Ar-Rabi bin Khutsaim, Potret ulama yang bertakwa

Posted by newydsui Tuesday, February 22, 2011 0 comments

Ar-Rabi bin Khutsaim
Potret ulama yang bertakwa
“Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, InsyaAllah ia tergolong Sahabat yang dicintai.” (Abdullah bin Mas’ud r.a)

Rabi’ adalah seorang tabi’in yang sangat alim. Seorang Arab Asli yang berasal dari suku Mudhar dan silsilahnya bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya. Ia termasuk salah seorang dari delapan ulama zuhud yang terakhir di zamannya. Sejak muda, ia sangat taat beribadah. Ketika mendekati masa baligh, suatu malam ibu Rabi’ terbangun. Ada apa gerangan? Ia menemukan anaknya sedang bermunajat dan terhanyut dalam shalat. Sang ibu menegur lembut, “Apakah engkau tidak tidur, Rabi’?”
“Bagaimana seseorang yang diliputi kegelapan bisa tidur dengan nyenyak sementara ia takut akan serangan musuh?” jawab Rabi’ dengan sopan. Mengalirlah air mata ibunya membasahi pipi sembari mendoakan putranya agar mendapatkan kebaikan.
Ketika Rabi’ tumbuh dewasa, sifat wara’nya bertambah, hampir sepanjang malam ia habiskan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rintihan tangisnya ketika berdoa ditengah keheningan malam makin memilukan. Sang ibu tidak bisa tidur. Ia menyangka kalau anaknya telah melakukan dosa besar.
Ketika Rabi’ ditanya ibunya, ia menjawab, “Betul Bu, aku pernah membunuh orang,” jawab Rabi’ sedih.

“Anakku, siapakah yang engkau bunuh? Aku akan menemui kerabatnya. Mungkin mereka mau memaafkanmu. Demi Allah, Aku yakin seandainya keluarga si terbunuh mendengar tangis yang engkau deritakan dan mengetahui kalau engkau tak banyak tidur malam, niscaya mereka akan mengasihimu,”ujar sang Ibu penuh kecemasan.

“Baiklah Bu, tapi mohon jangan beritahu siapapun. Sebenarnya aku telah membunuh diriku sendiri dengan tumpukan dosa,” jawab Rabi’.
Itulah sosok Rabi’, seorang murid Abdullah bin Mas’ud yang rendah hati. Ia sangat dicintai gurunya. Hubungannya dengan sang guru laksana anak dengan orangtuanya. Kekaguman sang guru terhadapnya dilatari oleh kemuliaan akhlak dan kecerdasannya, juga ibadahnya yang sempurna, Ibnu Mas’ud sempat berkata, “Kalau Rabi’ hidup di zaman Rasulullah, InsyaAllah ia tergolong Sahabat yang dicintai.”
Suatu hari, Rabi’ kedatangan dua orang tamu, Hilal bin Isaf dan Mundzir Ats-Tsauri. Mereka mengucapkan salam seraya bertanya, “Bagaimana keadaan engkau wahai Syaikh?”
“Dalam keadaan lemah, penuh dosa, makan seadanya dan kini sedang menunggu ajal kematian,” jawab Rabi’.
“Seorang dokter piawai telah datang ke kota ini. Apakah syaikh berkenan kalau aku memanggilnya demi kesembuhanmu?” Hilal mengusulkan.
“Wahai Hilal, aku tak yakin dengan keampuhan obat. Aku jadi teringat akan kebinasaan kaum’Aad, Tsamud dan lainnya. Aku teringat akan kerakusan mereka terhadap dunia dan kecintaannya terhadap harta. Kekuatan dan kekuasaan mereka lebih besar dan lebih agung daripada kita. Saat itu, banyak tabib dan orang sakit. Tapi akhirnya tak seorangpun yang tetap tinggal, baik tabib maupun pasiennya,” Jawab Rabi’.
Kemudian ia menarik nafas panjang seraya berkata, “Kalau itu memang satu-satunya obat, niscaya aku mengambilnya.”

“Jadi, penyakit apakah itu wahai syaikh?” tanya Hilal.
”Obatnya adalah bertaubat,,”Jawab Rabi’ tegas.
“Lantas bagaimana menyembuhkannya?” tanya Hilal ingin tahu.
“Dengan bertaubat dan tidak mengulangi lagi,” Jawab Rabi’. Kemudian ia menatap mereka berdua seraya berkata, “Waspadalah terhadap keburukan gerakan batin yang tak tampak oleh manusia, namun jelas di sisi Allah. Carilah obatnya.”
“Apa obatnya?” tanya Mundzir ingin tahu.
“Taubat nasuha,” jawab Rabi’ seraya menangis hingga airmatanya membasahi jenggotnya.
“Mengapa syaikh menangis? Bukankah engkau termasuk orang yang shalih?” tanya Mundzir penuh keheranan.
Perbincangan itu semakin menarik, sampai waktu tak terasa berjalan cepat. Saat itu mendekati waktu Dzuhur, Hilal memohon nasehat rohani kepada Rabi’.
“Hilal, Janganlah terpesona oleh pujian. Mereka tidak mengetahui perihalmu yang sebenarnya kecuali hanya yang tampak. Ingatlah bahwa setiap perbuatan yang bukan karena Allah, hanyalah sia-sia,” kata Rabi’ memberi nasehat. Kemudian keluar air matanya bercucuran sambil berkata, “Apa yang dapat kalian lakukan ketika bumi diguncangkan berkali-kali? Ketika para malaikat berbaris dan neraka di perlihatkan?”
Ketika Adzan Dzuhur di kumandangkan, ia segera mengajak putranya memenuhi panggilan Allah. “Wahai syaikh! Allah telah memberikan keringanan bagi engkau! Alangkah baiknya kalau engkau shalat di rumah saja,” ujar Mundzir.

“Benar yang kau katakan. Tapi aku telah mendengar suara Muadzin menyerukan hayya ’alal falah (mari menuju kemenangan). Barang siapa medengar muadzin mengajak kemenangan, maka hendaklah memenuhi panggilannya, sekalipun dengan cara merangkak,” jawabnya Rabi’.
Ketakwaan Rabi’ yang begitu luar biasa menjadi buah bibir rekan-rekannya. Suatu ketika Abdurrahman bin Ajlan berkata, “Suatu malam, saya bermalam di rumah Rabi’. Setelah yakin saya tidur nyenyak, ia bangun, kemudian ia sholat. Dalam shalatnya ia membaca ayat dari surah al-Jatsiyah berulang kali hingga fajar menyingsing. Sementara itu, dikedua pelupuk matanya bercucuran air mata bening.”
Banyak juga yang menceritakan tentang rasa takut Rabi’ pada Allah. Sebuah riwayat dari Mundzir mengatakan, “Suatu hari kami keluar bersama Abdullah bin Mas’ud dan Rabi’ melalui tepi sungai Eufrat. Di tengah perjalanan kami melihat pabrik kapur yang besar tengah menyala apinya. Percikan apinya berhamburan. Bara apinya berkobar-kobar. Letupan nyalanya terdengar. Tampak beberapa batu siap dibakar menjadi kapur. Ketika Rabi’ melihat kobaran api, ia berhenti sejenak. Ia gemetar seakan disambar halilintar. Kemudian ia membaca ayat, “Apabila mereka itu melihat neraka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”(QS. Al-Furqan: 12-13)
Kemudian ia pingsan. Saya dan Abdullah bin Mas’ud merawatnya hingga sadar. Lalu mengantarkannya pulang.”

Rabi’ tinggal di Kufah. Ia adalah generasi tabi’in yang wara’ dan khusyu. Ia amat berhati-hati menghadapi dosa-dosa kecil dan nyaris tak pernah melakukannya. Ketika mencapai usia senja, ia terserang penyakit lumpuh. Sejak saat itu ia mengurung diri dirumah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Pada saat ajal mendekatinya, puterinya menangis, lalu dia berkata, “Apa yang membuatmu menangis wahai puteriku, padahal kebaikan telah menanti di depan ayahmu?” Sebentar kemudian ruhnya kembali kehariban Rabb-Nya.

Sumber:
Shuwar min Hayyah at-Tabi’in, Abdurrahman Ra’fat Basya, edisi Indonesia Jejak Para Tabi’in.

Risywah
Perbuatan Yang Terlaknat

Risywah (suap-menyuap) secara terminologis berarti harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kemudharatan) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Menjelaskan makna risywah, Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah berkata, ‘Risywah adalah sesuatu yang diberikan oleh seorang kepada hakim atau yang semisalnya untuk mendukung dan memihak kepentingannya.’

Pengertian di atas menjelaskan bahwa risywah bersifat umum bukan hanya sekedar uang/harta, atau hal yang bermanfaat semata, tetapi segala hal yang diperuntukkan untuk mendukung atau memihak. Sedangkan makna hakim di atas adalah seorang qadi dan setiap orang yang memiliki wewenang dalam memutuskan perkara, seperti jajaran dan staf kepemerintahan ataupun pembantu pembantu kepemerintahan.

Meskipun terdapat kemiripan, ada perbedaan mendasar antara suap dengan upah atau gaji (ujrah). Upah atau gaji diperoleh sebagai imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki mobil, dia tidak berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu. Ketika dia diminta oleh orang lain untuk mengantarkan ke suatu tempat, maka imbalan yang diterima bisa disebut sebagai upah. Demikian juga seorang guru. Dia tidak berkewajiban mengajarkan ilmunya kepada orang tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Namun ketika ada orang atau institusi meminta dirinya untuk mengajarkan ilmunya di tempat dan waktu terntu, maka imbalan yang dia dapatkan bisa disebut sebagai upah atau ujrah.

Berbeda halnya dengan suap. Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap.

Risywah Dalam Tinjauan Syar’i

Risywah adalah salah satu dosa besar yang diharamkan Allah swt dan termasuk perbuatan yang terlaknat. Syare’at islam melarang dan mengecam perbuatan itu karena mengandung kerusakan, dosa besar, dan berdampak terjadinya permusuhan. Padahal permusushan dalam islam sangat dilarang sebagaimana firman Allah swt,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2)
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka“. (QS al-Maidah: 42).
Kalimat `akkâlûna li al-suhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.(QS al-Baqarah: 188).
Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dan mengecam pelakunya dengan ungkapan yang sharih. Diantaranya yaitu:
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ibn Umar ra bahwa Nabi saw bersabda,
"كل لحم أنبته السحت فالنار أولى به " قيل : وما السحت؟ قال : " الرشوة في الحكم"
“ setiap daging yang tumbuh dari hasil as-suhtu maka neraka adalah lebih berhak ke atasnya (daging itu).” Lalu Rasul saw ditanya, ‘apa yang dimaksud dengan as-suhtu?’ beliau saw bersabda, “ risywah (suap-menyuap) dalam hukum.”

At Tabrani meriwayatkan dari Ibn Mas’ud ra bahwa beliau berkata, as-suhtu adalah risywah (suap-menyuap) dalam agama. Ibn Qudamah dalam al-Mugny berkata, Al Hasan dan Sa’id Bin Jubair dalam menafsirkan ayat `akkâlûna li al-suhti` dengan makna risywah. Dan beliau berkata, jika seorang qadhi menerima risywah maka dengannya ia menjadi kafir; karena secara tidak langsung seorang qadhi itu membantu dan menjalankan hukum selain yang diturunkan Allah padahal Allah swt berfirman, “ barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah, maka mereka adalah kafir.”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw juga bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap“. (HR Khamsah kecuali al-Nasa`i dan di shahihkan oleh al-Tirmidzi).
Dari Tsauban ra, Rasulullah saw juga bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَ
“Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya“. (HR Ahmad: 21893).

Pembaca budiman

Paparan di atas menjelaskan bahwa Risywah adalah salah satu dosa besar yang diharamkan Allah dan termasuk perbuatan yang terlaknat. Maka tidak pantas bagi seorang mukmin melakukan perbuatan haram dan terlaknat tersebut, justru dalam islam seorang mukmin diperintahkan untuk memakan harta yang halal dan baik, sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan: bahwa Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik." Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman, seperti Dia perintahkan kepada para rasulNya dengan firmanNya, yang artinya: "Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dan firmanNya: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah." Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo'a: "Ya Tuhanku..Ya Tuhanku.." Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin do'anya akan dikabulkan?" (HR. Muslim)
Marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan cara memakan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Karena makanan yang baik itu mempunyai pengaruh yang besar bagi manusia, terhadap akhlaqnya, kehidupan hatinya dan jernihnya pandangan serta diterimanya amalan. Sedangkan makanan yang haram menimbulkan dampak buruk bagi manusia, yang kalaulah dampak itu hanyalah tidak dikabulkannya do'apun niscaya hal itu merupakan kerugian yang besar. Karena seorang hamba tidak lepas dari kebutuhan berdo'a kepada Allah.

Di samping itu masih ada dampak lain dari memakan yang haram, yaitu tidak diterimanya amalan. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa memperoleh harta dengan cara yang haram, kemudian ia shadaqahkan, maka tidak akan mendatangkan pahala, dan dosanya ditimpakan kepadanya." (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya dengan sanad hasan).
Ibnu Umar ra berkata: "Barangsiapa membeli baju dengan sepuluh ribu dirham, namun dari sepuluh ribu dirham tersebut ada satu dirham yang haram, maka Allah tidak menerima amalnya selama baju itu masih menempel di tubuhnya."
Ibnu Abbas ra berkata: "Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada sedikit makanan haram."

Para salafus shalih sangat berhati-hati sekali terhadap apa-apa yang akan masuk ke dalam mulut dan perut mereka. Mereka amat bersikap wara' di dalam menjauhi hal-hal yang syubhat apalagi yang haram. Dalam kitab shahih Al-Bukhari disebutkan, 'Aisyah ra menceritakan bahwa Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu kali pembantu tersebut membawa makanan maka iapun memakannya. Setelah tahu bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, maka dengan serta merta ia masukkan jari tangannya ke kerongkongan, kemudian ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya.
Imam An-Nawawi ketika hidup di negeri Syam, ia tidak mau memakan buah-buahan di negeri tersebut. Tatkala orang menanyakan tentang sebabnya, maka ia menjawab: Di sana ada kebun-kebun wakaf yang telah hilang, maka saya khawatir memakan buah-buahan dari kebun tersebut.
Maka saatnya kita bermuhasabah, dan introspeksi diri. Berapa banyak do'a yang telah kita panjatkan kepada Allah dalam rangka mengatasi berbagai krisis yang mendera bangsa ini, dan berbagai bencana yang menimpa negeri ini. Namun pada kenyataannya bencana demi bencana tetap melanda, berbagai krisis tidak teratasi dan berbagai kesulitan tak kunjung usai. Mungkinkah ini karena bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan praktek risywah (suap)? Terbiasa dengan karupsi? Sudah terbiasa mengkon-sumsi barang-barang haram, sehingga Allah tidak mengabulkan do'a-do'a? Wallahu A'lam.
Reference:
1. Ibn Qudamah, Al-Mughny (Qahirah: Hajru Li Ittiba’ah Wa An-Nasyr Wa At-Tauji’, 1406)
2. Al-Hafidh Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim (Bairut: Al-Maktabah Al-Isriyah, 1420)
3. Al-Imam As Suyuthi, Ad Dur Al-Mantsur Fi At-Tafsir Bi Al-Ma'tsur (Bairut: Dar Al-Fikr, 1414)
4. Ibn Jarir Ath Thabary, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wil Ayyi Al-Qur’an (Bairut: Dar Al-Fikr, 1420)
5. Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami'ul Ulum Wal Hikam.
6. Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Muhtashor Minhajul Qashidin ( Bairut: Dar Al-Fikr, 1408)
7. Ibn Taimiyah, Majmu Fatawa
8. Abdul Aziz Bin Baz, Maqalat Wa Rasail Syaikh Abdul Aziz Bin Baz.
9. Kholid Al Juraisy, Al Fatawa Al Syar’iyyah Fi Al Masail Al Asriyah Min Fatawa Ulama Al Bilad Al Haram, (Riyad: Mu’assasah Al Juraisy, 1420) By: Ryan Arief Rahman.

Cara Allah Perintahkan Dzikir
Imtihan asy-Syafi’i

Dzikrullah, mengingat Allah dalam setiap kesempatan merupakan ciri khas Rasulullah saw, sebagaimana dikabarkan oleh Ibunda ‘Aisyah ra. Itu pula yang diusahakan untuk diwarisi oleh para sahabat dan para salaf sesudah mereka.

Dalam rangka meneladani Rasulullah saw dan mengikuti jejak para salaf, para ulama berkata, “Sesungguhnya di jalan menuju Allah terdapat tanda-tanda dan rambu-rambu. Siapa yang melihat, merasakan, dan menyadarinya, berarti ia telah berjalan di atas jalan menuju Allah. Sedangkan siapa yang tidak merasakan, mengetahui, dan menyadarinya, pada hakikatnya ia masih berhenti di tempatnya dan belum berjalan di atas jalan yang benar. Kapankah ia sampai ke tujuan jika ia masih saja berhenti di tempat?”
Para ulama melanjutkan, “Dzikir adalah tanda yang membedakan dan menghiasi jalan menuju Allah. Dzikir adalah bekal dan gizi hati. Dzikir pula pangkal hidup dan gembiranya hati.”
Pemahaman dan pengamalan para salaf dalam masalah dzikir ini kiranya berangkat dari pembacaan mereka terhadap al-Qur`an, hal mana mereka mendapati al-Qur`an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berdzikir dengan cara yang berbeda. Berbeda dari cara al-Qur`an memerintahkan amalan-amalan lainnya.

Sepuluh dari al-Qur`an
Di dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim menyatakan bahwa untuk memerintahkan dzikir, al-Qur`an melakukan sepuluh hal sebagai berikut:
1. Al-Qur`an memerintahkan dzikir. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya!” (Al-Ahzab: 41)
2. Al-Qur`an melarang kita melakukan kebalikan dzikir. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu termasuk golongan mereka yang melupakan Allah (tidak berdzikir)!” (Al-A’raf: 204)
“Dan janganlah kamu menjadi termasuk orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah pun melupakan mereka.” (Al-Hasyr: 19)
3. Al-Qur`an memuji ahli dzikir dan menjanjikan ampuan dan pahala yang besar bagi mereka. Allah berfirman,
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 33-35)
4. Al-Qur`an mengaitkan kemenangan sejati dengan dzikir. Allah berfirman,
“Dan berdzikirlah kalian kepada Allah banyak-banyak, semoga kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
5. Al-Qur`an menyebut orang-orang yang lalai dan alpa dari dzikir sebagai orang-orang yang merugi. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Munafiqun: 9)
6. Al-Qur`an menjanjikan, Allah akan mengingat orang-orang yang berdzikir, mengingat-Nya. Allah berfirman,
“Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kufur!” (Al-Baqarah: 152)
7. Al-Qur`an menyebut dzikir sebagai amalan yang paling besar. Allah berfirman,
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur`an) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah adalah yang paling lebih besar (dari ibadat-ibadat yang lain).” (al-‘Ankabut: 45)
8. Al-Qur`an menjadikan dzikir sebagai penutup berbagai amal shalih. Allah berfirman,
“Apabila shalat telah selesai ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu!” (Al-Baqarah: 200)
9. Al-Qur`an menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berdzikir yang dapat mengambil faidah ayat-ayat Allah. Allah berfirman,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali ‘Imran: 190-191)
10. Al-Qur`an menggandengkan dzikir dengan berbagai amal-amal shalih lainnya. Allah berfirman,
“Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku!” (Thaha: 14)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Al-Anfal: 45)

Tambahan dari Rasul
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah saw menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati.
Dalam riwayat lain yang hasan dan diriwayatkan oleh Ibnu Sunni, beliau bersabda, “Setiap matahari beranjak naik semua makhluk Allah bertasbih kecuali setan dan para aghbiya` (yang lemah akal-idiot) dari anak cucu Adam.”
Wallahul Muwaffiq.

JANGAN SALING MEMAKAN HARTA SECARA ZHALIM
Oleh: Tengku Azhar, Lc.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Janganlah kalian saling membantu dalam mencari penghidupan (sumber rizki) yang haram, tetapi hendaknya seorang pedagang berdagang dengan syarat-syarat dan rukun-rukun perdagangan yang disyariatkan, dan carilah sumber penghidupan dari hal-hal yang demikian (dari cara dan sumber yang halal).”

Imam Ath-Thabari –rahimahullah- dalam mentakwilkan ayat ini berkata: “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebahagian yang lain dengan apa yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari riba, judi, dan cara lainnya yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kalian.”

Beliau –rahimahullah- juga berkata, “Ayat ini merupakan dalil akan keharaman memakan harta sesama kaum muslimin secara zhalim dan batil dan tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin dalam masalah ini.”
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ : ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ) وَقَالَ : (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) . ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai manusia sesungguhnya Allah Ta’ala itu Baik (suci dari segala kekurangan dan aib) dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintah kaum mukminin dengan apa yang diperintahkannya kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dan juga firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rezeki-rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.” Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan yang panjang, badannya kusut dan berdebu, ia mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Rabbi, Rabbi,! Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dengan hal-hal yang diharamkan, maka mana mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim).

Istighfar dan Taubat adalah Kunci Rizki yang Utama
Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki kepada kita adalah istighfar (memohon ampunan) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (QS. Nuh: 10-12)

Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.
a. Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
b. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas –radhiallaahu anhu- berkata: “Adalah (hujan) yang turun dengan deras.”
c. Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha' berkata: "Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian".
d. Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
e. Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: “Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: “Makna-nya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaati-Nya niscaya Dia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian).”
Demikianlah, dan Amirul mukminin Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah .
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: “Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang ba-nyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (QS. Nuh: 10-11).
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya ketu-runan dan kekeringan kebun-kebun.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata: “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!’ Maka beliau mengatakan kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, ‘Beristighfarlah kepa-da Allah!’
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar.’ Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS. Nuh: 10-12).

Allahu Akbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-ham-baMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus Makhluk-Nya.

Anak Anda Obesitas ??

Posted by newydsui 0 comments

Anak Anda Obesitas ??

Anak yang gemuk kerap membuat gemas . Terkadang malah menjadi ukuran kemakmuran bagi sebagian orang . Tetapi berhati-hatilah jika anak sudah mulai mempunyai ciri –ciri kegemukan atau lazim disebut obesitas , karena obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolic dan penyakit degenerative di kemudian hari , seperti hipertensi , peningkatan profil lemak dalam darah. Maka , obesitas pada anak memerlukan perhatian yang serius dan penanganan sedini mungkin dengan melibatkan peran serta orangtua.

Obesitas atau kegemukan adalah kelainan atau penyakit yang ditandai dengan adanya akumulasi atau penimbunan jaringan lemak di bawah kulit yang berlebihan dan terdapat di seluruh tubuh . Seringkali dihubungkan dengan overweight ( kelebihan berat badan ) , walaupun tidak selalu identik oleh karena obesitas mempunyai ciri-ciri tersendiri . Obesitas merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera ditangani . Di Indonesia , terutama di kota-kota besar, dengan adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada westernisasi berakibat pada perubahan pola makan / konsumsi masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori , tinggi lemak dan kolesterol terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan resiko obesitas .

Berikut adalah ciri bentuk tubuh , penampilan dan raut muka penderita obesitas :
1. Hidung dan mulut tampak relative kecil dengan dagu yang berbentuk ganda
2. Bentuk payudara mirip deengan payudara yang telah tumbuh . Pada anak pria keadaan demikian menimbulkan menimbulkan perasaan yang kurang menyenangkan
3. Perut membuncit dan menggantung serupa dengan bentuk bandul lonceng , kadang-kadang terdapat striae putih atau ungu .
4. Pada pria , penis seakan-akan terpendam dalam jaringan lemak mons pubis sehingga tampak kecil dari bagian yang tersembul keluar
5. Lengan atas dan paha tampak besar , terutama pada bagian proksimal. Tangan relative kecil dengan jari-jari yang berbentuk runcing . Terdapat kelainan berupa koksa vara dengan genu galgum pada tungkai
6. Pada penderita sering ditemukan gangguan emosi yang mungkin merupakan penyebab atau akibat dari keadaan obesitas.

Selain itu , diperlukan pengukuran keadaan gizi penderita . Hal ini dinilai dengan melakukan beberapa pengukuran antropometrik , yaitu yang terpenting : Pengukuran berat badan, panjang badan , lingkaran lengan atas , serta tebal lipatan kulit yang dilakukan pada lengan atas kanan bagian belakang tengah , di atas otot triseps.
Mengingat penyebab obesitas bersifat multifaktor, maka penatalaksanaan obesitas seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikut sertakan keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi, dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, dan mengubah / modifikasi pola hidup.

1. Menetapkan target penurunan berat badan
Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan: umur anak, yaitu usia 2 - 7 tahun dan diatas 7 tahun, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi. Pada anak obesitas tanpa komplikasi dengan usia dibawah 7 tahun, dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan, sedang pada obesitas dengan komplikasi pada anak usia dibawah 7 tahun dan obesitas pada usia diatas 7 tahun dianjurkan untuk menurunkan berat badan. Target penurunan berat badan sebesar 2,5 - 5 kg atau dengan kecepatan 0,5 - 2 kg per bulan.

2. Pengaturan diet
Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang , hal ini karena anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia anak, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pada obesitas sedang dan tanpa penyakit penyerta, diberikan diet seimbang rendah kalori dengan pengurangan asupan kalori sebesar 30%.
Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang :
• Menurunkan berat badan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan normal.
• Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dengan lemak jenuh < 10% dan protein 15-20% energi total serta kolesterol < 300 mg per hari.
• Diet tinggi serat, dianjurkan pada anak usia > 2 tahun .

3. Pengaturan aktifitas fisik
Peningkatan aktifitas fisik mempunyai pengaruh terhadap laju metabolisme. Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik untuk anak usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan ketrampilan otot, seperti bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas fisik selama 20-30 menit per hari.

4. Mengubah pola hidup/perilaku
Untuk perubahan perilaku ini diperlukan peran serta orang tua sebagai komponen intervensi, dengan cara:
• Pengawasan sendiri terhadap: berat badan, asupan makanan dan aktifitas fisik serta mencatat perkembangannya.
• Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu keinginan untuk makan.
• Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis makanan yang dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan.
• Memberikan penghargaan dan hukuman.
• Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang pada umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah.

5. Peran serta orang tua, anggota keluarga, teman dan guru.
Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas yang mendukung program diet.

6. Terapi intensif
Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan yang disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional, terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan terapi bedah dibawah pengawasan dokter.
Wallohu a’lam bish showab

Tanya jawab

Hukum bersedekah dari harta hasil korupsi?
Abu Hanim Az-Zahra, Lc

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Indonesia korupsi telah menjadi trend, bahkan budaya. Sehingga kita dapati hampir di setiap lembaga swasta atau negeri, baik yang bergerak di bidang sosial, pendidikan maupun bidang yang lainnya tidak luput dari kasus korupsi yang dilakukan oleh para punggawanya. Harta hasil korupsi jelas harta yang haram, karena harta tersebut didapat dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau mengkhianati amanah yang diembankan kepadanya.

Adapun menggunakannya untuk bersedekah, tidak dapat merubah setatus harta tersebut, atau sisa harta korupsi yang tidak disedekahkan. Bahkan menyedekahkannya adalah dilarang. Berdasarkan pada:

a. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqoroh : 267)

Di dalam tafsir Fathul Qadir dijelaskan dua pendapat tentang maksud dari penggalan firman Allah, “Sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”. Pendapat jumhur menyatakan, bahwa maksudnya adalah sebagian dari hasil usaha yang baik dan pilihan. Dan yang kedua adalah pendapat jama’ah bahwa maksudnya adalah penghasilan yang halal.
Imam Asy-Syaukani menambahkan bahwa kedua makna di atas benar; karena penghasilan yang baik dan pilihan menurut ahli syari’at adalah penghasilan yang halal. (Tafsir Fathul Qadir)

b. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia telah memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun : 51) dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqoroh : 172)

Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh yang berambut kusut dan berdebu, orang itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata,’Wahai Allah… wahai Allah…, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi yang haram maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk berinfaq dari harta yang halal dan larangan untuk berinfaq dari harta yang tidak halal.” (Syarh Shahih Muslim)
Dari nash-nash diatas jelas bahwa amal shalehlah yang diterima Allah. Setiap amal kebaikan harus dibiayai dengan harta yang halal sepenuhnya tidak ada syubhat didalamnya karena Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik artinya orang yang berinfak dengan harta yang haram ke tempat manapun maka tidaklah ada pahala baginya terhadap apa yang telah diinfakkannya.

Bagaimana jika lembaga yang dikorup telah tiada?
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seorang muslim telah mengambil harta yang haram maka wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia mengetahui bahwa orang tersebut masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila orang tersebut sudah meninggal dunia. Dan apabila orang itu tidak diketahui kepastiannya maka hendaklah ia menunggu kehadirannya dan ketika orang itu datang maka harta dan segala keuntungan yang terkait dengan harta tersebut haruslah diberikan kepadanya.
Adapun apabila harta –haram- tersebut milik orang yang tidak diketahuinya, dan sudah ada keputus-asaan dalam mengetahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, ada ahli warisnya atau tidak maka pemilik harta yang haram ini harus mensedekahkannya, seperti menginfakkannya untuk pembangunan masjid, jembatan dan rumah sakit.

Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya yaitu bersedekah dengan harta yang haram apabila tidak diketahui pemiliknya, ahli warisnya atau adanya kesulitan untuk mengetahuinya dengan hadits daging kambing panggang dihidangkan kehadapan Rasulullah saw dan aku –sahabat-mengatakan kepadanya bahwa itu haram, dia mengatakan, “Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya.” Kemudia beliau bersabda, “Berikanlah makan para tawanan dengannya.”
Jumhur juga berdalil dengan qiyas dan mengatakan sesungguhnya harta itu berada di antara dua pilihan yaitu dimusnahkan atau dibelanjakan untuk kebaikan. Prinsipnya bahwa dibelanjakan untuk kebaikan jauh lebih utama daripada dibuang karena dengan dibuang berarti tidak mendatangkan mafaat.

Adapun diberikan kepada orang faqir atau tempat-tempat kebaikan maka akan mengandung manfaat dan memberikan manfaat bagi pemiliknya dengan pahala walaupun bukan dengan kehendaknya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,”Sesungguhnya seorang yang menanam tanaman (buah) baginya pahala pada setiap buah dan tanamannya yang diambil oleh manusia atau burung.” Dan tidak disangsikan lagi bahwa tanaman yang dimakan oleh burung itu bukanlah keinginan petani tersebut namun ia tetap mendapatkan pahala. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300)

Kesimpulannya; jika lembaga yang dikorup masih ada maka cara membersihkan diri dari dosa korupsi adalah dengen bertaubat kepada Allah dan mengembalikan harta tersebut pada lembaga terkait. Namun bila lembaga tersebut telah tiada, maka hendaknya dia bertaubat dan membersihakn diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya. Menurut jumhur ulama mensedekahkan harta haram yang sudah tidak diketahui lagi pemiliknya, meskipun sama-sama tidak mendapat pahala, mensedekahkannya lebih baik daripada membuang harta tersebut.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Tafsir Fathul Qadir, Asy-Syaukani
2. Shahih Muslim
3. Syarh Shahih Muslim
4. Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300
5. Dll

Hai Anak Muda

Posted by newydsui 0 comments

Hai Anak Muda


Sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.
Peliharalah Allah, Niscaya Dia akan balas memeliharamu. Peliharalah Allah, niscaya kamu akan mendapati -NYA dihadapanmu.
Kenalilah Allah saat suka, Niscaya Dia akan mengenalimu saat susah.
Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan Jika kamu meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah, ketahuilah bahwa seandainya umat bersatu-padu untuk memberimu sesuatu yang bermanfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya, kecuali sesuai yang telah di taqdirkan Allah untukmu.
Seandainya mereka bersatu padu untuk menimpakan mudharat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat menimpakan mudharat kepadamu, kecuali sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah atas dirimu. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)

Qalam telah diangkat dan lembaran sudah kering. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan itu disertai dengan kesabaran dan bahwa kelapangan itu beserta kesempitan dan bahwa kesulitan itu selalu dibarengi dengan kemudahan

Ungkapan yang sangat indah, mempesona dan menakjubkan. Jika semua manusia berfikir dan berusaha melaksanakan ungkapan dalam hadits diatas, maka ketenangan, ketentraman, kebahagiaan akan dirasakan oleh seliarh penduduk negeri. Bagaimana tidak, seorang tidak akan pernah rakus dan tamak karena ia yakin akan rezki Allah, korupsi menjadi hal yang sangat tidak mungkin jika kita merasa ada pengawasan Allah.

Tatkala ia mendapat cobaan ia akan kembalikan kepada Allah, ia akan senantiasa bersabar dan berkeyakinan bahwa semuanya yang memberi adalah Allah. Tapi jika ia mendapat kesenangan, ia akan bersyukur dan tidak melampoi batas.

Inilah hidup, hidup selalu beriring dengan masalah dan problem. Maka jadikanlah hidupmu hanya untuk Allah. “sesungguhnya ibadahku, sholatku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Robb Semesta Alam”
Yakinlah Allah bersama kita….(red)

(hadist diketengahkan oleh Ahmad 2664,2758,2800, Tirmidzi 2516, dan hakim 6304 melalui ibnu 'Abbas ; lihat Misykatul Anwar 5302)

Kejinya Kawin Sesama Jenis
Oleh : Ryan Arif, Lc

“Para ulama sepakat bahwa senggama lewat jalan yang benar adalah fitrah dan homoseks termasuk perbuatan keji. Jika demikian, homoseks dan lesbianisme adalah melanggar fitrah yang menimbulkan kepincangan dan kesenjangan.”
Fenomena Gerakan Homoseksual
Saat ini, liberalisasi nilai-nilai dan ajaran Islam di Indonesia benar-benar sudah sampai pada taraf yang sangat keji dan menjijikkan dan akhir-akhir ini kampanye tentang homoseksual, lesbian, biseksual, dan transeksual mulai secara aktif dipromosikan ke negara-negara Muslim. Kampanye tersebut seolah-olah ingin menghadirkan keyakinan bahwa orientasi seksual tersebut adalah normal dan oleh karenanya harus diterima oleh umat Islam. HAM, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak adalah premis-premis klasik yang menjadi alasan kampanye tersebut.
Pada tanggal 17 Mei 2008, sekelompok homo dan lesbi berdemo di Bundaran HI menuntut hak-hak mereka dan menghilangkan pandangan jelek masyarakat terhadap kecenderungan seksual tersebut (homophobia). Sebuah film berjudul A Jihad for Love yang berisi tentang kisah-kisah orang homo di negara-negara Islam meraih penghargaan di Festival Internasional Toronto Kanada pada akhir 2007. Dan pada 28 Maret 2008 harian berbahasa asing di Jakarta membuat pernyataan guru besar UIN Jakarta, Prof Dr Musdah Mulia, yang secara terang-terangan mengeluarkan fatwa bahwa homoseksual adalah halal menurut Islam. Hal ini belum ditambah dengan pemberitaan media massa yang pada dasawarsa terakhir sangat jor-joran memberitakan tentang hubungan sesama jenis tersebut.
Bahkan, Orang-orang yang bergelut dalam bidang studi Islam tidak segan-segan lagi menghancurkan ajaran agama yang sudah jelas dan qath’iy. Sementara, institusi pendidikan tinggi Islam seperti tidak berdaya, membiarkan semua kemungkaran itu terjadi di lingkungannya. Tulisan yang berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.
Seorang penulis dalam jurnal tersebut, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82. Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Juga dalam jurnal tersebut ditulis sebagai berikut: ‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39)
Di halaman berikutnya, dikatakan: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita Al-Quran, ikut jadi korban. Dalam Al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal. 41-42).
Homoseksual Dalam Pandangan Syar’i
Penafsiran dan pandangan penulis liberal di atas sangat liar, karena ia tidak menggunakan metodologi tafsir yang benar. Disamping ayat-ayat Al-Quran, seharusnya, dia juga menyimak berbagai hadits Nabi Muhammad saw tentang homoseksual ini. Begitu juga para sahabat dan para ulama Islam terkemuka. Dengan sedikit bekal ilmu syariah yang dimilikinya, si penulis berani ‘berijtihad’ membuat hukum baru dalam Islam, dengan terang-terangan menghalalkan perkawinan homoseksual.
Tentang Kisah Nabi Luth sendiri, Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini. Disebutkan di dalam alqur’an, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti penulis liar di atas yang berlagak menjadi mujtahid besar di abad ini. Orang yang memahami bahasa Arab pun tidak akan keliru dalam menafsirkan ayat tersebut. Bahwa memang kaum Nabi Luth adalah kaum yang berdosa karena mempraktikkan perilaku homoseksual. Hukuman yang diberikan kepada mereka, pun dijelaskan, sebagai bentuk siksaan Allah, bukan sebagai bencana alam biasa. Tidak ada sama sekali penjelasan bahwa Nabi Luth dendam pada kaumnya karena tidak mau mengawini kedua putrinya. Tafsir homo ala penulis liar yang menghina Nabi Luth itu benar-benar sebuah fantasi intelektual untuk memaksakan pehamamannya yang pro-homoseksual.
Permasalahan homoseksual sebenarnya permasalahan yang telah selesai (qath'i). Teks-teks Alquran, Sunah, dan konsensus universal (ijma) umat Islam dari berbagai mazhab dan firqah sepakat bahwa hubungan sesama jenis adalah haram. Selama empat belas abad tidak ada seorang ulama pun yang berani mengotak-atik hukum tersebut. Sesuai dengan keterangan Rasulullah, jika umat Islam telah membuat konsensus universal seperti itu, berarti umat Islam sedang tersesat dan membuat kesesatan universal.
Umat Islam meyakini bahwa Allah adalah pembuat hukum (Al-Musyarri'). Pandangan ini secara otomatis menerangkan bahwa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah mutlak menjadi hak prerogatif Allah. Bahkan, dengan sangat keras Allah mengancam orang-orang yang menghalalkan dan mengharamkan sebuah hal dengan hawa nafsunya.
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
''Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.'' (QS An-Nahl [16]: 116).
Dengan demikian, siapa pun orangnya yang mengaku Islam, ia berhak tunduk kepada hukum Islam tentang haramnya hubungan seksual sesama jenis. Namun, hal tersebut tidak secara otomatis akan mengekang akal umat Islam. Umat Islam boleh ber-ijtihad dengan menggunakan akal pemikiran, tetapi hanya terbatas dalam dua hal, yaitu pertama permasalahan yang tidak ada teksnya dan kedua teks zhanni. Ini artinya umat Islam tidak diperkenankan untuk ber-ijtihad dalam permasalahan-permasalahan qath'i, seperti hukum homoseksual. Ini karena teks qath'i adalah mutlak menjadi hak prerogatif Allah.
Tidak boleh ada seorang mujtahid, ulama, ahli fikih, pemikir, cendekiawan, guru besar, ustadz, seminar, demonstrasi, buku, undang-undang, dan lembaga fatwa yang mengubah teks jenis ini. Bahkan, menurut saya, permasalahan modern yang harus dijawab oleh akal umat Islam dalam dua ranah ijtihad tersebut lebih banyak daripada mengotak-atik permasalahan qath'i yang sangat sedikit, yang tidak akan membawa kemajuan sedikit pun umat Islam.
Hukuman Pelaku Homosek Dalam Islam
Para ulama berijmak bahwa homoseks (al-liwathah) adalah maksiat paling besar, sehingga Allah swt menyebutnya dengan perbuatan keji. Banyak hadist yang melaknat pelakunya, seperti dalam riwayat Nasa’i dan Ibn Hibban serta dishahihkan olah Tabrani dan Al baihaqi, sebagian lagi dishahihkan oleh Al Hakim. Seluruh riwayat tersebut saling menguatkan dan dikenal secara otamatis dalam agama (Al Ma’lum Min Al Din Bi Ad Dharurah).
Imam Turmudzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “suatu hal yang paling aku takutkan terhadap ummatku adalah perbuatan kaum luth.” Hadist ini di shahihkan oleh Al Hakim sementara menurut Turmudzi sendiri dinilai sebagai hadist hasan gharib.
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Dan masih banyal riwayat lain seperti dalam Jami’ At Turmudzi Kitab Alhudud An Rasulilah, Bab Ma Ja’a Fi Had Al Luthi no 1376, dalam Sunan Abu Daudn Kitab Al Hudud Bab Fiman Amila Amala Qaum Luth no 3869, Sunan Ibnu Majah Kitab Al Hudud Bab Amila Amala Qaum Luth no 2551 dan yang lainnya.
Memang benar ulama berbeda pendapat tentang hukuman apa yang harus diberlakukan kepada pelaku homosek. Namun, perbedaan tersebut tidak keluar dari bingkai bahwa hubungan seksual sesama jenis adalah haram.
Menurut imam malik, imam syafi’i, imam ahmad dan imam ishaq, hukumannya rajam. Dan Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Sementara dari kalangan tabi’in, seperti Hasan Basri, An Nakha’i, Atha’ Ibn Rabah dan yang lainnya, hukumannya sama dengan pezina. Sementara dari kalangan sahabat seperti Abu Bakar, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Abas berpendapat bahwa hukuman pelaku homoseks adalah alqatlu (bunuh), baik subjek maupun objeknya. Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Syafi’i, Al Nashir, Al Qasim Ibn Ibrahim dari Hadist Ikrimah dari Ibnu Abas tentang hukum rajam pelaku homoseks. Kemudian, mereka berbeda pendapat perihal cara membunuhnya.
Diriwayatkan bahwa menurut Imam Ali, dibunuh pakai pedang kemudian dibakar karena besarnya perbuatan maksiat yang dilakukan. Pendapat inilah yang diambil oleh Abu Bakar ketika diadakan musyawarah. Berbeda dengan mereka adalah sahabat Umar dan Utsman yang berpendapat bahwa hukuman bagi mereka adalah ditimpa dinding. Menurut Ibn Abbas dijatuhkan dari gedung yang sangat tinggi.
Ringkasnya, homoseksual adalah haram dan termasuk perbuatan keji dalam islam, dan para ulama sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseks adalah ‘bunuh’, perbedaan yang terjadi dikalangan ulama hanyalah dalam kayfiyatnya saja. Wallahu a’lam.
Referensi:
• Syihabudin Ahmad Al Tifasyi, Nuzhat Al Albab Fi Maa La Yuzad Fi Kitab, Tahqiq: Jamal Jum’ah,(London-Cyprus:Riad Al Rayes Books, Cet I, 1992) Hal.236
• Turki Ali Al Rabi’u, Al ‘Unf Al Muqaddas Wa Al Jins Fi Mithulujiya Al Islamiyah, (Bairut: Al Markaz Al Tsaqafi Al Arabi, Cet II, 1995), Hlm.112
• Artikel : Lesbian Dalam Seksualitas Islam, Jurnal Perempuan No 58, Maret 2008
• Jurnal Justisia, Edisi 25 Thn XI 2004.
• Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, (Cairo:Dar Al Manar, Cet II, 1948)
• Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Cairo:Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa Al Babi Al Halabi Wa Awladihi, Cet I, 1946). By: Ryan Arief Rahman

Menumbuhkan Sikap Empati
Oleh : Qodri Fathurrohman

Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma sampai Pak Polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??. Untuk membunuh rasa penasaranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.
”Dek, boleh kakak bertanya ?” tanyaku.

“Silahkan kak.” Jawab adik kecil.
“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?” tanyaku dengan heran.
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak… memang kenapa kak?” dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya.

”Oh... tidak! Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”
Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu … aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”

“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”

”Yang ibuku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang ‘, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita, kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.”

”Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.
Pembaca, saya dapatkan kisah ini dalam inbox yang dikirim oleh teman saya. Penulisnya Laila Nurul Muna. Ada banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah diatas. Anak ini memiliki rasa empati yang luar biasa buah dari tarbiyah kehidupan yang ia enyam sebelumnya. Betapa pintarnya si ibu membaca dan mempelajari peran kehidupan yang ia jalani hingga mampu membuahkan rasa empati yang luar biasa kepada sesama dan menanamkannya secara sempurna pada anaknya. Sang ibu tak takut menjadi miskin karena nasi bungkus yang ia bagikan kepada orang-orang meski jumlahnya tak sedikit.

Begitulah empati.
Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam karena kekeringan."
Itulah jangkauan empati dan kepedulian Umar bin Khattab ra. Semoga kita diberi kemudahan untuk meneladaninya? Wallahul musta’an.

Abu Wail Syaqiq bin Salamah
Perpanduan Ilmu dan Amal
oleh : Amar Syarifuddin, Lc

“Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga di selain shalat.” (Ashim)

Mari kita mulai kisah kehidupan imam ini. Kisah tentang hidayah seorang tokoh. Kita persilahkan Sulaiman bin Mihran memulainya. Syaqiq berkata, “Wahai Sulaiman! Bayangkan kita melarikan diri dari Khalid bin Walid, dan aku terjatuh dari hewan tungganganku yang bisa menginjak leherku. Kalau aku mati saat itu, maka nerakalah bagiku.”

Peristiwa itu terjadi pada saat kaum muslimin memerangi orang-orang murtad di masa pemerintaha Abu Bakar ash-Shiddiq.

Dialah Abu Wail Syaqiq bin Salamah al-Asadi al-Kufi, imam besar Dan syaikh kota kufah. Dia lahir dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi tak sempat bertemu dengan beliau. Menurut Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, Abu Wail lahir pada tahun pertama hijriyah.
Namun demikian Abu Wail sempat meraih kemilauan para sahabat Nabi. Tercatat, ia sempat bertemu dengan Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Aisyah, Ummu Salamah, dan lainnya.

Abu wail mencapai derajat orang-orang shalih. Dialah murid Abdullah bin Mas’ud. Setiap kali melihat Abu Wail, Abdullah bin Mas’ud selalu berseru, “Wahai orang yang bertaubat!”
Beginilah murid Ibnu Mas’ud menjadi pemimpin ahli ilmu dan amal. Kenapa tidak? Dia mengambil langsung ilmu dan amal dari orang yang yang lulus dari madrasah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang selalu menyertai Ibni Mas’ud, baik di malam hari, siang hari, di rumah, dalam perjalanan, di masjid dan di mana saja.

Perhatikanlah bagaimana Ibnu Mas’ud mendidik murid-muridnya. Suatu ketika, ia berpesan dengan Abu Wail yang sedang membawa mushaf berhias emas. Ibnu Mas’ud berkata “Sungguh yang paling baik untuk menghias Al-Qur’an adalah membacanya dengan benar.”
Dalam tempaan inilah Abu Wail Tumbuh. Ibrahim An-Nakha’i pernah menasehati Al-A’masy untuk selalu menyertai orang-orang shalih. “Sertailah Syaqiq. Sungguh aku mendapat murid Ibnu Mas’ud sebagai orang yang kaya ilmu. Mereka tergolong orang-orang pilihan,” ujar Ibrahim An-Nakha’i.

Betapa indahnya mendapatkan kesaksian dari seorang ahli fiqh Kufah seperti Ibrahim an-Nakha’i. Perhatikanlah kesaksian Ibrahim an-Nakha’i pada kesempatan lain. “Tidak ada sebuah desa kecuali di dalamnya ada orang yang membela penduduknya. Aku berharap Abu Wail termasuk di antara mereka.”
Posisi ini tidak didapat kecuali dengan usaha maksimum yang panjang melawan godaan hawa nafsu dan syetan serta berusaha untuk taat. Ashim menggambarkan shalat dan keshalihan Abu Wail dalam ungkapannya, “Aku tidak pernah melihat Abu Wail berpaling dari shalatnya, begitu juga diselain shalat.”

Ashim pernah mendengar Abu Wail berdoa saat sujud. Diantara doanya adalah, “Tuhan, ampunilah aku! Tuhan maafkanlah aku! Jika engkau memaafkanku, maka panjangkanlah keutamaanmu. Jika engkau mengazabku, bukan oleh orang yang zalim padaku.”
Ashim berkata, “Kemudian ia menangis sampai kedengaran dari luar masjid.”

Abu Wail termasuk orang yang menyucikan hati dan jiwanya. Ashim ketika Berkata, “Aku tidak pernah mendengar Abu wail mencaci manusia atau binatang sama sekali.”
Az-Zabarqand menceritakan, “Suatu ketika aku bersama Abu wail. Lalu aki mencaci Al-Hajjaj dan menyebut-nyebut keburukannya. Abu Wail berkata, “Jangan mencaci, Siapa tahu dia berdoa, ‘Ya Allah ampunilah aku.’ Maka, Allah mengampuninya.”
Ini keutamaan yang diberikan Allah untuk menjaga lisan seseorang dari kalimat sia-sia. Barang siapa yang menjaga lisannya dari kata-kata yang sia-sia, maka ia akan bisa menjaga jiwanya.
Abu Wail juga dikenal sangat wara’ dan berhati-hati menerima pemberian. Hal ini tercermin dari ungkapannya pada seorang budaknya, “Kalau Yahya –anaknya- datang membawa sesuatu, janganlah diterima. Kalau para sahabatku datang, maka terimalah.”
Abu Wail juga sangat menjaga dirinya untuk tidak terlibat pada pekerjaan pemerintah. Ini nampak ketika seorang pria datang dan berkata, “Anakmu dipekerjakan di pasar.” Abu Wail berkata, “Demi Allah! Seandainya engkau datang membewa berita kematiannya itu lebih kusukai. Sungguh aku sangat membenci masuknya hasil pekerjaan mereka ke rumahku.”
Namun demikian, tetap saja ia mendapat ujian sebagaimana ulama dan ahli ilmu yang lainnya. Suatu ketika dia diminta datang untuk menemui al-Hajjaj bin Yusuf. Ketika bertemu, al-Hajjaj segera bertanya, “Siapa namamu?”

“Tidak mungkin seorang amir memenggilku kala dia tidak tahu namaku,” jawab Abu Wail.
“Kapan engkau tinggal di negeri ini?
“Pada malam-malam penduduknya menetap.”
“Apa yang engkau baca dari al-Qur’an?”
“Aku membaca dari al-Qur’an yang kalau kuikuti, akan mecukupiku.”
“Kami ingin menugaskanmu pada sebagian pekerjaan kami.”
“Pekerjaan apa?”
“Silsilah!”
“Silsilah tidak pantas kecuali bagi mereka yang melakukannya. Kalau engku minta bantuanku, maka engkau minta tolong pada syaikh yang lemah. Kalau amir memaafkanku, itu yang lebih aku cintai.” Abu Wail berhasil menghindar dari tawaran pemerintah.
Ia meninggal pada tahun 82 hijriyah.

Sumber:dari Buku 101 Kisah Tabi’in
http://www.fajrifm.com/qudwah/abu-wail-syaqiq-bin-salamah.html

Hukum Membuka Aurat Wanita di Hadapan Wanita Lainnya

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Beliau ditanya: Kami mempunyai pembantu wanita, bolehkah ia membuka auratnya di depan para penghuni rumah yang perempuan, perlu diketahui ia adalah wanita muslimah?

Beliau menjawab :

Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah, kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “auwnisaaihinna = atau wanita-wanita” [An-Nur : 31]
Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir.
Di sini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad melarang perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya.
Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki. Demikian itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ia mengangkat pakaiannya karena suatu hajat atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya.

Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung keburukan dan kerusakan.
[Durus Wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/264]


HUKUM MENAMPAKKAN RAMBUT DI HADAPAN WANITA NON MUSLIMAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Bolehkah wanita membuka rambutnya di hadapan wanita-wanita non muslim, sedangkan mereka menceritakan kondisinya kepada kerabat laki-laki mereka yang juga bukan muslim?

Jawaban.

Pertanyaan ini berdasar pada perselisihan para ulama tentang penafsiran firman Allah, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita ..”[An-Nur ; 31]

Kata ganti dalam ayat “auwnisaaihinna = atau wanita-wanita” para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagian menafsirkan sebagai Al-Jins, yang maksudnya adalah jenis wanita secara umum. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Wasfu (sifat), yaitu hanya wanita-wanita yang beriman saja. Menurut pendapat pertama, diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan rambutnya dan wajahnya di hadapan para wanita kafir dan tidak diperbolehkan menurut pendapat kedua. Kami cenderung memilih pendapat pertama, karena lebih mendekati kebenaran. Karena seluruh wanita itu sama, tidak berbeda antara kafir dan muslimah, apabila tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Adapun apabila dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, misalnya wanita yang melihat akan memberitahukan kondisinya kepada kerabat laki-laki-lakinya, maka kekhawatiran timbulnya fitnah lebih didahulukan, dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya, semisal badannya, kedua kakinya, rambutnya dan lainnya di hadapan wanita lain, baik itu wanita muslimah atau non muslimah.

[Fatawal Mar’ah 1/73]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Ahmad Amin Syihab, Penerbit Darul Haq].

Menjamak Shalat di Kala Hujan
Imtihan Syafii, MI.F

Beban syariat yang ditaklifkan oleh Allah kepada umat Islam telah diukur sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Dalam kondisi luar biasa, hal mana umat Islam pada umumnya merasakan adanya keberatan/kesulitan untuk melaksanakannya, syariat pun datang dengan rukhshah, keringanan.
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
“Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Di antara keringanan yang diberikan oleh Allah adalah dibolehkannya umat Islam mengerjakan shalat jamak di kala turun hujan yang deras.

Dasar Pijakan
Imam Muslim meriwayatkan, Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Rasulullah saw pernah menjamak antara shalat Zhuhur dengan ‘Ashar dan antara Maghrib dengan ‘Isya` di Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan.”
Atsar di atas mengisyaratkan bahwa menjamak dua shalat karena hujan adalah perkara yang sudah makruf (dikenal) pada masa Nabi saw. Jika tidak, maka pernyataan Ibnu ‘Abbas yang secara sharih menafikan hujan sebagai sebab yang membolehkan pelaksanaan jamak dua shalat tidak ada faedahnya. Dan itu tidak mungkin. Demikian menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil.
Shafwan bin Salim bertutur, “Umar bin Khathab ra biasa menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya` ketika hari hujan.”
Nafi’ menuturkan, ‘Abdullah bin ‘Umar turut menjamak shalat (tetap menjadi makmum) apabila imam menjamak antara shalat Maghrib dengan ‘Isya` pada saat turun hujan.
Musa bin ‘Uqbah menceritakan menceritakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul‘aziz biasa menjamak antara shalat Maghrib dengan sholat ‘Isya` apabila turun hujan. Sa’id bin Musayyib, ‘Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdurrohman, dan para ulama pada zaman itu ikut menjamak shalat bersamanya dan tidak mengingkari perbuatan itu.

Pendapat Fuqaha
Di antara para fuqaha madzhab yang empat, hanya para fuqaha madzhab Hanafi yang tidak membolehkan menjamak shalat di kala hujan, sebagaimana mereka tidak membolehkannya secara mutlak selain jamak shalat pada waktu haji di ‘Arafah dan di Muzdalifah. Alasan mereka, Nabi saw hanya pernah benar-benar menjamak shalat ketika beliau melaksanakan ibadah haji. Shalat-shalat jamak lain yang beliau kerjakan hanyalah jamak shuri (terlihat dijamak sebenarnya tidak). Yakni mengerjakan shalat pertama di akhir waktunya, lalu disambung dengan mengerjakan shalat kedua di awal waktunya.
Menurut para fuqaha madzhab Maliki, boleh menjamak shalat ketika tidak bersafar karena udzur hujan. Hanya, rukhshah ini dikhususkan untuk hujan di malam hari. Maksudnya antara shalat Maghrib dan ‘Isya`. Imam Malik menyatakan, dibolehkan menjamak antara shalat Maghrib dan ‘Isya` walaupun tidak hujan apabila tanah becek dan malam gelap. Boleh juga menjamak keduanya karena hujan.

Imam Malik pernah ditanya tentang orang-orang yang rumahnya dekat dengan masjid, untuk melangkah ke masjid, hanya membutuhkan beberapa langkah. Juga mereka yang rumahnya jauh dari masjid. Apakah mereka mendapatkan rukhshah jamak karena hujan. Beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui suatu kaum ketika adanya shalat jamak melainkan semuanya ikut, baik yang rumahnya dekat ataupun jauh. Semua mendapatkan rukhshah.
Masih dari Imam Malik, “Hendaknya jamak hanya dilakukan ketika turun hujan yang mengakibatkan tanah menjadi basah (becek) dan ketika dalam keadaan gelap (langit menjadi gelap karena hujan mendung).”

Menurut para fuqaha madzhab Syafi’i, boleh menjamak antara Zhuhur dan ‘Ashar dan antara Maghrib dan ‘Isya` secara taqdim (dikerjakan pada waktu Zhuhur dan Maghrib) dan tidak boleh secara ta`khir. Alasan mereka, keberlangsungan hujan tidak berada dalam kekuasaannya. Bisa jadi, hujan itu berhenti dan hal itu menyebabkan kita mengeluarkan shalat pertama dari waktunya tanpa udzur, berbeda dengan safar. Disyaratkan dalam pembolehan jamak shalat karena hujan, adalah terjadinya hujan ketika takbiratul ihram dan ketika salam dari shalat yang pertama, supaya bersambung dengan shalat yang kedua. Dan tidak boleh menjamak shalat yang disebabkah karena lumpur/becek, angin dan gelap.
Imam Syafi’i dan Abu Tsaur mensyaratkan hendaknya hujan tetap turun ketika mulai mengerjakan shalat pertama (Zhuhur atau Maghrib) dan tidak reda/berhenti sampai shalat yang kedua (‘Ashar atau ‘Isya`) dilaksanakan. Disyaratkan juga shalat jamak ini dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk melaksanakan shalat jama’ah.
Menurut para fuqaha madzhab Hambali, boleh menjamak shalat antara Maghrib dan ‘Isya`, dalam kondisi hujan, es membeku di jalan-jalan, hujan salju, lumpur, dan angin ribut. Tidak boleh menjamak antara Zhuhur dan ‘Ashar. Sebagian ulama madzhab Hambali berpendapat, boleh menjamak antara Zhuhur dan ‘Ashar karena hujan. Di antara mereka adalah al-Qadhi Abu Ya’la dan Abu al-Khathab.

Syarat Jamak karena Hujan
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika kita hendak menjamak shalat karena hujan. Syarat-syarat itu adalah:

1. Yang dijamak adalah dua shalat siang: Zhuhur dan ‘Ashar, atau dua shalat malam: Maghrib dan ‘Isya`. Tidak boleh menjamak antara shalat siang dengan malam seperti menjamak shalat ‘Ashar dengan Maghrib, atau shalat ‘Isya dengan Shubuh, atau Shubuh dengan Zhuhur.

2. Niat untuk menjamak shalat. Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan waktu meniatkan jamak shalat. Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki dan Hambali, niat menjamak dilakukan pada waktu takbiratul ihram shalat yang pertama. Sedangkan menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i, niat boleh dilakukan pada saat takbiratul ihram shalat pertama atau di tengah-tengah shalat atau di akhirnya. Ada pula fuqaha madzhab Syafi’i yang menyatakan bahwa niat menjamak boleh dilakukan setelah salam dari shalat pertama sebelum takbiratul ihram untuk shalat kedua.
Al-Muzani—salah seorang fuqaha madzhab Syafi’i—berkata, “Tidak disyaratkan niat jamak. Sebab Nabi saw menjamak shalat dan tidak ada riwayat bahwa beliau berniat menjamak atau memerintahkan untuk meniatkannya. Pun para sahabat mengerjakan shalat secara jamak bersama beliau tanpa mengetahui niat ini. Sekiranya hukum niat ini wajib, pasti Rasulullah saw menjelaskannya.”

3. Tertib, yakni mengerjakan kedua shalat yang dijamak sesuai dengan urutan waktu biasa; shalat Zhuhur sebelum ‘Ashar dan shalat Maghrib sebelum ‘Isya`. Imam Nawawi menyebutkan bahwa disyaratkan dalam jamak taqdim untuk memulai dengan shalat yang pertama, karena itu adalah waktunya, dan shalat yang kedua mengikutinya. Karena Nabi saw menjamak demikian, dan beliau berkata, “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Apabila seseorang memulai dengan shalat yang kedua maka tidak sah dan wajib mengulang dengan memulai shalat yang pertama kemudian yang kedua.

4. Muwalah atau beruntun, yakni tidak memisahkan antara shalat yang pertama dengan yang kedua kecuali dengan jarak waktu yang sedikit. Sebab jamak adalah mengikuti dan bersamaan. Tidak disebut jamak apabila kedua shalat dipisahkan dengan jeda waktu yang lama. Lama dan tidaknya dikembalikan kepada kebiasaan. Apabila seseorang perlu berwudhu sebentar, hal itu tidak mengapa.

Kesimpulan
Pendapat yang paling kuat dan berdasarkan dalil-dalil yang shahih adalah bahwa apabila turun hujan yang cukup deras, bukan hanya gerimis, ketika kaum muslimin sedang mengerjakan shalat Maghrib di masjid secara berjamaah, mereka semua—baik yang rumahnya dekat maupun yang jauh, baik yang datang dengan membawa payung maupun yang kehujanan—mendapatkan rukhshah: boleh menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`. Namun demikian, apabila imam tidak memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat, maknanya imam memilih tidak menjamak shalat, maka makmum pun harus mengikuti imam dan tidak mengangkat imam lain untuk menjamaknya. Wallahu a’lam.

THALASSEMIA

Posted by newydsui 0 comments

THALASSEMIA

Thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif menurut hukum Mendell . Thalassemia untuk pertama kali dikenalkan oleh Cooley ( pada tahun 1925 ) yang ditemukannya pada orang Amerika keturunanan Italia . Penyakit ini ternyata banyak ditemukan di daerah Mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa . Di Indonesia sendiri , thalassemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan penyakit anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler .

Penyakit ini diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin sebagai bahan utama darah . Darah manusia terdiri atas plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit) , sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit) . Seluruh sel darah tersebut dibentuk oleh sumsum tulang , sementara hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah . Hemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino ( 2 ranta amino alfa dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh . Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalassemia.
Berdasarkan rantai asam amino yang gagal terbentuknya , thalassemia dibagi menjadi thalassemia alfa (hilang rantai alfa) dan thalassemia beta (hilang rantai beta) . Thalassemia khususnya thalassemia beta merupakan kelainan genetic yang paling sering ditemukan di dunia , termasuk di Indonesia.

Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi dalam dua golongan , yang pertama yaitu thalassemia mayor yang memberikan gejala klinis yang khas sehingga merupakan penyakit darah yang serius yang bermula sejak awal anak-anak . Kemudian yang kedua adalah thalassemia minor yang biasanya tidak memberikan gejala klinis , terdapat pada orang-orang yang sehat namun berpotensi menjadi carrier atau pembawa gen thalassemia .

Seperti yang sudah disebutkan di atas , thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan secara genetic dan resesif . Seseorang memiliki gen yang berasal dari gen kedua orangtuanya. Bila salah satu orangtuanya memiliki gen cacat ( gen pembawa thalassemia) sementara orangtua yang lain sehat , anaknya akan tetap sehat dan hanya mungkin menjadi carrier/pembawa (tidak memiliki gejala-gejala thalassemia yang berat). Sementara itu , bila kedua orangtuanya memiliki gen cacat , anaknya berpotensi menderita thalasssemia . Gen cacat inilah yang dapat menyebabkan kegagalan pembentukan rantai asam amino pada hemoglobin .
Semua thalassemia memiliki gejala yang mirip , tetapi beratnya bervariasi , tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya . Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan. Keluhan yang sering timbul berupa pucat, gangguan nafsu makan , gangguan tumbuh kembang . Pada bentuk yang lebih berat , penderita dapat mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah , pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat , perut membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut , sakit kuning / jaundice , sesak nafas karena jantung bekerja terlalu berat , yang akan mengakibatkan gagal jantung dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam usahanya membentuk darah yang cukup , dapat menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang , terutama tulang kepala dan wajah . Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah .

Thalassemia lebih sulit didiagnosa dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya . Selain diperlukan pemeriksaan darah lengkap juga dibutuhkan pemeriksaan lain seperti analisis DNA untuk menentukan jenis mutasi penyebab thalassemia .

Hingga sekarang , tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia . Terapi yang dapat digunakan saat ini ialah dengan memberikan transfuse darah bila kadar hemoglobin telah rendah atau bila penderita anak-anak mengeluh tidak mau makan dan lemah , kemudian tambahan asam folat serta mempertahankan Hb antara 8 sampai 9,5 g/dl. Keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Yang perlu diperhatikan , pada penderita thalassemia yang menjalani transfuse darah , pemberian preparat besi merupakan kontra indikasi karena dapat menimbulkan penimbunan besi dalam jaringan tubuh .

Karena disebabkan keadaan anemia yang berat dan lama , komplikasi dari thalassemia adalah gagal jantung . Kadang-kadang thalassemia disertai dengan tanda hipersplenisme / limpa yang membesar seperti leucopenia dan trombositopenia . Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung .

Perawatan thalassemia yang ideal memerlukan biaya yang sangat tinggi , ini pun bukan pengobatan secara total . Maka , pada keluarga dengan riwayat thalassemia perlu dilakukan penyuluhan genetic untuk menentukan resiko kemungkinan memiliki anak yang menderita thalassemia . Banyak negara yang mempunyai frekuensi gen thalassemia tinggi melaksanakan program pencegahan lahirnya penderita baru . Untuk hal ini , diperlukan skrining pembawa sifat dan diagnosis sebelum menikah atau sebelum hamil .
Wallohu a’lam bishshowab

Perkawinan Sedarah (Incest)
Dalam Pandangan Syariat Islam
Oleh: Tengku Azhar, Lc.


Sejarah Incest Pertama di Dunia

Beberapa waktu yang lalu kita dikagetkan dengan terjadinya hubungan incest (perkawinan sedarah) antara seorang ibu dengan anak kandungnya di Jambi, yang menyebabkan si ibu hamil dari hubungan cinta terlarang tersebut. Wal’iyadzubillah.
Lantas siapakah pelaku incest pertama di dunia ini? Dan siapakah pembuat sunnah keji dan tercela ini pertama kali di alam semesta ini?

Dialah KING OF NAMRUDZ. Namrudz (2275 SM-1943 SM) sering pula disebut Nimrodz, yang memiliki gelar The Mighty Hunter karena keahliannya memburu. Selain itu, Namrudz juga digelari Dewa Bacchus dan juga Dewa Matahari. Pada zamannya, Namrudz merupakan seorang raja yang cerdas, namun kecerdasannya itu membuatnya bersikap sombong dan mengaku Tuhan. Namrudz sendiri merupakan kata jama’ yang memiliki arti “Mari Memberontak.”
Namanya tercatat dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Namrudz merupakan anak dari Kushyi (Kush), cucu Nuh Alaihissalam. Ibunya bernama Semiramis, seorang wanita cantik yang di usia remaja telah dinikahkan. Namrudz dilahirkan tanpa ayah yang meninggal dunia beberapa bulan sebelum kelahirannya. Kepada Namrudz kecil, Semiramis (ibu kandungnya) bercerita bahwa dirinya adalah perawan yang belum disentuh oleh lelaki manapun. Sebab itu, kata Semiramis, Namrudz adalah putera tuhan yang suci.

Namrudz tumbuh menjadi seorang pemuda yang cakap dan ganteng. Banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Bahkan ibunya, Semiramis, pun tertarik dan terjadilah incest pertama di alam semesta ini dan dalam sejarah manusia.
Dalam mitologi Roma Kuno, Namrudz disebut sebagai Dewa Cupid (Dewa Cinta) dan Semiramis sebagai Dewi Venus (Dewi Cinta). Wallahu A’lam. (Disari dari Majalah EraMuslim Digest [Islamic Thematik Handbook], Edisi Koleksi 6: GENESIS OF ZIONISM, hal : 46-49.).

Prilaku Incest di Dunia Barat
Sejumlah negara mengkategorikan incest sebagai suatu kejahatan pidana, dan pelakunya mendapat hukuman.
Amerika misalnya, incest dinyatakan illegal dengan hukuman bervariasi di tiap negara bagian. Massachusetts adalah negara bagian paling keras hukumannya yakni bisa mencapai 20 tahun penjara, sedang di Hawai hanya 5 tahun.
Tapi yang pasti incest adalah suatu kejahatan pidana berlaku di seluruh USA, hanya lama hukumannya saja yang berbeda. Sedang di Inggris, hukumannya adalah 12 tahun penjara.
Tapi ada juga negara yang ‘bebas’ seperti Perancis misalnya. Di sana incest bukanlah suatu kejahatan. Tak heran kalau para pelaku incest lebih suka ‘lari’ ke negara itu.
Selama berabad-abad incest menjadi masalah social dan dianggap tabu oleh masyarakat umum. Namun ini tak menghentikan terjadinya incest. Bahkan hingga kini di daerah-daerah tertentu, masih berlangsung.

Contoh paling jelas mungkin bisa dilihat pada kehidupan di pulau Tristan de Cunha, pulau terisolir yang masih masuk wilayah inggris.
Di pulau ini hubungan incest antara saudara adalah biasa karena memang, selain lokasi pulau yang sangat terisolir dan sulit diakses orang di luar, juga adanya larangan keras bagi pendatang untuk tinggal di pulau itu. Maka tidak heran kalau di pulau yang berpenduduk 270 jiwa itu, banyak dijumpai kasus kelainan genetic, juga cacat pada bayi yang lahir.
Pada abad ke-19, kasus incest banyak terjadi pada masyarakat miskin di Irlandia. Sementara dimasa lalu di kalangan bangsawan Eropa, pernikahan antara saudara sepupu dekat, dianggap legal, dan menjadi alasan memperkuat dinasti.

Pandangan Islam Terhadap Hukum Incest (Perkawinan Sedarah)
Incest dalam bahasa Arab juga disebut ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah, karena kekerabatan atau sedarah. Incest ini kadang dilakukan dengan sukarela di antara mereka dan ada pula yang dilakukan dengan paksaan (pemerkosaan).
Terlepas dari, apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak dari incest ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat keji. Incest ini bukan saja terkena keharaman zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan incest ini dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai hubungan sedarah (mahram).
Pertama: fakta incest ini adalah fakta zina, karena hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Menurut para fukaha’:
“Zina adalah istilah persenggamaan seorang pria dengan wanita pada kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun syubhat pernikahan.”
Karena itu, dalil tentang keharaman incest adalah dalil yang menyatakan tentang keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan cara (pemenuhan seksual) yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).
Larangan Allah di dalam surat Al-Isra’ ayat 32 ini disertai dengan qarînah jâzimah sehingga merupakan larangan yang tegas (nahyan jâziman), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 2).
Allah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jild) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan di-rajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).
Kedua: larangan menikahi mahram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua); anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu (Jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa`: 22-23).
Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mujadilah: 2).

Jika Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini merupakan bentuk penarikan dari dalâlah iltizâm, yaitu tanbîh al-adnâ alâ al-a’lâ.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status keharamnya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan, antara orang yang melakukan incest suka sama suka, atau dengan terpaksa. Bagi yang melakukannya suka sama suka, secara qath’I jelas haram. Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut diberlakukan kepadanya hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.” (HR. Ibn Hibban).
Dengan demikian, status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini, meski tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dipaksa.
Adapun status anak hasil incest dan perwaliannya maka statusnya sama dengan status anak zina. Nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan zinanya, karena status nasab dikembalikan pada pernikahan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Anak (statusnya) mengikuti tempat tidur (pernikahan), sementara orang yang berzina berhak mendapatkan batu (dirajam sampai mati).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, baik Imam Hanafi maupun Syafi’i, sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya. Demikian juga anak tersebut tidak mewarisi harta pasangan zina ibunya, dan garis bapak biologisnya, tetapi boleh mewarisi dan diwarisi ibunya, dan ahli waris yang segaris dengannya. Adapun hak perwaliannya, karena ibu dan garis dari ibu tidak bisa menjadi wali, maka status perwaliannya disandarkan kepada hakim (wilayat al-hakim).

Sebab-sebab Terjadinya Incest
Terjadinya hubungan incest (perkawinan sedarah) disebabkan oleh banyak faktor, berikut beberapa faktor kuat yang menyebabkan terjadinya incest:
1. Kebodohan terhadap ajaran dinul Islam. Sehingga akhirnya meremehkan aturan-aturan baik perintah maupun larangan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
2. Tidak dipisahnya antara ranjang orang tua dengan anak-anak mereka, dan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada para orang tua, apabila anak-anak mereka telah mencapai umur tujuh tahun, diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan memisahkan ranjangnya. Namun, karena kasih sayang dan kecintaan yang berlebihan kepada anak-anak, tidak sedikit orang tua yang masih tidur dengan anak-anak mereka, meskipun anak-anak mereka telah besar dan berumur baligh.
3. Meremehkan penjagaan aurat. Faktor sangat dominant sekali. Tidak sedikit kita saksikan hari ini, para orang tua yang mengumbar aurat mereka di depan anak-anaknya. Terkadang seorang ibu hanya berbalut baju tidur duduk dan bersenda gurau dengan anak-anak mereka. Dan terkadang seorang ayah hanya berbalut celana pendek ketika duduk bersama anak-anaknya. Sebaliknya juga, tidak sedikit anak-anak pada hari yang berpakaian serba minim dan seksi di hadapan kedua orang tuanya. Wal’iyadzubillah.
4. Pendidikan seks yang berlebihan. Ada sebagian orang tua yang beralasan dengan pemberian pendidikan seks kepada anak-anak mereka, kemudian mereka melakukan perbuatan keji tersebut. Na’udzubillah min Dzalika. Islam tidak melarang pengajaran pendidikan seks oleh orang tua kepada anak-anaknya, tetapi Islam punya aturan dan batasannya. Tidak sebagaimana yan mereka sangkakan.
Wallahu A’lamu bish Shawab.

RADIO DAKWAH SYARI'AH

Browser tidak support

DONATUR YDSUI

DONATUR YDSUI
Donatur Ags - Sept 2011

DOWNLOAD DMagz

DOWNLOAD DMagz
Edisi 10 Th XI Oktober 2011

About Me

My Photo
newydsui
Adalah lembaga independent yang mengurusi masalah zakat, infaq dan shodaqoh dari para donatur yang ikhlas memberikan donasinya sebagai kontribusinya terhadap da'wah islamiyah diwilayah kota solo pada khususnya dan indonesia pada umumnya.
View my complete profile

Followers