MENGGAPAI SHALAT KHUSYUK

Posted by newydsui Sunday, April 3, 2011 0 comments

MENGGAPAI SHALAT KHUSYUK
Imtihan Syafi’i

Khusyuk dalam shalat hukumnya wajib, namun karena kelemahan manusia, Allah tidak menjadikannya sebagai syarat sah shalat. Shalat seseorang tetap sah, meskipun tidak khusyuk. Namun, sebagai seorang mukmin yang baik, mestinya kita berusaha meraih kekhusyukan itu. Apalagi Rasulullah saw bersabda, “Orang yang shalat itu bermunajat dengan Rabb-nya.”
Kita mesti berusaha menghadirkan hati di dalam shalat. Sebab munajat hanya dapat sempurna dengan menghadirkan hati.
Ibnu Taymiyah berkata, “Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya khusyuk dalam shalat adalah firman Allah, ‘Sungguh, orang-orang yang beriman itu pasti mendapatkan kemenangan. Yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka.’ (Al-Mukminun: 1-2) Allah mengabarkan bahwa merekalah orang-orang yang mewarisi surga Firdaus. Maknanya, selain mereka tidak berhak mewarisinya. Apalagi perbuatan-perbuatan lain yang disebut dalam ayat-ayat sesudahnya adalah perbuatan-perbuatan yang wajib. Perbuatan yang menjadi syarat teraihnya surga. Maka, khusyuk dalam shalat adalah suatu kewajiban.” (Majmu’ Fatawa: 22/554)
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Ketahuilah, dalil yang menunjukkan wajibnya khusyuk dan menghadirkan hati dalam shalat tidak sedikit. Di antaranya adalah firman Allah, ‘Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku’ (Thaha: 14) Pada asalnya perintah menunjukkan wajib. Lalai antonim dari dzikir. Barangsiapa yang lalai dalam semua shalatnya tidak mungkin mendirikan shalat untuk mengingat Allah. Allah juga berfirman, ‘Janganlah kamu menjadi bagian dari orang-orang yang lali.’ (Al-A’raf: 205) ini adalah larangan yang pada asalnya adalah haram.

Haram lalai!

Rasulullah saw bersabda,
كَمْ مِنْ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صَلاَتِهِ التَّعَبُ وَالنَّصَبُ
“Betapa banyak orang yang mengerjakan shalat namun ia hanya mendapatkan lelah dan capek dari shalatnya itu.’ (Hadits shahih diriwayatkan oleh ad-Darimiy; juga Ahmad dan Ibnu Majah dengan lafal yang mirip)
Beliau juga bersabda,
لَيْسَ لِلْعَبْدِ مِنْ صَلاَتِهِ إِلاَّ مَا عُقِلَ مِنْهَا
Seorang hamba tidak mendapatkan bagian shalat kecuali bagian yang dia berakal pada saat mengerjakannya.


Beberapa tips shalat khusyuk

Pertama, mempersiapkan shalat dan menghadirkan keagungan Allah. Agar kita dapat mengerjakan shalat dengan khusyuk, janganlah kita memulai shalat kecuali jika kita benar-benar sudah siap. Bukan berarti tidak berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah atau menunda-nunda pelaksanaan shalat, tetapi kita mesti bersiap-siap beberapa saat sebelum shalat kita tunaikan. Segera menghentikan segala aktivitas begitu adzan dikumandangkan, cukup. Bahkan sebagian salaf sudah berada di masjid saat adzan dikumandangkan. Adzan adalah batas akhir. Shalat Jumat, yang paling banyak pahalanya adalah yang berangkat paling pagi, seperlima bagian waktu pagi sampai siang yang berarti berangkat sebelum pukul tujuh.

Begitu mengambil air wudhu, mestinya jasad dan batin kita siapkan untuk pelaksanaan shalat. Berbagai kesibukan dan aktivitas duniawi tidak lagi menggelayuti hati kita. Fokus kita sudah harus shalat. Benak kita mesti sudah dipenuhi dengan kesiapan untuk berdiri di hadapan Allah. Kalbu kita mesti bersiap-siap untuk melakukan munajat agung.
Keagungan Allah mesti hadir dan bertahta di hati kita. Dengan begitu, kita tidak akan main-main dalam melaksanakan shalat. Bukankah tidak ada orang yang bermain-main saat menghadap dan berbicara dengan seorang raja atau presiden. Dalam shalat seseorang menghadap Allah, Maharaja yang Mahasuci Mahasempurna Mahakuasa Mahaagung dan Mahamulia.

Kedua, mengingat rendah-sepelenya dunia dibandingkan akhirat. Menghadirkan rasa, bahwa kita pasti menghadap Allah untuk mendapatkan balasan atas amal-amal kita. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan, “Wahai hamba-Ku, hanyasanya itulah amal-amal kalian. Aku menghitungnya untuk kalian kemudian Aku berikan balasannya. Barangsiapa mendapati kebaikan, hendaklah dia memuji Allah; sedangkan barangsiapa yang menghadapi selain itu, janganlah dia mencela siapa pun kecuali dirinya sendiri. (HR. Muslim, at-Tirmidziy, Ibnu Majah, Ahmad)

Sa’ad bin Abu Waqqash ra menyampaikan bahwa Rasulullah saw pernah berpesan, “Jika kamu henda mengerjakan shalat, kerjakanlah seperti shalatnya orang yang hendak pergi (meninggal dunia).” (HR. al-Hakim, dinyatakannya sebagai hadits shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Mengerti hakikat nilai dunia akan sangat memnbantu seseorang untuk mengerjakan shalat khusyuk.

Ketiga, mengerjakan shalat dengan perlahan, santai, tetapi serius. Tergesa-gesa dapat merusak shalat kita. Dahulu ada seseorang yang mengerjakan shalat dengan tergesa-gesa. Kepada orang itu Rasulullah saw bersabda, “Ulangi dan shalatlah, sesungguhnya kamu belum mengerjakan shalat.”
Beliau juga bersabda, “Inilah shalat orang munafik. Dia mengintai matahari, sehingga saat matahari berada di antara dua tanduk setan, orang itu pun berdiri dan “mematuk” empat kali.
Abu Hurayrah bertutur, “Kekasihku (Rasulullah saw) berpesan kepadaku supaya dalam shalatku aku tidak mematuk seperti ayam jantan, tidak menolah-noleh seperti seekor anjing hutan, dan tidak duduk seperti seekor kera.” (HR. Ahmad, ath-Thayalisi, dan Ibnu Abu Syaybah; menurut Syekh al-Albani, hadits ini hasan.

Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling buruk dalam mencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana seseorang mencuri shalatnya?’ Beliau menjawab, ‘Saat dia tidak menyempurnakan rukuk sujudnya.’.” (HR. al-Hakim, ath-Thabaraniy, dan Ibnu Abu Syaybah; dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Wallahu a’lam.

Wahyu dan Akal
Dalam Tinjuan Syar’i
Oleh : Ryan Arif Rahman, Lc.
Prolog

Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita membuka Al Qur’an maka pasti kita akan menemukan kata “al-`aql” beserta pecahan kalimat dan perubahannya lebih dari lima puluh kali, begitu juga kata “Ulu l-albab” yang disebut hingga sepuluh kali lebih. Tujuannya adalah agar manusia benar-benar menggunakan akal yang dianugrahkan secara maksimal dan benar. Selain itu Al-Qur’an menjelaskan bahwa salah satu sebab terjerumusnya manusia ke dalam api neraka adalah tidak menggunakan akal dengan baik.

Definisi Akal

Kata akal berasal dari bahasa arab, ‘aql. Dalam kamus kamus arab, kata ‘aql itu berarti mengikat atau menahan. Misalnya, pengikat serban disebut ‘iqal; menahan orang di penjara disebut I’tiqal; orang yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil. Alqur’an tidak merujuk makna akal itu kepada otak yang berpusat di kepala, tetapi kepada kalbu. Dengan demikian, pengertian akal versi alqur’an berbeda dengan pengertian akal menurut filsafat yunani yang disebut nous. Dalam pengertian nous, daya berfikir itu terdapat dalam jiwa yang berpusat di otak. Jadi, pengertian akal yang dipakai di sini ialah akal menurut pengertian ayat ayat alqur’an tadi, yang didukung oleh pengertian etimologis arabnya.

Ada perbedaan pendapat ulama dalam memberikan makna istilah, namun keseluruhannya terkodifikasi dalam empat makna:

Pertama, Naluri manusia (Gharizah). Naluri manusia seperti halnya dengan kekuatan indrawi manusia, seperti melihat yang merupakan kekuatan mata dan kekuatan lisan dengan merasakan berbagai rasa makanan. Keberadaan akal merupakan syarat dalam hal pengetahuan dan semua yang bisa dinalar (reasonable). Naluri juga perwujudan sasaran penerapan hukum-hukum syar`I. dengan akal juga manusia dapat dibedakan dengan semua hewan. Imam Ahmad (W.241H.) mengatakan, “akal itu adalah naluri, hikmah adalah kecerdasan, ilmu adalah sima` (didasarkan atas apa yang didengar), mencintai dunia adalah hawa dan zuhud terhadap dunia adalah memelihara diri (ifaf).”

Kedua, ilmu dlarury. Suatu ilmu yang diketahui seluruh insan yang berakal seperti ilmu pengethuan tentang hal-hal yang bersifat assumsi, pasti dan mustahil. Al-Qadli Abu Bakar mengatakan, “Akal adalah ilmu-ilmu dlarury tentang wajib adanya sesuatu yang wajib ada, kemungkinan adanya hal hal yang mungkin ada dan ketiadaan sesuatu yang mustahil ada.”

Ketiga, Ilmu Nadlary. Suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh setelah melalui berbagai pemikiran, perenungan dan eksperiment. Kualitas manusia dalam ruang ilmu pengetahuan jenis ini satu dengan yang lain tentunya berbeda. Abu Hamid al-Ghazaly mengatakan, “Ilmu yang diraih dengan metode penelitian pada objek dengan berbagai keadaannya. Maka siapa saja yang berpengalaman dengan penelitian yang dijalaninya dan pemikirannya terpola dengan bermacam teori, maka biasanya ia dapat disebut `aqil –orang yang berakal- sebaliknya, siapa saja yang tidak menjalaninya disebut dengan ghabi atau jahil.

Keempat, Perbuatan yang merupakan buah dari keberadaan ilmu pada diri manusia. Az Zajaj (W. 331) mengatakan, “Seorang `aqil adalah siapa saja yang mengerjakan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, siapa saja yang tidak mengerjakannya, maka ia jahil.”
Dari setiap makna akal diatas, tidak disebutkan bahwa akal itu adalah materi (zat/ jauhar) yang berdiri sendiri (seperti halnya yang dianut para fhilosof yunani dan siapa saja yang mengusung pemikiran mereka). Akan tetapi akal adalah sifat dan materi yang terkait dengan pemiliknya.

Tempat Akal

Para ulama berbeda pendapat mengenai letak akal dalam diri manusia. Ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam otak, artinya di kepala. Dasarnya, apabila seseorang mengalami benturan keras di daerah kepala dan ia mengalami gegar otak, akalnya akan hilang. Juga kebiasaan orang arab yang mengatakan orang yang berakal itu sempurna otaknya, sedang orang yang lemah akalnya adalah orang yang lemah otaknya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akal berada dalam hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sebagian Hanabilah dan imam Abu Alid al Baji. Dalil mereka adalah firman Allah : ”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga yang dengannya mereka mendegar.”
Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati. Orang yang berkeinginan tak mungkin mempunyai keinginan kecuali setelah memahami apa yang ia inginkan, sedangkan pemahaman berasal dari otak.”

Hubungan Wahyu Dan Akal

Tidak semua persoalan bisa dikerajakan oleh akal. Ada beberapa persoalan yang bukan menjadi garapan atau kerja akal. Persoaln itu adalah : Mughayabat (hal-hal yang ghaib), Qath’iyah. (Hal-hal yang telah disebutkan dasarnya di dalam Al Qur’an dan As Sunah), Arkan (rukun-rukun), Mutasyabihat ( ayat-ayat yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya.) dan Dzat Allah, serta Hakimiyah (Hak membuat UU).

Dalam Islam, Akal manusia itu terbatas, karena itu dia membutuhkan wahyu untuk membimbingnya guna mendapat kebahagian dunia maupun akhirat. Atau dengan kata lain, akal harus tunduk kepada wahyu. Kata wahy berarti suara, bisikan, isyarat, yang merupakan pemberitahuan tersembunyi, rahasia, danselintas kilat. Tetapi secara syar’I, wahyu didefinisikan sebagai perkataan Allah yangdisampaikan kepada para RasulNya.

Akal tidak dapat bergarak bebas, karena jika bebas dia akan jatuh dalam kesesatan. Oleh karena itu menurut Sayyid Qutbh, adanya wahyu merupakan pengontrol bagi akal agar dia tidak jatuh ke dalam kesesatan. Wahyu tidak menghalangi akal dari apapun, wahyu hanya menjaganya dari kesalahan memandang dan godaan hawa nafsu serta syahwat. Bahkan wahyu mendorong akal untuk bergerak dan aktif secara dinamis.

Menurut Imam Syatibi, akal mempunyai peran besar untuk memahami dalil syariat, beliau berpendapat, dalil ada tiga, yaitu dalil Sam'iyyah (al-Quran dan al-Hadist), dalil 'adiyyat dan dalil akal. Dalil akal dan adat berada posisi yang sejajar yang dia bagi menjadi tiga macam hukum, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz. Tetapi dalil adat berbeda dengan akal dalam satu hal, yaitu dalil akal bersifat teoritis sedangkan dalil adat bersifat emperik atau praktis, kendati seperti itu keduanya tetap bersifat rasional. Keabsahan akal diuji dari segi benar dan tidaknya (shahih wa ghair shahih), sedangkan dalil akal diuji dari segi realistis dan tidak realistiknya (al-wuqu' wa ghair al-wuqu').

Akal tidak dapat menjadi dalil syariat secara mandiri walaupun akal mempunyai kemampauan besar. Akal tidak berfungsi sebagai dalil yang mencipta syariat (al-aql lays bi syar'i). Imam Syatibi berkata bahwa akal hanya mengetahui kemashalatan manusia secara garis besar saja. Akal tidak dapat atau belum mengetahuinya secara rinci hingga syariah datang menjelaskan. Bukti bahwa akal hanya mengetahui maslahah secara garis besar saja adalah manusia sepakat bahwa untuk mendapatkan kemashalatan dunia dan akhirat ialah tidak mengikuti hawa nafsu jahat. Oleh karena itu, syariat datang untuk memperincikan atau memperjelas kemashalatan dan mewajibkannya untuk dilaksanakan demi terwujud kemashalatan dunia dan akhirat dengan jalan tidak mengikuti hawa nafu yang jelek.

Jadi jelaslah bahwa Imam syatibi berpendapat bahwa akal terbatas, yaitu hanya mengetahui kemasahalan dunia secara garis besar. Oleh karena itulah maka syariat datang memperenci atau memperjelas kemashalatan itu.

Begitu juga menurut al-Gazhali, untuk membedakan antara hal yang transendental dan yang irasional, akal memerlukan wahyu, karena akal tak mampu mengetahui manfaat dan khasiat secara keseluruhan. Oleh karena itu menurutnya, ilmuwan yang hanya menggunakan akal semata kemudian mendakwahkan dapat mengetahui semua maksud nabi dalam masalah tersebut, hanyalah karena kepicikan akalnya bukan karena kejeniusannya.
Ahli sunnah berpendapat bahwa akal sehat sesuai dengan dalil yang shahih. Ketika ada permasalahan maka naql yang harus didahulukan, karena naql tidak membawa sesuatu yang tidak mustahil dapat diterima oleh akal. Apabila naql tidak dapat dipahami oleh akal maka akal harus membenarkan naql, bukan menentangnya. masih menurut ahli sunnah, akal tidak dapat disepelekan, karena sebab akallah jatuh taklif kepada manusia. Walaupun begitu, akal harus tunduk kepada syariat, sebab jika akal tidak tunduk maka berarti mereka tidak membutuhkan rasul Allah.

Ahli sunnah juga berpendapat bahwa segala perbuatan baik dan jelek dapat diketahui oleh akal. Tetapi akal tidak dapat memperinci atau memperjelas kebaikan yang dapat membawa kepada pahala dan kejelekan yang membawa kepada dosa, kecuali dengan syar'i. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim "segala perbuatan pada dirinya terdapat kebaikan dan kejelakan, sebagaimana ada juga yang bermanfaat dan yang merusak, dan pahala dan dosa diketahui dengan syar'i. oleh karena itu, manusia tidak akan diazab atau disiksa sebelum datangnya syar'I, jadi syaratnya disiksa ialah dengan datang syar'i. banyak dari para ulama termasuk Imam mazhab yang empat mengatakan bahwa kejelekan bisa diketahui dengan akal, tetapi siksa ikut diterima setelah datang syar'I.

Menurut Ibnu Qayyim, akal dapat mengetahui baik dan buruk, tetapi tidak dapat memperincikan masalah pahala dan siksa. Jadi jelaslah bahwa menurut para ulama di atas akal itu terbatas. Suatu bukti bahwa akal terbatas ialah tentang siapa yang harus disembah oleh manusia. Sesungguhnya para ahli agama atau para ahli aliran atau mazhab atau semua manusia sepakat bahwa alam dan segala isinya ada penciptanya, yaitu Tuhan. Masalahnya ialah ketika mereka memikirkan atau mencari pencipta itu, yang mereka harus sembah, tidak akan dapat ditemukan yang sebenarnya, karena mereka hanya mengandalkan masing-masing akal mereka saja. Maka akhirnya kemudian setiap mereka berkhayal kemudian menggambarkan pencipta itu secara masing-masing maka kemudianpun akan terdapat bermacam-macam Tuhan sesuai dengan masing-masing versi mereka. Maka oleh karena itu perlu ada syar'I atau wahyu yang dibawa oleh rasul untuk memberitahukan siapa pencipta yang harus disembah dan menjelaskan secara terperinci kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi manusia.
Untuk lebih jelas lagi tentang peran Rasul atau Nabi, Syaikh Ali Ahmad al-Jarjawi menyebutkan tugas-tugas rasul. Pertama, menjelaskan atau memberitahukan tuhan yang harus disembah oleh manusia, dan tentang sifat-sifatnya (yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz). Kedua, mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan, ketinggian kodratnya, keagungan taqdirnya dan yang lainnya. Juga menerangkan bahwa tuhan bisa mengangkat atau menurunkan derajat manusia dengan kehendaknya dan sesuai dengan perbuatan manusia. Menerangkan juga tentang janji dan ancaman. Ketiga, mendidik manusia bagaimana berahlaq baik, seperti jujur, sabar, dermawan, dan lain-lain. Keempat, mendidik manusia bagaimana cara mengagungkan allah atau mengabdi kepada allah dengan baik atau benar, atau membuat mereka taat dan tunduk kepada-Nya. Kelima, meletakkan undang-undang dan membuat aturan-aturan yang dapat mengatur kehidupan manusia agar antara mereka terjalin kasih sayang atau terwujud ketentraman dan kesejahteraan. Misalnya tentang hukum pencurian, pembunuhan, peminjaman, penyewaan dan lain-lain. Keenam, menjelaskan bagaimana mereka dapat memenuhi penghidupan mereka secara benar dan mendorong untuk mendapatkannya, sehingga mereka tidak malas.

Maka jelaslah, dari penjelasan di atas bahwa islam sangat mendorong akal untuk dinamis, tetapi akal tidak bisa bergerak bebas sebebas-bebasnya. Pergerakan akal harus dikontrol oleh wahyu yang disampaikan para Rasul dan Nabi. Wallahu ‘alam

Referensi :
• Abu Hamid al-Ghazaly, Ihya’ Ulumi d-Dien. (Singapura: Daar Sulaiman Maz`iy, tt) vol: I
• Al Buraikan, Ibrahim Bin Muhamad. Al Madkhal Li Dirasati Al Aqidah Al Islamiyah Ala Madzhabi Ahlu Assunnah Wal Jama’ah.
• Al Hanafy, Ali Bin Abu Al Izz, Syarhu Aqidah Al Thahawiyah , Dar Ilmu Al Kutub, Riyadh. Cet Ketiga 1418 H.
• Al Khotib Al Bagdadi, Abu Bakar Ahmad Bin Ali Bin Tsabit, Al Faqih Wal Mutafaqih, Daru Ibnu Al Jauzi Diman, Cet pertama 1417H/1997H.
• Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori. 1961. Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an, Mesir: Daar Al-Kutub Al-Misriyah.
• 'Awwad. Al-Mu'tazilah wa Ushul al-Khamsah wa Mawqifu ahli al-Sunnah Minha.
• Dr. Abdu Salam Basyuni , Al Aqlaniyah Hidayah Am Ghiwayah, Darul Wafa’, Kairo, Cet. 1, 1992 M.
• Dr. Subhi Ash-Shalih, An-Nudlumu l-Islamy wa Tathawwuruha. (Beirut: Daar Al-Ilmu Lilmalayiin, 1388 H./1967 M.) cet. Pertama, hlm: 195 et seq.
• Hamid, Abu al-gazhali. Qanun al-ta'wil. Tahkrij hadits Mahmud Bajo. Cetakan pertama, 1413 H/ 1992 M
• Hamid, al-Tsari. Al-Wajiz fi 'Aqidati Salafi al-Shalih Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah (trjm: Inti Sari Aqidah Ahli Sunnah Wa al-Jamaah), oleh Farid Bin Muhammad Bathathay. Jakarta: Pustaka Imam Syafi'i, 2006 .
• Hamka haq, Al-syatibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007 hlm 108.
• I’dad Gholib Bin Aly ‘Iwaji, Firaq Muasirah Wa Bayanu Mauqifu Islam Minha, Maktabah Layyinah, Cet Pertama, 1414H /1993M.
• Ibnu Taimiyah. Majmu' Fatawa, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 1418 H/1997M.
• Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar Al-Rasyd 1429 H /2008
• Manna’ Kholil Qothan, Mabahits Fi Ulumil-Qur’an. Mansyurat Al Asrul Hadits, Cet Ketiga, 1393h / 1973 M.
• Muhammad Abdullah Ibrahim Al Khur’an, Al Ilmu Ushuluhu Wa Mashadiruhu Wa Manahijuhu, Darul Wathan , Cet.Pertama,1412 H.
• Syeh Ali Ahmad Al-jarjawi Hikmatu al-tasyri' wa falsafatuh (trjmh: Indahnya Syariat Islam,) oleh Faishal Shaleh, dkk. Jakarta: Gema Insani, Cetakan pertama, 2006
• Utsman Bin Ali Hasan, Manhaju Al Istidlal ‘Ala Masaili Al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah Wal Jama’ah. Maktabah Ar Rusyd, Riyad Cet Kedua 1413H/1993M.
• Wahabah Zuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, cetakan kedua, 1416 H/1995.

ISLAM AGAMA RASIONAL DAN IRASIONAL
Oleh: Teungku Azhar, Lc.


Di antara karakteristik Akidah Islam adalah Muwafaqatun Lil Fithrah Al-Qawimah wal ‘Aqlis Salim yaitu: Akidah Islam selaras dengan fitrah manusia dan akal sehat. Karena akidah ahlussunnah wal jamaah tegak di atas prinsip ittiba’ dan iqtida` serta ihtida` (mencari hidayah hanya dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, serta apa yang ditempuh oleh generasi salaf terdahulu. Dari mereka tertuang siraman fitrah dan akal sehat. Adapun selain akidah Islam, maka hanya berupa keraguan yang justru membutakan fitrah dan membingungkan akal sehat.

Dengan Akal Kita Dapat Mengenal Allah

Adapun manfaat dari buah fikiran adalah untuk mengetahui Allah, nama, serta sifat-sifat-Nya yang sempurna dan agung. Dengannya orang-orang mukmin beriman kepada kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, pertemuan dengan-Nya, dan para Malaikat-Nya. Dengan buah fikiran, dapat diketahui ayat-ayat Rububiyah-Nya, dalil-dalil Wahdaniah-Nya, serta mukjizat para Rasul-Nya.
Dengan buah fikiran pula, perintah-perintah Allah dapat dilaksanakan dan larangan-larangan-Nya bisa ditinggalkan.

Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Orang yang berakal itu bukanlah yang bisa membedakan antara yang baik dari yang buruk, akan tetapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari dua keburukan.”
Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, “Berbahagialah orang yang menjadikan Allah sebagai akalnya.”
Shahabat Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Setelah salah seorang anak Kisra dilahirkan, maka dipanggillah beberapa orang guru, lalu bayi itu pun diserahkan kepada salah seorang di antara mereka.” Kisra pun bertanya kepadanya, “Apakah yang paling baik pada diri anak ini?” Guru itu menjawab, “Akal yang lahir bersamanya.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada akal itu?” Guru itu menjawab, “Adab yang baik untuk bergaul dengan manusia.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada adab itu?” Sang guru menjawab, “Maka akan ada petir yang menyambar dirinya?”

Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa yang akalnya bukan sesuatu yang paling dominant pada dirinya, maka dia akan mati dan binasa karena sesuatu yang dicintainya.”
Yusuf bin Asbath –rahimahullah- berkata, “Akal adalah pelita yang tidak tampak, perhiasan yang tidak kelihatan, pengatur anggota badan dan pengawas seluruh urusan hamba. Tidak akan baik hidup ini kecuali dengannya dan tidak berjalan dengan normal semua urusan kecuali dibangun di atas akal tersebut.”
Abdullah bin Mubarah –rahimahullah- pernah ditanya, “Apa sesuatu yang paling mulia yang diberikan kepada seorang hamba setelah Islam?” Beliau menjawab, “Naluri akal.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Adab yang baik.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Teman yang baik yang bisa dimintai pendapatnya.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Banyak diam.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Kematian yang disegerakan.”

Islam Agama Rasional dan Irasional

Ada berbagai macam pendekatan terhadap Islam. Salah satunya adalah pendekatan rasional. Pendekatan ini adalah salah satu pendekatan yang universal. Tentu saja karena fitrahnya setiap manusia memiliki akal untuk berpikir. Meski seseorang awalnya menerima Islam dengan jalur lain, suatu saat ia akan menanyakan secara rasional, mengapa saya shalat misalnya.
Rasional menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya “menurut pikiran dan pertimbangan dengan alasan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal; sesuai dengan akal sehat”. Atau sederhananya rasional itu “logis” atau “masuk akal” menurut Tesaurus Bahasa Indonesia.
Setidaknya ada dua konsep yang dimaksud dengan Islam sebagai agama yang rasional. Pertama, konsep yang biasa beredar di masyarakat. Menurut pengertian ini, yang dimaksud Islam agama rasional adalah Islam memiliki pembenaran “rasional” atas aturan-aturannya bahkan aqidahnya. Yang kedua, Islam merupakan agama yang rasional karena dasar-dasarnya dibangun atas “hujjah-hujjah” yang dapat dibuktikan secara rasional.

Konsep pertama
Secara sederhana, yang dimaksud pembenaran “rasional” adalah ada manfaatnya. Aturan yang ada dalam Islam pasti mengandung manfaat. Dengan konsep ini, ramailah orang mencari-cari apa manfaat dari suatu perintah atau larangan Allah. Fenomena dari pendapat ini bisa kita lihat dari ramainya buku tentang manfaat shalat, wudhu, shaum ditinjau dari berbagai segi seperti kesehatan atau psikologis.

Orang yang memegang konsep pertama ini berpendapat bahwa pada masa lalu ilmu pengetahuan belum berkembang sehingga orang-orang tidak perlu dijelaskan manfaat-manfaatnya. Sedangkan di zaman sekarang orang-orang tidak akan menerima Islam bila tidak dijelaskan manfaat-manfaatnya, khususnya secara ilmiah.

Zakir Naik dalam bukunya “Answers to Non Muslims’ Common Questions About Islam” selain menyampaikan larangan Allah dalam Al-Qur’an juga menjelaskan panjang lebar mengenai keburukan dari alkohol. Zakir, yang merupakan seorang dokter, menjelaskan 19 penyakit yang biasa diderita pecandu alkohol. Beliau juga menjelaskan adanya keterkaitan antara mabuk dengan tindak kejahatan seperti perzinaan, pemerkosaan, incest bahkan AIDS.
Islam tidak melarang kita mencari tahu apa manfaat suatu aturan. Islam juga tidak melarang kita mencari korelasi antara suatu aturan dengan penyelesaian suatu permasalahan. Dalam bahasa ushul fiqih, kedua hal ini disebut sebagai hikmah. Bila disikapi sebagai hikmah tentu menambah keimanan kita kepada Allah. Hanya saja kedua hal itu bukan alasan adanya aturan itu. Bahkan kita tidak akan pernah tahu alasan Allah memerintahkan suatu hal kecuali Allah memberitahukan alasannya kepada kita.

Jika tidak disikapi seperti di atas cara seperti ini malah bisa jadi blunder karena tidak semua hal bisa kita cari-cari manfaatnya. Lebih dari manfaat yang dikemukakan seringkali subjektif dan kondisional. Misalkan masa iddah perempuan. Islam menetapkan masa iddah perempuan salah satunya adalah tiga bulan. Hikmah iddah ini adalah untuk membedakan ayah kandung bayi yang lahir sembilan bulan setelah pernikahan baru. Bila hikmah tersebut adalah alasan, tentu kehadiran teknologi bisa mengurangi waktu iddah tersebut. Waktu iddah hanya tinggal butuh waktu lima menit.

Kekhawatiran ini terbukti. Sudah ada upaya “rasionalisasi” terhadap aqidah dan syariah yang tidak diterima pembenaran “rasional”nya. Keyakinan dan aturan yang tidak ada manfaatnya dan tidak sesuai dengan modernitas, maksudnya bertentangan dengan HAM dan Demokrasi, harus dibuang.

Homoseksual yang secara qath’i diharamkan dalam Al-Qur’an sekarang bisa dilegalkan, bahkan perlu dinikahkan. Sumanto Al-Qurtuby dalam buku “Jihad Melawan Ekstremis Agama Membangkitkan Islam Progresif” misalnya. Menurut Sumanto, “Konsep perkawinan dalam suatu ikatan “sakral” bukan melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan keluarga sakinah (ketentraman kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk mewujudkan keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi sesama jenis. Justru malapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian dipaksa kawin dengan lain jenis.”

Bahkan aqidah Islam yang dianggap tidak bermanfaat dibuang. Contohnya Harun Nasution yang berpendapat rukun iman keenam perlu dihapus. Menurutnya keimanan kepada qadha dan qadar harus dibuang karena membuat umat Islam jadi lesu dan tidak bergairah sehingga akhirnya menjadi bangsa yang terbelakang. Menurut Harun, paham muktazilah –pengikutnya kini lebih suka disebut rasionalis– cocok dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan paham ahlus sunnah dianggap tidak cocok dengan kemajuan iptek karena dinilai bersikap jabari (serba kehendak Tuhan). Harun sepertinya lupa bahwa masa jaya muktazilah hanya 20 tahun sedangkan masa gemilang umat Islam itu mencapai ratusan tahun sembari memegang teguh qada dan qadar.

Sikap seperti ini malah menghancurkan bangunan Islam. Setiap ajaran Islam bisa ditinggalkan karena dianggap tidak bermanfaat. Bahkan shalat bisa saja ditinggalkan dengan alasan sudah tidak mengerjakan perbuatan fahsya dan munkar. Atau seperti pendapat Luthfi Asysyaukani, seorang pentolan JIL, pernah menulis di Kompas (3/9/2005), bahwa seorang muslim bisa merasa dekat dengan Allah tanpa melalui shalat karena bisa diganti dengan meditasi. Padahal apalah namanya Islam tanpa shalat.

Konsep kedua

Hujjah yang rasional maksudnya otentisitas dan otoritas sumber agama dapat dibuktikan validitasnya. Sumber agama di sini yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Membuktikan otentisitas maksudnya kita harus membuktikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sekarang masih sama dengan saat masa turun dan keluarnya. Sedangkan membuktikan otoritasnya maksudnya kita harus bisa membuktikan bahwa keduanya adalah wahyu Allah. Sikap membuktikan otentisitas dan otoritas sumber adalah sikap yang rasional.
Ketika kedua sumber tersebut sah otentisitas dan otoritasnya, maka sikap menerima apapun isi kedua sumber agama tersebut bisa disebut sikap yang rasional pula. Malah lebih dari itu mempertanyakan manfaat isi dari kedua sumber itu dengan maksud ingin menghapusnya justru merupakan sikap yang tidak rasional. Sebab sikap tersebut artinya menolak wahyu Allah yang juga bisa bermakna menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan konsep ini, hal-hal yang kadang dianggap irasional sebenarnya rasional secara logika. Misalnya kisah terbakarnya nabi Ibrahim. Orang-orang yang salah dalam memegang konsep pertama berupa mencari ta’wil apa maksudnya nabi Ibrahim terbakar. Bagi mereka kepercayaan bahwa nabi Ibrahim dibakar itu irasional karena mustahil manusia yang dibakar masih bisa hidup.

Sedangkan bagi yang memegang konsep kedua, yang diperlukan hanyalah mengecek apakah cerita ini berasal dari sumber yang otentik dan punya otoritas. Bila ya, tentu harus dipercaya. Bila ditinjau lebih dalam, sikap kedua ini malah lebih rasional. Bukankah menolak selamatnya nabi Ibrahim setelah dibakar malah mengecilkan kemahakuasaan Allah?
Taqiyuddin An-Nabhani (seorang tokoh HTI) pernah menulis, “Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli (rasional, pen) juga. Sebab, dasarnya (Al-Qur’an atau As-Sunnah, pen) telah dibuktikan oleh akal.”

Dr. Abdullah Abdul Muhsin At Turki dan Syu’aib al Arnauth brakata, “Akal adalah salah satu wasilah yang terbatas dari sekian wasilah untuk mencapai pengetahuan. Akal tak bisa mengetahui selain hal-hal yang terindrai secara yakin, dan bisa mengetahui hal-hal ghaib secara tashawur (pemahaman) saja, bukan secara yakin. Ahlu sunah beriman dengan cara mengitsbatkan apa yang dikhabarkan oleh nash tentang hal-hal ghaib dan membenarkannya, tanpa membahas lagi kaifiyahnya karena hal itu bukan kemampauan akal.” [Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 25, Dar Alamuul Kutub cet. 3, 1418 /1997M].

Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya hal. 364-365 berkata, “Hanya saja anda jangan berambisi menimbang dengan akal masalah tauhid, akhirat, hakekat nubuwah, hakekat sifat-sifat Ilahiyah dan setiap hal yang diluar kemampuannya, karena berarti ambisi yang mustahil. Permisalannya bagaikan seorang melihat timbangan emas, lalu berambisi menimbang gunung-gunung dengan timbangan itu. Bukannya timbangannya yang tak benar, namun akalnya yang tak mampu…” [[Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 26]].
Wallahu A’lamu bish Shawab.

RINDUKU PADA JANNAH

Posted by newydsui 0 comments

RINDUKU PADA JANNAH

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)
Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an, di antaranya :
“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)
“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Di antara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Menghargai Yang Nampak Tidak Berharga

Yang akan saya sampaikan ini adalah kisah nyata, sebagaimana yang disampaikan seorang penulis dalam sebuah bukunya. Saya sampaikan kembali dengan sedikit perubahan.
Ada seorang ustadz yang tinggal di sebelah mushalla perumahan. Ia seorang penghafal Al Qur’an, suaranya merdu. Selama masih ada beliau, dialah yang menjadi imam di mushalla tersebut. Namun pada suatu malam, saat shalat isya’ ustadz tersebut tidak datang untuk mengimami. Ternyata ustadz sedang sakit. Ketika jamaah masjid datang menjenguk, beliau sedang memegang perutnya sambil meringis menahan rasa sakit. Ustadz menerangkan bahwa beliau sedang mengalami gangguan pencernaan, sudah tiga hari tidak bisa kentut dan buang air besar.

Karena sakitnya sudah tidak tertahankan, akhirnya malam tersebut ustadz dibawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter memutuskan ustadz harus dioperasi untuk menyembuhkan penyakitnya. Operasi akan dilakukan esok harinya sekitar jam sepuluh. Malam itu ustadz harus menginap di rumah sakit.

Ustadz ditempatkan di ruang biasa yang menampung beberapa pasien. Ternyata di raung tersebut ada seorang pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan ustadz, dan juga akan menjalani operasi. Ustadz mendapat giliran operasi setelah orang tersebut. Sambil menunggu giliran beliau banyak berdzikir dan memanjatkan doa agar diberi kemudahan dalam proses operasi dan penyekitnya agar segera sembuh. Namun sebagai manusia, tetap saja ada rasa khawatir. Berbagai pikiran berputar-putar di otaknya, apakah setelah di operasi ia akan benar-benar sembuh? Berapa banyak biaya yang akan ia keluarkan?
Selesai orang itu menjalani operasi, ustadz bertanya kepadanya berapa biaya yang ia keluarkan? Dengan santai ia menjawab: 8 juta lebih.. dan semuanya ditangguh oleh kantor. Jawaban itu selain mengagetkan beliau, juga membuatnya merasa sendirian. Penyakit boleh sama namun nasib ternyata berbeda. Kalau dia seluruh biaya yang menanggung kantor, sedang dirinya? Ia sendiri yang akan menanggung biayanya. Ia tidak menyangka uang tabungannya selama ini hasil mengajar di sebuah SMA akan segera terkuras habis untuk membiayai operasi ini.

Tak hanya kaget, mendengar angka tersebut membuat perut ustadz mual. Mual dalam arti sesungguhnya, perutnya bergejolak hebat. Dan tiba-tiba…Duuut! Ustadz mengeluarkan kentut! Benar-benar kentut! Setelah itu, dengan cepat sakit perutnya hilang. Panas di badannya berangsur turun. Ustadz hampir tak percaya dengan kejadian itu. Iapun akhirnya tidak menjalani operasi. Beberapa jam kemudian, ustadz benar-benar sembuh. Tubuhnya normal secara total sebagaimana sebelumnya. Akhirnya beliaupun diperbolehkan pulang. Ya, pulang tidak jadi menjalani operasi gara-gara kentut. Kentut seharga 8 juta lebih. ..
Nikmat itu bernama kentut

Pembaca, setelah membaca kisah di atas saya yakin Anda akan tersenyum bahkan boleh jadi tertawa lebar. Ada satu hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas yaitu besarnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, meski terkadang nikmat tersebut kita anggap remeh dan boleh jadi kelihatan menjijikkan dan membuat rasa malu, contohnya kentut. Kentut sebenarnya adalah hal yang sangat sangat alamiah. Kentut walaupun pada dasarnya terdiri dari gas-gas yang tidak beracun namun jikalau banyak ditahan gas dalam perut ini akan menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan dapat menimbulkan rasa sakit di dalam perut, karena gas mempunyai tekanan, semakin banyak gas yang terkumpul tentu semakin besar tekanan gas pada dinding usus yang tentu dapat menghasilkan rasa sakit. Ternyata hal sekecil apapun bisa mengandung hikmah dan nikmat tersendiri.

Meneladani Hatim Al Asham

Kentut meski sepele ternyata merupakan nikmat yang luar biasa. Buktinya, berapa banyak orang masuk ke rumah sakit gara-gara tidak bisa kentut. Tapi terkadang banyak diantara kita yang justru mempermalukan atau memperolok-olok orang yang tidak sengaja mengeluarkan kentut. Padahal sebenarnya kita mampu untuk menutupinya. Mari kita lihat bagaimana sosok seorang ulama’ yang begitu menjaga kehormatan saudaranya muslim meski berkaitan dengan hal yang sepele yaitu kentut.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Rahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al Asham, dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki Al Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang hingga ia dijuluki dengan Al Asham.
Hatim Al Asham adalah orang yang sangat sopan dan juga dermawan. Pada suatu hari datanglah seorang wanita kepadanya untuk meminta sesuatu. Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan kentut dengan sedikit keras dihadapan Hatim Al Asham, maka wanita itupun menjadi salah tingkah, tetapi Hatim Al Asham adalah orang yg baik, ia mengerti bagaimana perasaan wanita, tentu wanita ini sangat malu dengan suara kentutnya yg lumayan keras, jadi Hatim pura-pura tidak mendengar kentut wanita itu.
Hatim Al Asham berkata: “Hai fulanah, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yg kamu bicarakan,” Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu menyangka bahwa Hatim tidak mendengar kentutnya yg membuat dirinya malu itu. Kemudian wanita itu pun mengulangi ucapannya dengan agak keras dan Hatim pun menjawabnya dg suara agak keras pula.
Setelah urusan mereka beres, wanita itu pulang dengan gembira dan ia tidak malu lagi dengan suara kentutnya karena ia sudah pastikan bahwa Hatim Al Asham tidak mendengarnya. Semenjak peristiwa itu, dan sampai 15 tahun (selama wanita itu masih hidup), Hatim Al Asham selalu berpura-pura tuli, dan selama itu pula tidak ada seorangpun yg menceritakan kepada wanita itu bahwa sebenarnya pendengaran Hatim Al Asham masih normal selayaknya orang lain.
Sungguh begitu baik budi pekerti Hatim, sehingga ia rela untuk berpura-pura selama 15 tahun demi menjaga nama baik dan perasaan wanita itu. Setelah wanita itu meninggal dunia, Hatim Al Asham sudah tidak berpura-pura tuli lagi, jika ditanya orang lain, dia dapat menjawabnya dengan mudah, tapi ia selalu mengatakan : "Berbicaralah yg keras!", kata-kata itu sudah menjadi kebiasaannya, karena sudah 15 tahun lamanya ia selalu mengucapkan hal itu kepada siapa saja yang menjadi lawan bicaranya. Semenjak peristiwa itu, maka Hatim diberi gelar AL ASHAM yg artinya si tuli, jadi Hatim Al Asham berarti Hatim yg tuli.

KEMULIAAN ORANG-ORANG YANG BERAKAL
Oleh: Teungku Azhar, Lc.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ َلآَيَاتٍ ِلأُولِي الأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”

Tafsir Ayat
Imam Ath-Thabari –rahimahullah- berkata, “Ayat ini adalah hujjah yang nyata dari Allah kepada seluruh makhluk-Nya bahwa Dia-lah yang mengatur, mempersilih-gantikan sesuatu, dan kepada-Nya lah semua makhluk berharap dan bergantung. Maka perhatikanlah wahai orang-orang yang berakal.”

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “Bahwasanya pada penciptaan langit dan bumi (dan apa-apa yang ada pada keduanya), serta bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal sempurna, yang mengenal sesuatu dengan hakikatnya, dan bukan seperti orang-orang yang bisu, tuli, dan buta yang disifati oleh Allah dengan,

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ . وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya. Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 105 dan 106)

Kemudian beliau berkata, “Kemudian Allah menjelaskan tentang sifat orang-orang yang berakal tersebut dalam ayat-ayat berikutnya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika kamu tidak mampu maka shalatlah dengan keadaan duduk, jika tidak mampu juga maka shalatlah dalam keadaan berbaring.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)

Beberapa Karakteristik Akal Seorang Muslim

Akal adalah potensi. Ia bersifat netral, tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Manakala digunakan oleh orang beriman, ia akan menuntunnya kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesejahteraan manusia. Namun manakala ia dimanfaatkan oleh orang kafir yang jauh dan lepas dari bimbingan wahyu, akal justru akan menyeret manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan. Karena itu Islam menggariskan beberapa karakteristik yang mesti ada agar potensi akal bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.
Dr. Abdus Salam Al Basyuni menyebutkan beberapa karakteristik yang tersebut adalah :

Pertama: Akal muslim

Maknanya akal yang benar-benar tunduk kepada ketentuan Allah Ta’ala. Ia mengerti betul medan mana saja yang harus digeluti dan medan mana yang ia tidak boleh turut campur di dalamnya. Akal muslim berarti akal yang beragama bukan akal seorang atheis. Dalam medan yang dilarang bergerak, ia berhenti dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada nash secara sempurna karena ia menyadari memang ada medan yang di luar kemampuan dan jangkauannya. Setelah meneliti, akal menyadari bahwa syar’I tak mungkin memerintahkan hal yang membawa kemudharatan bagi manusia. Akal menyadari antara hati dan akal beredar di orbit yang sama, tak mungkin keduanya bertabrakan atau saling menghancurkan. Akal dan hati laksana bulan dan planet. Akal mengikuti hati yang dibimbing wahyu, sebagaimana bulan beredar mengelilingi planet.

Dalam medan yang diperbolehkan, akal bekerja mengerahkan segenap kemampuannya untuk berdaya upaya bagi kesejahteraan manusia, dengan satu syarat tidak keluar atau menentang wahyu. Dalam medan ayang dibolehkan bergerak inilah, akal benar-benar bermanfaaat melahirkan berbagai kemajuan fisik yang memabawa kesejahteraan hiduap manusia. Akal menjadi awal dari perbagai penemuan dan kemajiuan di bidang industri, iptek, kesehatan dan bidang kehidupan lainanya.

Ustadz Muhammad Qutb menjelaskan hubungan akal dengan wahyu dengan jelas. Kata beliau,” Jadi wahyu dan akal bukanlah dua hal yang seimbang (serupa dan sama). Tapi yang pertama (wahyu) lebih besar dan lebih sempurna dari yang kedua. Yang pertama datang untuk menjadi pokok bagi yang kedua dan mizan (neraca timbangan) untuk menguji konsep dan pemahaman yang kedua (akal) dan membenarkan kekurangan dan penyelewengan yang kedua. Antara keduanaya ---tak diragukan lagi --- memang ada kesesuaian namun atas dasar ini (sama-sama bekeraja demi kemaslahatan manusia namun wahyu mengendalikan dan mengawasi akal---pent), bukan atas dasar menganggap keduanya sebagai dua hal sebanding.” [Khashoishu al Tashawur al Islamy hal. 20, dari Basyuni hal. 27].

Dari sini akal seorang muslim adalah akal ghoibi, dalam artian kata mengimani hal-hal yang ghoib dan mu’jizat-mu’jizat yang telah ditetapkan Alalh sekalipun tak bisa dicerna akal sehat. Hal-hal yang ghaib dan mu’jizat para nabi memang seratus persen dari Allah, karena itu para nabi sendiri mendatangkan mu’jizat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, namun sekali lagi atas kehedak Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,” Katakanlah Maha Suci Rabbku. Bukankah aku tak lain hanyalah seorang manusia biasa dan seorang rasul.” [QS. Al Isra’ :93].
Ini tentu berbeda dengan akal para “ pakar dan cendekiawan muslim ” hari ini yang banyak meragukan wahtu, hal-hal yang ghoib dan mu’jizat para nabi dengan alasan tak masuk akal. Akal yang demikian ini tentu bukan akal yang sehat, namun akal yang sakit dan teracuni oleh virus-virus pemikiran barat dan kufur.

Kedua: Akal Ushuli Salafy

Artinya akal yang benar-benar mengakui dasar-dasar dan pokok-pokok sumber ajaran Islam :
a) Mengakui dan mengimani Al-Qur’an Al-Karim, berikut muhkam dan mutasyabihnya, qath’i dilalah dan dhoni’ dialahnya.
b) Menghormati dan berkhidmat kepada sunah nabawiayah, menerima yang sunah yang shahih yang diterima oleh umat setelah diperiksa oleh para pakar hadits melalui qaidah-qaidah musthalah hadits. Akal seorang muslim selalu menerima setiap hadits yang shahih, tanpa membuat dikotomi hadits ahad-hadits mutawatir, hadits masalah hukum-hadits masalah aqidah dst seperti dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, yang ditiru para “cendekaiawan gerakan pembaharuan keagamaan” dewasa ini.
c) Mengakui ijma’ dan mencari hal-hal yang telah menjadi ijma’ para ulama. Manakala suatu masalah telah menjadi ijma’, akal tak boleh mencari-cari celah untuk menemukan pendapat yang lain.
d) Mengakui qiyas shahih sebagai dasar keempat bagi ijtihad. Qiyas yang shahih akan membimbing akal menuju kesesuaian ajaran Islam dengan berbagai perkembangan zaman.
Karena itu akal seorang muslim menolak berbagai pemikiran yang merusak keempat dasar Islam ini. Akal menolak :
a) Orang-orang yang meragukan Al Qur’an baik seluruhnya, sebagiannya atau meski satu huruf sekalipun. Karena itu kita menolak anggapan dan tuduhan bohong yang mengatakan ada mushaf lain selain Al Qur’an yang lebh lengkap seperti pendapat Rafidzah, atau yang mengatakan Al Qur’an adalah kisah fiktif biasa layaknya novel picisan seperti yang dikatakan Thoha Husain dalam buku Al Syi’ru al Jahili’nya atau yang meragukan adanya Ibrahim seperti dikatakan oleh Muhammad Ahmad Khalfullah dalam disertasinya, Al Qashash al Fanni fi al Qur’anil Karim. Sebagaimana kita juga menolak orang-orang yang memasukkan teori-teori impor dari orang kafir untuk memahamai Al Qur’an seperti teori materialistik, sosialisme dst.
b) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari as sunah, yang menyerang dan menghujat manhaj penulisan hadits, para perawi-nya, mukharijnya, kaedah mustholah hadits dst.
c) Kita Juga menolak orang-orang yang hanya menerima sunah bila sesuai dengan kepentinagan mereka, namun menolaknya manakala tidak memberi keuntungan kepada mereka, sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. An Nur : 47-50.
d) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari ijma’ secara terus terang atau menolaknya dengan alasan tak mungkin terajadi.
e) Kita Menolak orang-orang yang menolak dan mengingkari qiyas, karena qiyas seperti disebut oleh imam Al Asnawi adalah dan qoidatu al ijtihad wa al mushil ila al ahkam allati laa hasro laha /kaedah ijtihad dan hal yang menyampaikan kepada hukum yang jauh tak terbatas.
Selain empat dasar ini, akal seorang muslim juga menerapkan kaedah-kaedah yang telah disepakati untuk melakukan ijtihad seperti ushul fiqh, ilmu tentang waqi’, ilmu tentang bahasa arab [Nahwu, Sharaf, Balaghah dll], ilmu tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh dll. Sebaliknya, kita menolak orang-orang yang memaksakan akal mereka untuk ikut nimbrung – bila tanpa dasar ilmu-ilmu dan syarat ijtiahad --- dalam arena ijtihad dengan alasan kajian ulang dan ijtihad serta pembaharuan.

Seperti kita ketahui bersama, memang banyak yang mengkritik sikap berpegang teguh dengan dasar-dasar ajaran Islam ini sebagai sikap jumud, statis, kuno, ketinggalan zaman dan tak mampu menyesuaikan diri dengaperkemabangan zaman. Tuduhan ini selain salah juga mengada-ada. Betapa tidak, tak ada pihak manapun yang tidak memeganag teguh alandasa berpikirnya, sampai orang-orang kafir sekalipun. Lihat saja Eropa. Mereka betul-betul memegangi pendapat dan teori tokoh-tokoh filsafat kuno mereka seperti Plato dan Aristoteles, demikian juga dengan sastrawan seperti skahespear dan tokoh-tokoh lain. Bahkan orang Islam yang kebarat-baratan yang meneriakkan tuduhan tadi ternyata juga bangga dengan budaya kuno Yunani, Romawi, Babilonia, Asyuriah, Qibthiyah dst.
Wallahu A’lamu bish Shawab

YANG MENYEBABKAN ANAK SUSAH MAKAN

Pertanyaan pertama yang sering diajukan oleh orangtua pada dokter adalah mengapa anak saya susah makan . Pada dasarnya , penyebab masalah kesulitan makan pada anak dapat dibagi menjadi 3 golongan besar , yaitu :
1. Faktor Organik
2. Faktor Nutrisi
3. Factor Psikologik

1. Factor Organic

Yang dimaksud dengan factor organic yaitu adanya kelainan-kelainan pada organ tubuh yang turut berperan dalam proses pencernaan , dari rongga mulut meliputi bibir , gigi geligi , palatum , lidah sampai ke usus dan organ-organ yang berhubungan ( pancreas , hati ) yang kesemuanya itu dipengaruhi oleh system syaraf . Adanya kelainan atau penyakit pada organ-organ tersebut pada umumnya akan mangakibatkan gangguan atau masalah makan . Selain itu , tentunya perkembangan keterampilan makan yang berlangsung sejak lahir sampai usia 3 tahun merupakan suatu aspek tersendiri yang memerlukan pelatihan atau pembinaan agar anak terampil mengkonsumsi berbagai makanan . Kelainan bawaan serta penyakit infeksi pada organ tubuh lainnya dapat pula menimbulkan masalah makan disamping menyebabkan kebutuhan energy yang meningkat . Berikut adalah beberapa kelainan dan penyakit organic yang dapat menyebabkan anak menjadi susah makan :

a) Pada rongga mulut
• Kelainan bawaan : labiognatopalatoskisis , makroglosus
• Infeksi : stomatitis , caries dentis , tonsillitis akut , dan lain-lain
• Gangguan neuromuskuler : paralisis lidah , palatum mole
b) Pada bagian lain saluran cerna
• Kelainan bawaan : atresia esophagus , stenosis pylorus , penyakit Hirschprung , akalasia dan lain-lain.
• Infeksi : diare akut / kronis ,hepaitits , pancreatitis , cacing/parasit lain dan sebagainya.
c) Pada organ tubuh lain
• Kelainan bawaan : penyakit jantung bawaan , sindrom Down
• Infeksi akut / kronis : ISPA , tuberculosis ,dll
• Gangguan neuromuskuler : palsi serebral
• Keganasan / tumor : leukemia , tumor Wilms , neuroblastoma, dll
d) Penyakit metabolic , misalnya Diabetes mellitus , dll.

Untuk kelainan dari factor organic ini , orangtua dapat berkonsultasi dengan dokter untuk mencari tahu penyebab pastinya sehingga mendapatkan terapi yang adekuat .

2. Factor Nutrisi

Sebenarnya , berdasarkan kemampuan mengkonsumsi , memilih jenis dan menentukan jumlah makanan , balita merupakan consumer semi-pasif / semi-aktif , sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi masih bergantung pada orangtua , terutama ibu atau pengasuhnya . Pada masa ini pula terjadi perubahan pola makan dari makanan bayi ke makanan dewasa . Semua hal tersebut seringkali secara sinergis menimbulkan masalah makan yang dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi nutrient dan malnutrisi , yang bisa menurunkan nafsu makan sehingga asupan makanan lebih berkurang lagi . Defisiensi nutrient yang seringkali berhubungan dengan nafsu makan adalah defisiensi Zinc (seng) sebagai akibat berkurangnya ketajaman rasa .

3. Factor Psikologik

Factor psikososial seringkali menjadi penyebab hambatan perkembangan keterampilan makan yang umumnya terjadi pada usia sejak lahir sampai 4 tahun . Diduga terdapat periode sensitive yaitu terjadi respons optimal terhadap misalnya jenis makanan , dan bila masa kritis ini terlampaui , keterampilan makan tertentu seperti mengunyah , akan lebih sulit dipelajari oleh bayi , sehingga hal ini akan berakibat timbulnya masalah makan di masa selanjutnya . Terlebih bila disertai sikap paksaan sewaktu makan , sehingga bayi / anak merasakan proses makan ini sebagai saat yang tidak menyenangkan yang akan berakibat timbulnya rasa anti terhadap makanan . Hubungan emosional antara Ibu – bayi/anak sangat penting pada terjadinya masalah makan . Selain itu , sifat yang menonjol pada masa balita adalah rasa ingin tahu segala hal di sekitarnya , dan rasa ke’aku’annya mulai timbul , sehingga perhatian terhadap makanan berkurang dan seringkali menolak saat diberi makan .

Selain itu , gangguan psikologis bisa terdapat pada anak dari keluarga yang sedang mengalami kesulitan rumahtangga , tidak pernah makan bersama orangtua , atau dipaksakan makan makanan yang tidak disukai sehingga suasana makan menjadi tidak menyenangkan lagi . Hal ini akan mengakibatkan anak menjadi kehilangan nafsu makannya atau lazim disebut dengan anoreksia . Anoreksia bisa jadi hanya bersifat sementara , sebagai variasi normal dalam nafsu makan sehari-hari . Bisa juga anoreksia bersifat tidak sesungguhnya atau pura-pura , hal ini diindikasikan bila anak masih menyukai jenis makanan yang lain . Karena kadang-kadang terdapat anak yang hanya menyukai jenis makanan tertentu saja dan tidak bernafsu untuk mencoba makanan yang baru , lebih-lebih pola makanan yang baru tersebut berbeda banyak dalam hal warna , bentuk , konsistensi , dibandingkan dengan makanan yang disukainya .

Tata Laksana Masalah Makan

Berikut adalah upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah makan yang disebabkan karena ketiga factor tersebut di atas :

1. Mengatasi factor penyebab yang mendasari
2. Mengatasi dampak yang telah terjadi , misalnya bila terjadi defisiensi gizi oleh karena anoreksia yang berlangsung cukup lama maka perbaiki defisiensi gizi tersebut dengan pengaturan makanan yang sesuai .
3. Meningkatkan upaya nutrisi dengan memperbaiki atau meningkatkan asupan makanan dengan cara :

i. Memvariasikan menu sehari-hari , perubahan rasa mungkin perlu dilakukan agar anak tidak cepat merasa bosan
ii. Makanan disajikan dengan penampilan menarik sehingga anak akan tergerak untuk mencobanya
iii. Berikan makanan padat gizi dan berenergi tinggi sehingga dengan porsi kecilpun kecukupan energy/nutrient terpenuhi
iv. Membiasakan anak makan teratur dan sebaiknya berikan makanan pada waktu anak sudah merasa lapar
v. Tidak membiasakan ngemil / snacks sebelum makan karena akan mengganggu timbulnya rasa lapar
vi. Memberikan suplementasi vitamin dan mineral jika diperlukan
vii. Menciptakan suasana makan menjadi kegiatan yang menyenangkan

4. Melatih keterampilan makan anak sejak dini dengan cara memberikan makanan yang lebih padat secara bertahap baik konsistensi , tekstur maupun jumlahnya sesuai usia bayi . Usia antara bayi antara 6 sampai 9 bulan merupakan periode kritis dalam pembinaan makan dan rasa . Bila periode ini tidak dimanfaatkan secara optimal dapat timbul masalah makan di kemudian hari .

Wallohu a’lam bishshowab

Ikut Jamaah Ahmadiyah, Mau Sholat Jadi Ribet

Satu keluarga Ahmadiyah terdiri dari delapan orang warga Kecamatan Pasirkoja, Kota Bandung, menyatakan kesadarannya untuk kembali memeluk agama Islam. Kedelapan eks jamaah Ahmadiyah itu menyatakan pilihan memeluk agama Islam ini bukan karena sesuatu, tapi karena kesucian dan kebenaran agama Islam.

Winardi, salah satu dari kedelapannya, mengaku sudah 12 tahun menganut ajaran Ahmadiyah. Dia selama itu mengaku merasa ribet alias serba susah ketika akan melaksanakan sholat di masjid. "(Ahmadiyah) selama ini tidak diakui. Ketika mau shalat atau beribadah lainnya, saya harus melakukan di Masjid Mubarak, tidak boleh di masjid lain,'' katanya. ''Saya ingin seperti yang lain. Kalau mau shalat, bisa di masjid mana saja.''

Winardi pun mengaku memilih Ahmadiyah karena orang tuanya Ahmadiyah. "Ibu bapak saya menganut Ahmadiyah. Keikutsertaan saya di Ahmadiyah juga dilakukan oleh kedua orang tua saya," katanya. ..Ketika mau shalat atau beribadah lainnya, saya harus melakukan di Masjid Mubarak, tidak boleh di masjid lain,'' katanya. ''Saya ingin seperti yang lain. Kalau mau shalat, bisa di masjid mana saja.'.
Dengan kembalinya ke ajaran Islam, Winardi mengaku dirinya kini bisa leluasa menjalankan ibadahnya di masjid manapun. Winardi menuturkan salah satu alasan yang membuat dirinya keluar dari ajaran Ahmadiyah ialah adanya Pergub Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. "Salah satunya Pergub itu," kata Winardi yang sudah 12 tahun menganut ajaran Ahmadiyah.

Prosesi tobat delapan pengikut Ahmadiyah ini berlangsung di Masjid Al Ukhuwah di Jalan Wastukencana, Kota Bandung, Senin (21/3). Acara disaksikan oleh Wali Kota Bandung Dada Rosada, Sekda Kota Bandung Edy Siswadi dan Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan. ( roy/VOA Islam )

MER-C sesalkan pemerintah tak transparan soal RS Gaza

Organisasi relawan kesehatan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia mengirimkan surat mengenai pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Palestina, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang di antaranya berisi penyesalan mereka atas tidak transparannya pemerintah. "Kami memandang perlu untuk menyebarluaskan informasi ini kepada para donatur dan relasi yang sudah menyumbangkan dana dan kepedulian mereka untuk program RS Indonesia di Gaza," kata anggota Presidium MER-C Indonesia Joserizal Jurnalis dalam surat elektroniknya kepada Antara di Bogor, Senin (21/3/2011).

Ia menjelaskan, surat ini ada kaitannya dengan jawaban MER-C untuk surat pemerintah mengenai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pemerintah Indonesia dan Bank Pembangunan Islam (IDB). Pada prinispnya MER-C mendukung pemerintah Indonesia yang ingin membantu masyarakat Palestina.
"Karena kami yakin semakin banyak bantuan untuk rakyat Palestina akan semakin baik untuk mereka. Namun, yang kami sesalkan di sini adalah sikap pemerintah yang `tidak transparan` dan `tidak menepati komitmen` yang sudah disepakati sebelumnya," kata Joserizal dalam suratnya itu.
Komitmen itu rencana pembangunan pusat penanganan penyakit jantung di Gaza dalam perbincangan interdep yang digelar sepanjang tahun 2009-2010. Wacana ini pertama kali disampaikan Ketua BKSAP DPR-RI Hidayat Nurwahid pada pertemuan 9 Agustus 2010, lalu muncul lagi pada rapat interdep 26 Agustus 2010, namun dalam pembicaraan itu IDB ditempatkan sebagai lembaga yang akan menfasilitasi pengiriman dana pembanguan RS Indonesia, bukan sebagai pelaksana program.

"Untuk itu, kami menduga keras pembangunan `cardiac center` yang akan bertempat di komplek RS Shifa (Gaza City) adalah proyek IDB yang sudah ada sejak sebelum agresi Israel akhir tahun 2008 dan pembangunannya terlantar hingga kini," katanya.
Untuk itu, kata Joserizal, MER-C akan tetap melanjutkan pembangunan RS Indonesia di Bayt Lahiya, Gaza Utara, meskipun pemerintah Indonesia sudah mengalihkan bantuan dari program itu. "Hal ini kami lakukan semata-mata dalam rangka menyalurkan amanah dana dari rakyat Indonesia," katanya. (roy/arrahmah.com)

Muslim Australia Hadapi Peningkatan Islamophobia

Sebuah laporan baru dari Komisi HAM Australia memperingatkan peningkatan kecurigaan dan diskriminasi terhadap kaum Muslim di dalam masyarakat, mendesak dibutuhkannya pendidikan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketakutan tentang agama ini. "Saat ini ada wacana anti-Muslim yang menyatakan bahwa sebuah permusuhan yang mengakar seringkali terkait pada peristiwa di luar negeri," bunyi laporan yang dirilis pada hari Senin (21/3/2011) oleh Komisi HAM Australia.

Laporan yang berjudul "Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Australia abad ke-21" itu menemukan bahwa pengakuan komunitas relijius yang lebih besar dibutuhkan di Australia. Itu melibatkan konsultasi komunitas dengan 274 kelompok agama dan sekuler, serta dengan pemerintah, kelompok HAM, dewan kota dan etika, juga lebih dari 2000 pengabdian masyarakat.
Peneliti laporan itu merujuk pada ketidaktahuan tingkat tinggi dari gereja tentang Islam sebagai salah satu alasan utama di balik penjelek-jelekan terhadap kaum Muslim oleh evangelis Kristen. Kaum Muslim, yang sudah tinggal di Australia selama lebih dari 200 tahun, membentuk 1.7% dari total 20 juta populasinya. Di Australia pasca 11 September, kaum Muslim telah dihantui oleh kecurigaan dan dipertanyakan patriotisme mereka.

Sebuah jajak pendapat tahun 2007 yang dilakukan oleh lembaga pemikir Issues Deliberation Australia (IDA) menemukan bahwa warga Australia pada dasarnya melihat Islam sebagai sebuah ancaman terhadap cara hidup mereka. Sebuah laporan pemerintah baru-baru ini mengungkapkan bahwa kaum Muslim menghadapi Islamofobia dan perlakuan rasis seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. (roy/www.suaramedia.com)

KY: Ada Indikasi Majelis Hakim Ba'asyir Lakukan Pelanggaran

Majelis hakim perkara Abu Bakar Ba'asyir dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) karena tidak adil dalam sidang antara lain terkait dilakukannya teleconference para saksi. Atas laporan itu, KY menilai, majelis hakim Ba'asyir tidak menjalankan proses persidangan dengan adil. "Kita ingin katakan bahwa ada indikasi majelis hakim tidak menjalankan proses persidangan secara fair. Ini sementara," ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Suparman Marzuki di kantor KY, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2011).

Menurut Suparman, hakim harus adil terhadap terdakwa. Sebab pertaruhannya harga diri bangsa, bukan sekadar harga diri pengadilan. "Siapa pun yang diadili mau penjahat tengik sekali pun, dia tidak boleh menghilangkan harga diri, kredibilitas, dan kehormatan untuk menegakkan martabat keadilan. Ini yang kadang-kadang tidak disadari oleh hakim," terang Suparman.

Langkah KY selanjutnya, lanjut Suparman, yakni akan memeriksa berkas-berkas laporan Tim Pengacara Muslim (TPM) itu. "Dari situ kita simpulkan apakah kita harus memanggil hakim, apakah kita harus sampaikan sesuatu ke MA. Itu setelahnya tapi KY akan melakukan langkah-langkah positif," kata Suparman. Ada hukum acara yang dilanggar? "Ada. KY melihat ada pelanggaran kode etik pedoman perilaku," tutur dia.

Suparman menambahkan, sanksi majelis hakim Ba'asyir itu tergantung Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Sanksi bisa pemecatan atau non palu (tidak menyidangkan perkara). Sidang Ba'asyir diketuai Herri Swantoro. Dalam sidang itu, pengacara memperdebatkan teleconference para saksi. Karena pengacara ngotot tidak setuju adanya teleconference, hakim mengusir pengacara Ba'asyir. Ba'asyir selalu walkout setiap saksi didengar keterangannya secara jarak jauh. Jaksa menghadirkan saksi secara teleconference dengan alasan saksi takut bertemu Ba'asyir. Meski demikian, hakim tidak pernah bertanya kepada saksi setiap memulai sidang, apakah benar saksi takut pada terdakwa terorisme itu. (roy/detik.com)

Teroris AS tewaskan 10 sipil Pakistan dalam dua hari

Rabu (16/3/2011) pagi pesawat mata-mata AS kembali menembakkan misil yang menghantam sebuah kendaraan di daerah Ambir Shaga, Datta Khel Tehsil, wilayah yang berdekatan dengan perbatasan Afghanistan. Kendaraan milik penduduk desa setempat hancur berantakan dan lima orang syahid, Insya Allah.
Peristiwa ini terjadi hanya berselang dua hari setelah serangan serupa menewaskan lima penduduk desa dan melukai beberapa lainnya di wilayah Waziristan Selatan. Teroris Amerika mengklaim penyerangan menargetkan Mujahidin Pakistan, namun pejabat lokal Pakistan mengatakan dalam beberapa tahun ribuan sipil Pakistan tewas tewas, ratusan rumah, sekolah dan rumah sakit hancur akibat serangan ini yang menghantam wilayah kesukuan Pakistan. (roy/arrahmah.com)

Pakistan Bebaskan Agen CIA Pembunuh Warganya

Pakistan hari Rabu (16/3/2011) akhirnya membebaskan seorang agen CIA warga Amerika Serikat yang membunuh dua orang warganya di jalanan kota Lahore sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik.

Sebagaimana dilansir Reuters (16/3/2011), Menteri Hukum Punjab Rana Sanullah, mengatakan bahwa terdakwa dibebaskan setelah sepakat membayar "uang darah" sebagai ganti nyawa kepada pihak keluarga kedua korban sejumlah 2,3 juta dolar.

"Awalnya pengadilan mendakwanya, tapi pihak keluarga kemudian mengatakan kepada pengadilan bahwa mereka telah menerima uang ganti nyawa dan telah memaafkannya" kata Ranaullah. "Pengadilan mendakwanya dalam kasus pembunuhan."

Raymond Davis (36) menembak dua orang pria muda warga Pakistan di kota Lahore, wilayah Punjab pada 27 Januari lalu. Davis berdalih keduanya adalah perampok bersenjata yang mencoba menyerangnya, sementara dirinya hanya berupaya membela diri. Pihak Amerika Serikat mati-matian membela Davis dengan mengatakan bahwa pria itu adalah diplomat sehingga memiliki kekebalan diplomatik. Bahkan Presiden AS Barrack Obama ikut bersuara dengan menyebut Davis sebagai utusan negaranya. Baca berita sebelumnya, Pria yang Disebut Obama Diplomat AS, Ternyata Agen CIA.

Namun kemudian diketahui bahwa Davis sesungguhnya adalah mantan anggota militer AS, yang kemudian menjadi mata-mata untuk agen intelijen Amerika Serikat, CIA. Menurut sejumlah kabar, Davis memiliki hubungan dengan perusahaan tentara bayaran AS yang dikenal brutal, Xe, atau yang dulu dikenal dengan nama Blackwater.* ( roy/ Hidayatullah.com)

Bom Buku Diduga Kerjaan Intelijen

Dalam waktu tiga hari, empat bom buku ditemukan di Jakarta. Terakhir, Kamis (17/3/2011), bom buku kembali ditemukan di kediaman artis terkenal Ahmad Dhani. Pengamat intelijen, Soeripto menduga maraknya teror bom buku itu dilakukan oleh aparat intelijen. “Tidak mungkin itu dilakukan oleh kelompok teroris. Mereka tengah tiarap. Yang melakukan ini kelompok profesional. Bisa jadi kerjaan intelijen,” kata Soeripto kepada hidayatullah.com, Kamis (17/3/2011) sore.

Bom buku itu, jelas Soeripto, sengaja ditargetkan kepada orang-orang terkenal dengan harapan dapat menjadi pemberitaan banyak media. “Coba bila bom buku ini dikirim ke orang yang tidak terkenal, mungkin tidak banyak media yang melirik,” jelasnya.

Soeripto menambahkan, teror bom buku yang diduga kerjaan intelijen ini memiliki motif dan tujuan-tujuan tertentu. “Teror bom buku untuk mengalihkan isu dan menarik perhatian Amerika Serikat bahwa terorisme masih ada di Indonesia, sehingga ini bisa menjadi alasan untuk meminta penambahan anggaran penanggulangan teroris kepada Barat,” tambah Soeripto. Mengapa cara-cara lama ini masih dikerjakan aparat intelijen? “Ini adalah psywar. Hanya caranya klasik, karena intelijen kita masih berparadigma Orba,” tandasnya.* ( roy/Hidayatullah.com)

MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:

Sebagian guru ada yang memberi fatwa kepada murid-muridnya mengenai masalah syari'at tanpa berdasarkan ilmu. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Kami tujukan jawaban ini kepada para peminta dan pemberi fatwa. Untuk para peminta fatwa; Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan maupun laki-laki, kecuali yang diduga berkompeten untuk memberi fatwa, yaitu yang dikenal keilmuan-nya, karena ini adalah perkara agama, dan agama itu harus dijaga. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negara, hendaknya tidak menanyakan jalannya kepada sembarang orang, tapi mencari orang yang bisa menunjukkan, yaitu yang mengetahuinya. Demikian juga jalan menuju Allah, yaitu syari'at-Nya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syari'at kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkompeten untuk memberikan fatwa.

Kemudian untuk para pemberi fatwa; Tidak boleh memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap llah apa saja yang tidak kamu ketahu” (Al-A'raf : 33)

Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan,

“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-An'am : 144)

Dan telah diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)

Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu, yaitu mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri, jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil-dalilnya, atau dari orang alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama. Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syari'at-syari'at-Nya, maka hendaknya ia sangat berhati-hati.
Dalilut Thalabah Al-Mu’limah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 38, Fatwa Terikini, 2/190

Ahnaf Bin Qais

Posted by newydsui 0 comments

Ahnaf Bin Qais
Pemimpin Bani Tamim
Oleh : Amar Syarifuddin,Lc.

Ketika itu, kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.

Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bersiap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menempati tempat duduknya di balik tabir. Dari situ dia bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang hadits-hadits Nabi. Dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang didengarnya dari penasihat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikmah-hikmah yang luhur.

Putri bangsawan ini sangat cerdas dan bersemangat untuk mencapai ketinggian martabat. Sementara kakaknya menerima orang-orang yang menghadap berdasarkan kedudukannya. Sahabat-sahabat Rasulullah Selalu didahulukan dari yang lain, baru kemudian menyusul tokoh-tokoh tabi’in, para ulama dan kalangan bangsawan.

Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertama kakanya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengarkan kakaknya berkata, “Demi Allah, wahai Ahnaf, setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku tidak akan terobati.”

Lawan bicaranya tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah, wahai Muawiyah, rasa benci pun masih melekat di hati kami dan pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih ada di tangan. Bila Anda maju satu langkah kami akan maju sepuluh langkah, bila Anda maju dengan berjalan, maka kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke sini bukan untuk mengemis dari Anda atau karena gentar karena murka Anda. Kami datang kemari untuk menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan menyatukan kaum muslimin.” Setelah itu tamu tersebut mohon diri.

Rasa penasaran muncul di benak Ummul Hakam. Disingkapkanlah tabir penutup untuk melihat siapa orang yang bersikap kasar terhadap khalifah itu. Ternyata dia adalah seorang yang betubuh kecil, kepalanya botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasa yang dimiliki manusia melainkan dia mendapat bagiannya.

Ummul Hakam menoleh kepada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu? Berani benar mengancam khalifah di rumahnya.” Muawiyah menghela nafas panjang lalu berkata, “Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais, pemuka Bani Tamim dan pahlawan bangsa Arab.”

Marilah kita telusuri kisah Ahnaf bin Qais dari awalnya.

Tahun ketiga sebelum Hijriyah, Qais bin Muawiyah As-Sa’di mendapatkan karunia seorang laki-laki. Dia diberi nama Adh-Dhahak, tapi orang-orang menyebutnya Ahnaf karena kakinya yang bengkok (seperti huruf X), suatu julukan yang memang lebih pas daripada namanya sendiri. Sehingga julukan itu seakan menjadi namanya sendiri.

Ayahanda Ahnaf bernama Qais bukanlah seorang pemuka dari kaumnya. Bukan pula dari golongan yang rendah. Kedudukan mereka adalah pertengahan. Ahnaf lahir di sebelah barat Yamamah, tepatnya di daerah Najd. Ahnaf kecil tumbuh sebagai Yatim karena ayahnya terbunuh ketika ia masih sangat kecil. Cahaya Islam bersinar di hati bocah itu sejak dia belum tumbuh kumisnya.

Rasulullah pernah mengutus beberapa sahabatnya kepada kaum Ahnaf bin Qais beberapa tahun sebelum wafatnya untuk menyeru mereka kepada Islam. Mereka menjumpai tokoh-tokoh kaum itu sambil memberikan dorongan iman dan menawarkan Islam.

Orang-orang itu terdiam sejenak mendengar ajakan para sahabat. Mereka berpandang-pandangan ketika Ahnaf muda yang juga hadir angkat suara, “Wahai saudara-saudaraku, mengapa kalian mesti ragu? Demi Allah utusan yang datang kepada kalian ini adalah sebaik-baik utusan. Mereka mengajak kepada akhlak yang luhur dan melarang yang cela. Demi Allah, tiada yang kita dengar dari mereka selain kebaikan, maka sambutlah seruan hidayah ini, niscaya kalian akan bahagia dunia dan akhirat.”

Akhirnya kaum itu memeluk Islam secara serentak bersama Ahnaf. Kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasulullah, namun Ahnaf tidak disertakan karena Ahnaf masih terlalu muda. Sehingga dia tidak mendapatkan kehormatan sebagai salah satu sahabat. Namun demikian, dia tidak terhalang untuk mendapatkan ridha dari Rasulullah dan do’a beliau kepadanya.

Ahnaf menuturkan ceritanya, “Suatu kali pada pemerintahan Umar bin Khathab, aku sedang melakukan thawaf di Baitul ‘Atiq dan berjumpa dengan seseorang yang sudah aku kenal. Dia memegang tanganku seraya berkata, “Maukah aku berikan gabar gembira kepada Anda?” Aku berkata, “Ya, tentu saja.” Dia berkata, “Ingatkah Anda sewaktu aku diutus oleh Nabi. untuk menyeru kaum Anda kepada Islam? Saya membujuk mereka dan menawarkan Islam, kemudian Anda mengatakan sesuatu kepada mereka?” Aku menjawab, “Ya, aku ingat.” Dia melanjutkan, “Setibanya saya kepada Rasulullah dan menceritakan tentang apa yang Anda katakan, beliau berdo’a, “Ya Allah, berikan ampunanmu kepada Ahnaf.”

Maka Ahnaf berkata, “Tidak ada satupun dari amalanku yang aku harap bisa lebih bermanfaat di hari kiamat kecuali do’a Nabi itu.”

Sejak kecil beliau bisa duduk berkumpul bersama tokoh-tokoh kaumnya, ikut dalam majelis-majelis mereka, menghadiri pertemua-pertemuan dan tekun belajar kepada ulama dan tokoh-tokohnya.

Beliau menuturkan kisahnya, “Kami sering mendatang majelis Qais bin Asim Al-Minqari untuk belajar tentang kebaikan hidup juga kepada para ulama untuk menimba ilmu agama.”

Ahnaf bin Qais juga mendapatkan kesempatan emas untuk belajar kepada para sahabat, terutama adalah kepada Al-Faruq Umar bin Khathab. Dia menghadiri majelis-majelis Umar, mendengarkan nasihat-nasihatnya juga mempelajari beberapa hukum dan pidana. Beliau termasuk murid Umar yang berhasil dan sangat terwarnai oleh karakter gurunya tersebut.

Beliau pernah ditanya darimana memperoleh wibawa dan hikmah. Beliau menjawab, “Dari kalimat-kalimat yang aku dengar dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang berkata:

Barangsiapa yang banyak bergurau akan hilang wibawanya
Barangsiapa berlebih-lebih dalam suatu hal, dia akan dikenal dengan kebiasaannya.
Barangsiapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya.
Barangsiapa banyak salahnya, berkuranglah rasa malunya.
Barangsiapa berkurang rasa malunya berkurang pula sifat wara’nya.
Dan barangsiapa sedikit sifat wara’nya maka matilah hatinya.

Ahnaf memiliki kedudukan terhormat di mata kaumnya. Meski beliau tidak memiliki jabatan yang tinggi, bukan pula ayah ibunya yang ditokohkan oleh kaumnya. Berkali-kali orang menanyakan kepadanya tentang rahasianya, di antara mereka bertanya, “Bagaimana kaum Anda menganggapmu sebagai pemimpin wahai Abu Bahr?” Beliau menjawab, “Barangsiapa memiliki empat hal, maka dia akan bisa memimpin kaumnya dan tak akan terhalang mendapatkan kedudukan itu.” Orang itu betanya, “Apakah empat hal itu?” beliau menjawab, “Agama sebagai perisainya, kemuliaan yang menjaganya, akal yang menuntunnya dan rasa malu yang mengendalikannya.”

Ahnaf bin Qais termasuk salah satu tokoh yang lapang dada di Arab, sehingga sifat sabarnya dibuat sebagai permisalan. Suatu ketika Amru bin Ahtam pernah memperalat seseorang untuk mencaci maki Ahnaf dengan kata-kata yang menyakitkan, tetapi yang dicaci hanya terdiam dan menundukkan kepala. Melihat yang dicaci tidak menggubrisnya, orang itu gigit jari dan bergumam, “Celakalah aku! Demi Allah dia tak mempedulikan karena aku dipandang rendah olehnya!”

Ahnaf juga termasuk orang yang tekun beribadah, puasa dan zuhud dengan apa-apa yang dimiliki orang lain. Bila malam mulai gelap, beliau menghidupkan lentera dan menaruhnya di sisinya. Setelah itu mulailah dia shalat di mihrabnya, berdiri gemetaran seperti orang sakit sambil menangis karena takutnya akan adzab dan murka Allah.

Setiap kali beliau teringat dosa-dosa atau cacat dan celanya, dia letakkan jarinya di atas api sambil berkata, “Hai Ahnaf, rasakanlah ini, apa yang membuat Anda berbuat seperti itu pada hari itu dan saat itu! Celakalah engkau, Ahnaf! Bila engkau tak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, bagaimana mungkin engkau bisa tahan dengan panasnya api neraka dan bisa bersabar dengan pedihnya?! Ya Allah, bila engkau memberiku maghfirah, memang Engkaulah yang berhak untuk itu, bila Engkau siksa aku, memang itu layak bagiku dan Engkau yang berkuasa akan hal itu.”

Semoga Allah meridhai Ahnaf, karena dia adalah tokoh teladan di setiap zaman dan contoh yang istimewa bagi manusia.

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 376-386.

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers