdengar lebih gembira, dan makin mendekat ke pintu.
“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.
“Aku ditemani Hasan.”
“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan masih kecil.”
“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya.”
Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.
Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga. Bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah Mutiah.
Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, dengan Hasan dan Husain.”
“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”
Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.
Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun semuanya teratur rapi.
Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat orang betah tinggal berlama-lama.
Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan dan Husain pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.
“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas nampan. Juga, menaruh cambuk.
Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”

“Di ladang.”
“Penggembala?”
“Bukan. Bercocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”
“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”
Fathimah penasaran.
“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar punggung saya dicambuk sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia berkata, pantas ia akan masuk surga buat pertama kali. Baktinya kepada suami begitu besar dan tulus.
Kesetiaan yang Bersejarah
Bukan berarti Fathimah tidak termasuk tipikal wanita yang setia terhadap suaminya. Kesetiaan dan ketaatan buah hati Rasulullah ini kepada suami tidak diragukan lagi. Kehidupan rumah tangganya serba kekurangan, nemun kesetiaannya yang didasari keimanan dan perjuangan syiar Islam tidak luntur walau sedebu. Darah kesetiaan nampaknya mengalir deras dari ibundanya, Khadijah RA, Muslimah pertama yang mempelopori kecintaan dan kesetiaan kepada suami.
Mari kita kenang kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Peristiwa itu ialah penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira.
Sekembalinya ke rumah, Nabi berkata kepada istrinya yang tercinta, “Aku merasa khawatir terhadap diriku.”
Saat itu Khadijah dengan segala kelembutannya berkata, “Wahai Kakanda, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya Kakanda adalah orang yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan, serta sanggup memikul tanggung jawab.
Kakanda dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan, senantiasa berbicara benar dan setia kepada amanah,” tuturnya.
Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh Khadijah? Betapa besarnya kepercayaan (kesetiaan) dan kasih sayang seorang istri kepada suami yang dilandasi iman yang teguh. Sedikit pun Khadijah tidak berasa ragu-ragu di dalam hatinya.
Jika ada wanita yang berkurang kadar kesetiaannya karena alasan penghasilan dan kekayaan, maka Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Beliau wanita yang hidup mewah dengan hartanya sendiri. Namun semua itu dengan rela dikorbankannya untuk memudahkan tugas-tugas suaminya. Baginya, apa yang dimiliki tidak lebih mulia daripada mendukung misi suci yang diemban suaminya. Sikap inilah yang menjadi sumber kekuatan rumah tangga Rasulullah sepanjang kehidupan mereka bersama.
Khadijah begitu setia menyertai Nabi dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, beliau pasti menyiapkan segenap perbekalan dan keperluan. Seandainya Rasulullah agak lama tidak pulang, Khadijah akan mengunjungi untuk memastikan keselamatan suaminya tercinta.

Ketika Rasulullah khusyu’ bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga suaminya pulang. Apabila Nabi mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, istri teladan ini mencoba sedapat mungkin menenteramkan dan menghiburnya sehingga suaminya benar-benar merasakan ketenangan.
Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan peribadatan Rasulullah, Khadijah pasti bersama dan membantu, misalnya menyediakan air untuk mengambil wudhu.

Kecintaan dan kesetiaan itu bukan sekadar kepada suami, namun jelas berlandaskan keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah. Segala pengorbanan untuk suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.
Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang dilaksanakan makhluk-Nya dengan penuh keikhlasan, pasti mendapat ganjaran yang berkekalan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).
Janji Allah itu pasti benar. Wujud kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh Mutiah, Fathimah, dan juga Khadijah bukan sekadar menghasilkan kekuatan yang mendorong kegigihan dan perjuangan suaminya, namun juga membawa barakah yang besar kepada rumah tangga mereka. Anak-anak yang lahir dari wanita-wanita seperti ini adalah anak-anak yang shalih yang mendorong para orangtua menuju surga.
Kalaulah di zaman sekarang ini ada anggapan bahwa kesetiaan di atas merupakan lambang perbudakan pria kepada wanita, jelas itu tidak benar. Justru sebaliknya, itu merupakan cermin cinta, ketulusan, dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama dalam rangka mencari ridha-Nya.*( Hidayatullah.com dengan sedikit perubahan)

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers